Happy Reading
🍀🍀🍀
Setelah Haydan pulang, aku langsung bergegas untuk membersihkan diri dan membantu Buna menyiapkan makan malam. Malam ini, aku dan Buna memilih menu ikan goreng sambal matah dan sawi keriting untuk melengkapi sepiring nasi. Kebetulan, pagi tadi, Buna membeli ikan segar dari nelayan yang baru selesai memancing.
Aku membantu Buna mengeluarkan ikan dari lemari es, kemudian memberikannya kepada Buna untuk ia cuci. Sejujurnya, aku mempunyai pengalaman buruk dengan seekor ikan yang belum dimasak. Saat itu, aku hendak membantu Buna mencuci ikan yang masih benar-benar segar. Karena baru dibeli, ikan tersebut masih bergerak dengan gerakan kecilnya. Sayangnya, saat aku hendak mencucinya dengan air mengalir, ikan itu justru melompat—hampir mengenai wajahku—dan terjatuh ke lantai.
Sejak saat itu, Buna tidak memberikanku izin untuk mencuci ikan lagi. Selain karena ikan tersebut yang jatuh ke lantai, Buna juga sepertinya menangkap sinyal takut dari diriku.
Selagi Buna mencuci ikan, aku menyiapkan sambal matahnya. Aku mengambil beberapa buah bawang merah, cabai rawit dan daun jeruk yang kupotong tipis. Aku juga menambahkan garam pada bahan sambal matahku untuk memberi rasa.
“Kenapa kamu gak pernah cerita sama Buna kalau udah punya pacar?”
Pertanyaan itu dilontarkan Buna saat ia selesai mencuci ikan. Aku tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Memilih untuk melihat pergerakan tangan Buna. Buna meletakkan ikan yang sudah ia cuci di atas sebuah piring cekung dan melumuri ikan dengan jeruk nipis.
“Kamu takut Buna marah?” tanya Buna kembali, saat aku tak kunjung menjawab.
“Nggak, Buna. Hafika emang belum nemuin waktu yang tepat untuk cerita aja,” ujarku berbohong. Sebenarnya, aku ingin sekali mengatakan yang sejujurnya kepada Buna perihal status pacaran pura-puraku. Sayangnya, Haydan terlebih dahulu mewanti-wanti dan memintaku untuk menyembunyikan semua itu dari Buna. Katanya, untuk berjaga-jaga bila ternyata kedua orang tua mereka saling mengenal dan menyebabkan adanya kesalahpahaman dalam menyampaikan cerita.
“Lalu, kapan waktu yang tepatnya, Sayang? Tunggu Buna udah meninggal?”
“Ih, Buna. Kok ngomongnya gitu, sih? Buna mau ninggalin Hafika?” Mendadak, mood-ku menjadi buruk. Aku paling tidak suka bila sudah membahas berkaitan dengan hal yang menjurus pada kematian. Entahlah, semenjak kepergian Ayanda, Buna adalah satu-satunya keluarga yang aku miliki. Satu-satunya tempatku bersandar ketika lelah menghampiri.
“Ya, habisnya, kamu gak mau cerita sama Buna,” ujar Buna yang masih fokus pada aktivitasnya melumuri ikan.
“Bun, jangan bilang kayak gitu lagi, ah. Hafika gak suka,” ucapku. Buna berhenti melumuri ikan. Ia menoleh kepadaku lantas tersenyum.
“Bukannya setiap manusia itu akan mengalami yang namanya kematian?” Buna membuatku hilang kata untuk berbicara.
“Sayang, cepat atau lambat, suka atau tidak suka, kita memang akan menemui kematian. Maka dari itu, Buna benar-benar berharap kamu nemuin seseorang yang sayang sama kamu, seperti Buna menyayangi kamu. Dia yang bisa Buna percaya untuk menjaga kamu.”
Air mataku nyaris jatuh ketika mendengar kalimat dari Buna.
“Udah, jangan mellow lagi, ya. Nanti masaknya gak selesai, nih. Bisa-bisa ikannya marah karena kelamaan nunggu,” ucap Buna tertawa kecil. Entah bagaimana caranya, namun aura tawa itu seolah ditransfer oleh Buna kepadaku.
Aku tersenyum, kemudian menatap permukaan wajah wanita yang telah mengandungku selama 9 bulan itu dengan saksama.
“Bun, Hafika sayang banget sama Buna,” ungkapku dengan penuh ketulusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wheel of Life [ Completed ✔ ]
RomancePertemuan Hafika dengan Haydan Acisclo membuat Hafika harus terjebak bersama lelaki itu. Hafika terpaksa menjadi pacar pura-puraan Haydan untuk membayar utangnya. Belum lagi, ia harus kembali berurusan dengan keluarga besarnya karena kehadiran Marin...