37. Pembahasan panjang

87 13 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

Hari ini mungkin akan menjadi hari terakhir aku mengunjungi kediaman Haydan dan keluarga. Sebab, aku percaya, ketika aku dan Haydan menjelaskan semuanya, papa dan mama Haydan akan kecewa terhadapku-juga Haydan-dan melarangku untuk kembali datang ke rumah ini.

"Lo udah siap jelasin semuanya ke bokap sama nyokap gue?" tanya Haydan sekali lagi saat kami masih di dalam mobil.

Aku yang hendak melepas seatbelt memberhentikan aktivitasku dan menoleh ke arahnya. Aku menatapnya sejenak, sebelum akhirnya sebuah anggukan kepala kuberikan kepada lelaki itu.

"Apa pun risikonya, aku udah siap, Dan. Sekalipun kedua orang tua kamu, termasuk Nika harus benci sama aku," ucapku dengan segala pertimbangan.

"Lo tenang aja. Gue nggak akan biarin mereka menaruh benci ke lo. Lagi pula, walau gimanapun, ini kesalahan gue. Gue yang minta lo buat jadi pacar pura-puraan gue."

Aku kembali menganggukkan kepala, tanda bahwa aku sudah memahami segala kalimat yang diucapkan lelaki itu.

"Ayo, turun," kata Haydan yang sudah melepas seatbelt miliknya. Dengan secepat mungkin, aku ikut melepaskan seatbelt dan turun dari mobil.

Aku memandangi rumah mewah milik Haydan sekali lagi sebelum turut berjalan masuk, mengekor dari belakang Haydan.

"Pa, Ma ...."

"Eh, ada Naya yang datang?" sadar tante Lena yang kemudian berjalan menghampiriku untuk menyambut kedatanganku. "Ayo, duduk, Sayang," ujarnya dengan lembut.

Aku mengangguk patuh lalu duduk di sebelah tante Lena. Sementara itu, Haydan duduk di sebelah om Ardi.

"Gimana kabar kamu, Naya?" tanya om Ardi sesaat setelah aku mendaratkan tubuhku di atas sofa.

"Kabar Naya baik, Om. Om sendiri apa kabar?"

"Kabar Om baik .... Ngomong-ngomong, Haydan udah cerita semuanya tentang hubungan persaudaraan kamu dan Marinka. Juga, soal kelakuan Marinka kemarin malam. Om nggak nyangka, ternyata Marinka berani berbuat seperti itu hanya karena rasa sukanya terhadap Haydan," ujar om Ardi. "Om mewakili apa yang telah terjadi, minta maaf sebesar-besarnya kepada kamu, ya, Naya. Om juga titipin maaf ke ibu kamu. Pastinya, ibu kamu khawatir sekali dengan keadaan kamu."

"Om nggak perlu minta maaf, kok. Lagi pula, semuanya udah terjadi. Buna juga gak permasalahan itu. Yang terpenting, saya dan Kia nggak apa-apa."

"Syukurlah kalau begitu. Om senang mendengarnya. Oh iya, Haydan, tolong kamu ke dapur dan minta bibi untuk buatin Naya minum," perintah om Ardi kepada Haydan.

"Nggak perlu repot-repot, Om," tahanku.

"Nggak repot, kok, Naya. Kamu ini sudah Om dan Tante anggap sebagai bagian dari keluarga ini. Jadi, jangan sungkan."

Kalimat om Ardi membuatku tertegun. Kalau begini caranya, bagaimana aku bisa dengan tega melukai hati om Ardi juga tante Lena tentang kenyataan bahwa aku dan Haydan hanya berpura-pura menjalin hubungan?

"Kata Haydan, ada yang pengin kalian omongin sama Om dan Tante. Betul begitu, Naya?" tanya om Ardi setelah Haydan kembali.

Aku melirik Haydan sesaat sebelum menganggukkan kepala.

"Ya sudah kalau begitu, silakan kalau ada yang mau diomongin."

Aku menarik napas panjang sembari merangkai kata-kata di otakku.

"Sebelumnya, Naya mau ucapin terima kasih untuk Om dan Tante yang udah menerima Naya dengan baik di keluarga ini, Naya benar-benar bahagia bisa kenal sama Om dan Tante. Mungkin, Naya hanya orang asing yang mendadak masuk ke keluarga ini, tapi Naya udah anggap Om dan Tante sebagai wakil dari Ayanda dan Buna sendiri. Naya juga mau minta maaf kalau ada perlakuan Naya yang mungkin kurang berkenan di hati Om dan Tante."

Aku memberhentikan kalimatku sejenak, melihat Haydan yang saat ini tengah terdiam. Lelaki itu memberikan kode lewat gerakan matanya untuk melanjutkan kalimatku.

"Sebenarnya, Naya udah lama pengin bicarain ini sama Om dan Tante. Tapi, baru kesampaian sekarang. Naya takut mengecewakan kalian."

"Apa itu, Nak? Sampaikan saja semuanya. Tante dan Om nggak akan kecewa sama kamu kalau kamu jujur," potong tante Lena.

Aku menatap tante Lena dan om Ardi secara bergantian, kemudian kembali menghela napas panjang.

"Sebenarnya, Naya dan Haydan itu nggak beneran pacaran, Om, Tante."

"Nggak beneran pacaran gimana maksud kamu, Sayang?" tanya tante Lena.

Sebelum aku menjawab, Haydan terlebih dahulu angkat suara. "Naya cuma pacar pura-puraan Haydan, Ma."

"Jadi, maksud kamu, selama ini kalian bohongin Papa dan Mama?"

Aku sedikit tersentak ketika intonasi bicara om Ardi meninggi beberapa oktaf. Aku menundukkan kepalaku, tidak berani untuk melihat sang lawan bicara.

"Pa, sebelumnya, Haydan mohon, Papa jangan marah sama Naya. Ini semua kesalahan Haydan, Pa. Haydan yang minta Naya buat jadi pacar pura-puraan Haydan."

Aku dapat mendengar dengkusan kasar om Ardi keluar. "Kenapa kamu lakuin ini, Haydan? Jelasin sama Papa!"

"Haydan minta maaf, Pa. Haydan terpaksa minta bantuan Naya buat jadi pacar pura-puraan Haydan untuk ngehindar perjodohan itu."

"Ngehindar dari perjodohan?"

"Iya, Pa. Haydan benar-benar nggak mau dijodohkan sama Marinka. Haydan tertekan, Pa, sama perjodohan itu!"

"Tapi, nggak begini caranya! Kalau kamu tertekan dengan keputusan itu, kamu bisa bilang sama Papa. Bukannya malah membohongi Papa dan Mama dengan cara seperti ini!"

"Haydan udah coba jelasin itu sama Papa. Tapi, Papa nggak pernah mau dengerin pendapat Haydan. Papa selalu bilang kalau keputusan Papa itu keputusan yang terbaik untuk Haydan. Papa juga bilang kalau Marinka adalah gadis yang baik untuk Haydan. Nyatanya, nggak, Pa! Apa yang Papa lihat di diri Marinka itu salah besar, Pa. Marinka nggak sebaik yang Papa pikir. Marinka cuma berpura-pura baik di hadapan Papa. Karena, tanpa Papa sadari, di belakang Papa, Marinka licik, Pa."

Untuk pertama kalinya, aku mendengar Haydan menyuarakan semua isi hatinya dengan emosi yang sepertinya berusaha ia kontrol di hadapan om Ardi.

"Haydan bingung, Pa. Kenapa selama ini Papa seolah menutup semua telinga Papa untuk mendengar keburukan Marinka!"

Aku mendongakkan kepala dan melihat Haydan yang kini mengacak rambutnya frustrasi.

"Baru kemarin, Pa. Baru kemarin aku lihat Papa kembali menjadi Papa yang aku kenal. Sisanya? Nggak, Pa. Pikiran Papa seolah-olah udah diracuni sama semua kebaikan palsu Marinka."

"Haydan, cukup, Sayang. Jangan mojokin Papa kamu terus," ujar tante Lena menengahi. "Di sini, Mama juga salah. Mama salah karena nggak memaksa menyadarkan Papa kamu atas keputusan yang udah dia buat."

Untuk beberapa saat, suasana menjadi hening-bercampur tegang-, semuanya fokus pada pikiran mereka masing-masing. Sampai akhirnya, suara om Ardi kembali terdengar.

"Papa minta maaf, Haydan. Papa minta maaf karena Papa nggak tahu masalah perjodohan ini begitu berpengaruh bagi kamu. Papa minta maaf karena terlalu memaksakan kehendak Papa."

"Naya ...," panggil om Ardi yang membuatku menoleh ke arahnya.

"Om juga minta maaf sama kamu, karena kamu ikut-ikutan terseret ke dalam permasalahan keluarga kami."

"Om nggak perlu minta maaf. Naya ada di sini juga karena pilihan Naya sendiri. Naya benar-benar nggak menyesal bantu Haydan untuk menghindari perjodohan itu," ucapku dengan tulus.

"Terima kasih, Naya. Kamu memang gadis yang baik. Sayang sekali, kamu dan Haydan cuma pura-pura berpacaran. Padahal, Om dan Tante sudah merasa beruntung mempunyai calon menantu seperti kamu," ucap om Ardi yang membuatku terdiam.

Tidak hanya aku, Haydan juga sama terdiamnya sepertiku.

"Haloha, Nika pulang!" Suara melengking milik Nika mengisi keheningan yang tercipta beberapa saat. "Loh, kok pada serius gitu mukanya? Lagi bahas apa? Perjodohan bang Haydan dan kak Naya?"

🍀🍀🍀

1.137 words
©vallenciazhng_
January 26, 2022

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang