7. Perbincangan hangat dengan Buna

207 20 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

Sesaat setelah aku memasukkan sepedaku ke teras rumah, aku dapat mendengar suara Buna yang begitu kentara kedengaran hingga ke luar. Buna mengucapkan kata "terima kasih" berulang kali. Sepertinya, kepada orang yang kini sedang ditelepon Buna. Aku melihatnya tengah duduk di sofa sembari diam-diam mengulum senyum. Mendengar nada bicara Buna, tentunya akan ada kabar baik yang kelak kudengar. Buna bukanlah tipikal orang yang selalu seantusias itu saat berbicara.

Aku berjalan diam-diam masuk ke rumah dan duduk di sebelah Buna. Buna tidak menyadari kehadiranku, mengingat Buna tengah duduk menghadap ke dalam. Kursi jati yang kududuki begitu kokoh, sehingga tidak bergerak atau berdecit kala aku mendudukinya.

“Iya, Bu. Baik, saya tidak akan mengecewakan Ibu. Sekali lagi, terima kasih banyak.”

Kalimat itu ialah kalimat terakhir yang kudengar keluar dari mulut Buna, sebelum Buna menurunkan ponselnya yang tadi berada di sebelah telinganya.

“Teleponan sama siapa, Buna?” tanyaku. Buna segera menoleh ke belakang—ke arahku—. Aku dapat melihat raut keterkejutan dari wajah Buna. Sepertinya, pertanyaanku tadi cukup mengagetkannya.

“Eh, Hafika. Buna kirain siapa tiba-tiba bersuara,” ujar Buna sembari mengelus dadanya.

Aku terkekeh kecil melihat aksi Buna. “Maaf, Buna, soalnya Buna sih duduknya ngadep ke belakang. Kalau nanti ada penjahat masuk, trus Buna gak tahu gimana?”

“Ya, iya juga sih. Untung kamu yang masuk. Buna ceroboh banget, mana pintunya gak ditutup lagi,” ujar Buna lantas menepuk keningnya pelan. Sepertinya, Buna tengah kegirangan hingga ia bersikap ceroboh seperti tadi.

“Oh iya, tadi Hafika dengar Buna bahagia banget neleponnya. Habis teleponan sama siapa, Buna?”

“Ah, itu. Buna habis nerima telepon dari salah satu langganan Buna. Dia mau pesan kue, katanya buat selametan anaknya yang udah wisuda. Dan, kamu tahu nggak, Sayang?” tanya Buna sembari memegang kedua bahuku. Dari wajah Buna yang begitu berseri dan caranya memegang bahuku, dapat kupastikan pesanan yang diterima oleh Buna itu lebih dari biasanya.

“Totalan pesanan langganan Buna itu 500 pcs kue, Sayang. Buna senang banget, udah lama rasanya kita gak nerima pesanan sebanyak itu.”

“Wah, keren banget, Buna. Hafika senang banget,” tuturku yang ikut antusias mendengar ucapan Buna. Buna memang menerima pesanan kue tradisional yang biasanya ada saat-saat acara seperti arisan, acara kelulusan, dan yang lainnya. Mereka yang memesan biasanya juga dari kalangan atas. Kue buatan Buna memang tidak ada tandingannya, sehingga mampu menarik perhatian para orang kaya yang biasanya lebih suka dengan makanan atau cemilan yang lebih kebarat-baratan, seperti Pizza dan hamburger.

“Tapi, kuenya harus selesai lusa. Buna takut gak bisa handle-nya.” Nada bicara Buna berubah. Jika tadi ia berbicara dengan begitu antusias dan menebarkan energi positif, maka sekarang ini ialah kebalikannya.

“Buna tenang aja. Kan ada Hafika. Selagi Hafika masih belum dapet kerjaan baru, Hafika bisa kok bantuin Buna,” ujarku lantas menyelinap masuk ke dalam pelukan Buna.

“Yang bener, kamu mau bantuin Buna?”

Aku mendongak demi melihat wajah Buna. “Pasti Hafika bantuin, Bun. Lagian, udah lama banget rasanya Hafika gak bantuin Buna buat kue.”

Ucapanku barusan memang benar. Sedari SMA dulu, aku sering membantu Buna membuat kue saat sepulang sekolah. Tapi, setelah aku bekerja di minimarket di sore hingga malam selepas berkuliah, aku jadi tidak sempat lagi membantu Buna. Terkadang, aku merasa kasihan dengan Buna, harus membuat kue sebanyak mungkin dalam jangka waktu yang tidak banyak. Akan tetapi, Buna itu hebat. Ia selalu bisa menyelesaikan pesanan kue dari para langganannya tepat waktu.

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang