Happy Reading
🍀🍀🍀
Hari ini, sepulang kuliah, aku kembali pergi ke rumah kakek. Kali ini, tidak bersama Buna, melainkan bersama Haydan. Haydan bilang, selama niat perjodohan dirinya dan Marinka itu di berlangsungkan, ia belum pernah bertemu dengan kakek. Maka dari itu, ia ingin bertemu dengan kakek sekarang.
"Lo yakin Marinka nggak ada di sana? Gue males kalau harus ketemu sama gadis itu," ucap Haydan yang kini tengah menyetir mobil. Pandangan lelaki itu lurus ke depan.
Aku menggeleng. "Marinka udah keluar dari rumah kakek."
Dan, aku baru tahu, alasan mereka pergi dari rumah kakek ialah karena mereka tidak tahan dengan kondisi kakek yang sakit-sakitan. Ditambah lagi, om Bala sudah berhasil mendapatkan perusahaan atas namanya. Maka, niatan mereka untuk keluar dari rumah kakek semakin menjadi.
Terkadang, aku tidak habis pikir, ternyata masih ada orang-orang seperti itu. Yang masih menomorsatukan perihal harta dan mengabaikan orang tua. Meskipun om Bala bukan anak kandung kakek, namun tetap saja, om Bala sudah sah menjadi anak kakek di mata hukum.
Selama ini seperti yang kuketahui, kakek juga tidaklah membedakan kasih sayang antara Ayanda dan om Bala. Bahkan, kakek terlihat jauh lebih menyayangi om Bala yang bukan darah dagingnya sendiri. Tapi, apa yang dilakukan om Bala sebagai balas budinya? Tidak ada. Selain memaksa kakek untuk menjatuhkan hak milik perusahaan menjadi miliknya. Belum lagi, ia mengajak istri serta anaknya untuk kabur dari rumah dan meninggalkan kakek. Benar-benar keji.
"Marinka keluar dari rumah kakek lo? Kenapa? Diusir?" tanya Haydan.
"Nggak. Mereka keluar karena keinginan mereka sendiri," jawabku apa adanya.
"Kenapa?" tanya Haydan penasaran.
Aku mengedikkan bahuku. Malas membahas topik itu kembali.
Aku lantas bersiap melepas seatbelt saat mobil Haydan sudah memasuki pekarangan rumah kakek.
"Lo mau tahu nggak? Dulu, gue benci banget pas bokap ngajak gue ke rumah ini. Tapi, kayaknya sekarang malah gue yang minta ke sini," ujar Haydan lalu tertawa kecil.
"Gue nggak pernah nyangka. Gue bakal berurusan dengan dua cucu kesayangan kakek lo. Yang pertama, Marinka. Yang kedua, lo, Nay," lanjut Haydan.
"Maaf, kamu siapa, ya?" tanyaku berniat mengacau Haydan.
"Gue ... calon pacar lo," tandas Haydan yang membuatku seketika kekurangan pasokan oksigen.
"Makanya, gue mau minta restu sama kakek lo."
Setelah itu, Haydan segera keluar dari mobilnya. Meninggalkanku yang masih berusaha mengumpulkan pasokan oksigen untuk kuhirup.
Tanpa aku sadari, seutas senyum kecil tercetak di wajahku.
Haydan Acisclo. Lelaki itu benar-benar mampu membuat hatiku bergetar hebat.
🍀🍀🍀
"Hafika, cucu kakek ...," sambut kakek yang kini sepertinya baru saja menghabiskan makan siangnya. Dapat dilihat dari kakek yang menyerahkan piring kotor kepada bi Ina yang juga ada di ruangan ini.
"Kalau begitu, bibi permisi dulu, Pak, Non," ucap bi Ina kemudian berlalu dari hadapanku.
Aku menoleh ke belakang sejenak untuk melihat Haydan, lalu memberikan kode agar lelaki itu mengikutiku menghampiri kakek yang ada di kasurnya. Kakek menggeser sedikit tubuhnya agar aku dapat duduk di sebelahnya. Sementara itu, Haydan berdiri di dekatku.
"Kamu udah makan siang, belum?" tanya kakek yang kujawab dengan gelengan kepala.
"Kenapa belum makan? Kamu makan dulu sana. Minta bi Ina siapkan makan siang untuk kamu," perintah kakek yang membuat hatiku menghangat. Rasanya, sudah lama aku tidak mendapat perhatian seperti ini dari kakek.
Dulu semasa kecil, kakek adalah orang yang paling cerewet terhadap semua hal yang berhubungan denganku. Termasuk, perihal jadwal makan. Saat aku kecil dulu, aku memang termasuk anak yang sulit disuruh makan. Maka dari itu, seringkali kakek khawatir dan membujukku terus-menerus untuk makan. Mungkin, kakek khawatir bila cucunya ini akan bertambah kurus.
"Nanti aja, Kek. Hafika juga belum lapar," ucapku.
"Kalau sudah lapar, segera makan, ya. Jangan ditahan. Nanti kamu sakit," kata kakek.
Aku mengangguk, kemudian meletakkan telapak tangan di samping kepala membentuk gerakan hormat. "Siap, Kakek!" seruku.
"Ngomong-ngomong, cowok ini siapa?" tanya kakek sembari mengarahkan telunjuknya kepada Haydan.
"Ini Haydan, Kek. Temannya Hafika," ucapku memperkenalkan Haydan.
Aku sedikit memberi ruang kepada Haydan yang hendak menyalami kakek. "Selamat siang, Kek. Saya Haydan Acisclo, temannya Hafika."
"Kamu ini temannya cucu saya, atau pacarnya?" tanya kakek yang membuatku membulatkan mata.
"Ih, kakek. Kok tanyanya gitu, sih?" protesku, namun kakek tidak mempedulikannya. Kakek masih setia memperhatikan Haydan.
"Saat ini masih teman, Kek," jawab Haydan.
Aku menghela napas ketika mendapati jawaban Haydan yang seperti itu. Seakan-akan kalimatnya itu bermakna ambigu.
"Oh, begitu. Kalau begitu, saya titip cucu saya. Jaga dengan baik, ya," pesan kakek kepada Haydan.
"Kekk ... kok Kakek sama kayak Buna, sih? Main nitipin Hafika ke Haydan aja. Emangnya, Hafika barang apa yang dititipin kayak gitu?" protesku seraya mengerucutkan bibir kesal.
"Memangnya hanya barang yang bisa dititipkan? Manusia juga bisa dititipkan untuk dijaga. Itu alasan kenapa dicetus yang namanya tempat penitipan anak," jawab kakek yang membuatku kehilangan kata-kata. Sekarang, aku jadi penasaran. Apa dulu saat di sekolah, kakek adalah seorang murid yang berlangganan mengikuti lomba debat?
"Tadi siapa nama belakang kamu? Acisclo, ya?" tanya kakek kepada Haydan. Lelaki itu mengangguk sopan.
"Nama belakangmu seperti tidak asing," kata kakek. "Nama kakek kamu siapa?"
"Nugraha Acisclo, Kek."
"Oh, Nuga. Pantas saja, saya merasa tidak asing dengan nama belakang kamu," ucap kakek.
"Memangnya, Kakek kenal sama kakeknya Haydan?" tanyaku mengernyitkan kening.
"Bukan kenal lagi. Nuga itu sahabat kakek. Dari masih anak-anak, bahkan sampai udah punya cucu," ujar kakek.
Aku baru tahu. Ternyata, kata orang benar, ya. Dunia ini sempit. Fakta baru yang kuketahui, kakek dan kakeknya Haydan saling mengenal, bahkan mereka bersahabat pula.
"Sayangnya, umur Nuga tidak panjang. Kapan-kapan, ajak Kakek mengunjungi makam kakekmu, ya. Rasanya, sudah lama kakek tidak mengunjungi tempat peristirahatan terakhirnya," kata kakek dengan sendu.
"Iya, Kek," ujar Haydan.
Kakek beralih menatapku. "Ibumu mana? Kenapa nggak datang?" tanya kakek yang sepertinya baru menyadari ketidakhadiran Buna.
"Buna sedikit sibuk, lagi banyak orderan, Kek. Makanya, hari ini Buna nggak datang dulu," ucapku.
"Ibumu itu masih sama seperti dulu. Rajin sekali. Kakek menyesal karena pernah tidak merestui pernikahan ayah dan ibumu," ujar kakek seraya tersenyum kecil. "Bodohnya Kakek, Kakek selalu termakan omongan Bala dan Meilisa, sampai-sampai Kakek dulu tega mengusir kalian dari rumah ini."
Aku berusaha untuk tersenyum, meski apa yang diucapkan kakek barusan ialah hal yang menyakitkan.
"Kakek nggak perlu menyesal. Semuanya udah berlalu. Yang terpenting sekarang, Hafika tahu kalau Kakek masih sayang sama Hafika," ucapku lantas memeluk kakek.
"Masih dan akan selalu begitu."
🍀🍀🍀
1.019 words
©vallenciazhng_
February 9, 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Wheel of Life [ Completed ✔ ]
RomancePertemuan Hafika dengan Haydan Acisclo membuat Hafika harus terjebak bersama lelaki itu. Hafika terpaksa menjadi pacar pura-puraan Haydan untuk membayar utangnya. Belum lagi, ia harus kembali berurusan dengan keluarga besarnya karena kehadiran Marin...