47. Keputusan

81 15 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

“Dulu, gue pernah kok benci sama bokap nyokap gue karena kesalahpahaman itu. Waktu gue dengar cerita dari bokap nyokap gue kalau gue pernah tinggal sama bu Halimah, gue marah. Gue pikir, mereka udah tega banget buat ngebuang gue. Tapi, ternyata apa? Faktanya, gue salah besar. Karena, ceritanya nggak seperti yang gue bayangkan.”

“Gue harap, lo nggak kayak gue yang dulu, Nay. Yang sembarang menghakimi. Gue nggak maksa lo. Itu semua hak lo. Tapi, gue saranin lo buat ketemu sama kakek lo. Setelah itu, lo bisa tanyain ke kakek lo semua pertanyaan yang sekarang ada di benak lo, Nay. Lo ungkapin semuanya. Jangan ada yang berusaha lo tutupin lagi. Selesaikan semua masalah lo. Gue yakin, kok. Ini semua cuma masalah kesalahpahaman.”

Setelah kepulangan Haydan, aku kembali masuk dan mengurung diri di dalam kamar. Kali ini, bukan karena aku yang kecewa terhadap siapa pun, melainkan karena aku yang ingin mempunyai lebih banyak waktu untuk sendiri dan merenungkan semua masalah ini.

Mungkin, Haydan ada benarnya. Boleh jadi, ini semua hanya perihal salah paham. Barangkali, ada fakta yang tidak kuketahui. Harusnya, aku bisa lebih bijak untuk menanggapi masalah ini. Harusnya, aku paham bahwa sejauh apa pun aku berlari menjauhi masalah yang ada, aku akan tetap menghadapinya. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti.

Aku mengusap wajahku frustrasi. Masalah ini cukup menyita waktu dan perhatianku. Aku bahkan sampai menelantarkan tugas kuliahku yang harusnya kukerjakan kemarin demi memikirkan masalah ini.

“... gue saranin lo buat ketemu sama kakek lo.”

Sepertinya, Haydan memang benar. Aku harus menemui kakek dan menyelesaikan semua masalah yang ada. Setidaknya, itu jalan satu-satunya agar aku dapat berdamai dengan masa lalu.

🍀🍀🍀

Aku berjalan menghampiri Buna yang saat ini ada di kamarnya. Buna terlihat tengah melipat pakaian yang baru saja kering. Karena posisi Buna yang membelakangiku, maka tentunya Buna tidak menyadari keberadaanku. Hingga saat aku duduk di sebelahnya dan menciptakan guncangan kecil di ranjang, Buna segera menoleh dan baru menyadari keberadaanku.

“Sayang?” Buna membeo.

“Ada apa ke kamarnya Buna?” tanya Buna selanjutnya, namun aku tidak menjawab, melainkan langsung memeluk Buna dari samping.

“Buna, maafin Hafika, ya,” ujarku sembari mendongakkan kepala.

“Maaf untuk apa, Sayang?”

“Hafika minta maaf karena masalah yang kemarin. Hafika nggak seharusnya menaruh marah ataupun kesal ke Buna karena masalah kakek.”

Aku mengurai pelukanku setelah berujar demikian, melihat jauh ke dalam dua bola mata Buna.

Aku dapat merasakan tatapan Buna yang menghangat seiring dengan berjalannya waktu. Beberapa saat kemudian, senyuman kecil tercetak di wajah Buna.

“Hafika nggak perlu minta maaf, Sayang,” ujar Buna. Tangan kanan Buna terulur menyentuh puncak kepalaku. Tidak. Lebih tepatnya, untuk merapikan anak rambutku yang sedikit tidak rapi. “Buna paham, kok. Buna paham banget apa yang dirasain sama anak Buna.”

“Justru Buna yang salah. Buna yang harusnya minta maaf. Nggak seharusnya Buna menegur kamu seperti itu di depan pak Wahyu,” lanjut Buna.

Aku dengan cepat menggelengkan kepala. “Buna nggak salah. Niat Buna baik, kok. Buna cuma nggak mau Hafika menjadi seorang yang durhaka. Iya, kan, Buna?”

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang