23. Perihal kesepakatan

98 13 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

Aku mengusap handsaplast yang membungkus bekas lukaku dengan lembut sembari kembali memikirkan perihal ancaman dari Marinka. Apa aku harus menuruti permintaan gadis itu untuk menjauhi Haydan? Tapi, apa aku bisa? Mengingat aku mempunyai utang terhadap Haydan yang mengharuskanku tetap membantunya sampai masalah perjodohan itu selesai.

Sayangnya, aku juga tidak bisa mengabaikan ancaman dari Marinka. Ia sudah hampir mencelakai Buna saat itu. Kemungkinannya besar untuk ia kembali berbuat nekat jika aku tidak menuruti permintaannya.

Aku menggaruk kulit kepalaku frustrasi. Mengapa akhir-akhir ini seolah kesialan tidak pernah berhenti datang menimpaku? Kehilangan pekerjaan, terlibat utang dengan Haydan, kembali berurusan dengan gadis seperti Marinka ... ah, ini benar-benar membuatku stres.

“Hafika ... Sayang ....”

Suara lirihan yang datangnya dari kamar Buna itu membuat lamunanku buyar. Dengan langkah cepat, aku pergi ke kamar Buna untuk mengecek kondisinya.

Aku begitu panik ketika mendapati Buna yang kini terduduk di sebelah kasurnya sembari mencoba untuk bangkit. Aku menghampiri Buna dan segera membantunya untuk naik ke atas kasur. “Ya ampun, Buna, kenapa?”

“Bentar, Hafika ambilin minum dulu buat Buna.”

Setelah berujar demikian, aku bergegas ke dapur untuk mengambilkan segelas air untuk Buna.

“Ini, Buna. Buna minum dulu.”

Buna menerima gelas berisi air yang kuambilkan tadi lantas meneguknya sampai habis.

“Buna cerita sama Hafika, kok Buna bisa duduk di bawah tadi? Buna jatuh?”

“Tadi saat Buna beres-beres kamar, kaki Buna mendadak mati rasa. Terus, nggak lama setelah itu, Buna jatuh ke bawah, makanya Buna manggil kamu.”

Aku menatap Buna dengan penuh kekhawatiran. “Kenapa bisa mati rasa? Buna sakit?”

Buna menggelengkan kepalanya. “Buna nggak sakit, Sayang. Paling kecapekan aja, kok. Kamu nggak perlu khawatir,” tutur Buna.

Tangan Buna lantas terulur untuk menyelipkan anak rambutku yang sedikit menghalangi pemandangan wajahku ke belakang telinga.

“Kamu belum berangkat kuliah?” tanya Buna yang membuatku refleks melihat jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan.

“Sebentar lagi, Bun. Hafika mau nemenin Buna dulu di sini.”

“Nanti kamu telat, loh, Sayang. Buna udah nggak pa-pa. Nggak perlu ditemenin.”

“Nggak bakal telat, Buna. Bentarrr aja. Hafika mau nemenin Buna. Oke?”

“Ya udah, kalau gitu. Gak pa-pa .... Ngomong-ngomong, gimana kuliah kamu, Sayang?”

“Lancar, Buna.”

“Sebentar lagi, kamu udah mau ujian akhir, kan?”

Aku menganggukkan kepalaku. Ujian akhir hanya tinggal beberapa hari lagi dan ... aku belum mempersiapkannya sama sekali. Pikiranku terlalu berfokus pada masalah Haydan dan perjodohannya. Belum lagi sekarang, masalah Marinka turut menghantui pikiranku.

Berbicara mengenai ujian akhir semester ... bukankah itu tandanya pendaftaran ulang mahasiswa baru akan semakin dekat? Sementara, sampai sekarang aku belum mendapatkan pekerjaan. Belum lagi, kondisi Buna yang mengkhawatirkanku. Tentunya, aku tidak bisa terus-menerus bergantung pada Buna. Aku takut, Buna terlalu memforsir dirinya untuk bekerja—menerima semua pesanan kue yang ada—sehingga membuatnya kecapekan akhir-akhir ini.

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang