Happy Reading
🍀🍀🍀
Aku dan Haydan baru saja menyelesaikan makan siang kami yang ditemani oleh sepiring nasi goreng seafood. Sebenarnya, aku belum begitu lapar. Sebab, di kampus tadi, aku sempat mengemil beberapa bungkus makanan ringan yang kubeli di kantin. Sayangnya, kakek telah menyuruhku dan Haydan agar segera mengisi perut di ruang makan.
“Itu siapa?” gumamku ketika melihat seorang lelaki berpakaian serba hitam keluar dari kamar kakek sembari membawa sebuah map.
Karena rasa penasaran, aku memilih menanyakan perihal orang tersebut kepada kakek di kamar.
“Kek,” panggilku.
“Udah selesai makannya kalian?” tanya kakek.
Aku menganggukkan kepala. “Udah, Kek. Ehm, orang yang barusan keluar itu siapa, Kek? Trus, kok kayaknya cepat banget udah keluar? Padahal, Hafika dan Haydan makan gak sampai 15 menit. Emangnya, urusannya udah selesai?” tanyaku berpanjang lebar.
Kakek tersenyum kecil. Mungkin, karena mendengar kalimat panjang berisi pertanyaan dariku.
“Itu pak Ricky, Hafika. Pak Ricky itu notaris. Dia ke sini cuma minta tanda tangan Kakek. Terus, pulang ke kantornya lagi,” ujar kakek yang membuatku ber oh ria.
Tapi, yang jadi pertanyaanku sekarang, apa urusan yang mengharuskan kakek berurusan dengan notaris seperti itu?
“Tanda tangan untuk apa, Kek?”
“Ah, iya, Kakek lupa memberitahu kamu, Hafika. Kakek tengah mengurus balik nama rumah ini dan perusahaan menjadi nama kamu,” tutur kakek yang membuatku terkejut.
“Balik nama? Untuk apa, Kek? Hafika nggak butuh rumah dan perusahaan. Hafika cuma butuh keluarga Hafika sehat-sehat aja.”
“Sayang, Kakek tahu, kamu bukan tipikal orang yang menginginkan harta. Tapi, ini semua Kakek berikan ke kamu untuk menjamin masa depan kamu ke depannya. Kakek ingin, perusahaan Kakek yang satu ini dikelola oleh kamu nantinya.”
“Bukannya perusahaan Kakek udah diambil alih oleh om Bala?”
Kakek tersenyum kecil, lantas menggeleng. “Sebenarnya, yang mereka ambil alih itu anak perusahaan dari perusahaan ini. Seandainya Kakek menarik saham dari anak perusahaan itu, Bala dan keluarganya pasti hancur. Sayangnya, Kakek masih menganggap Bala sebagai anak Kakek.”
“Tapi, karena perusahaan ini nantinya Kakek berikan ke kamu, semuanya Kakek serahkan ke kamu, apakah kamu masih ingin menyuntikkan saham kepada anak perusahaan itu atau tidak,” lanjut kakek yang membuatku merasa terharu.
“Kek, kenapa Kakek kasih itu semua kepada Hafika? Padahal, Hafika—”
“Karena, Kakek ingin menebus semua kesalahan Kakek. Lagi pula, kamu cucu kesayangan Kakek. Tidak ada salahnya Kakek mewariskan perusahaan kepada kamu.”
Aku tidak bisa menahan rasa bahagiaku. Dengan cepat, aku memeluk kakek, menyalurkan semua perasaan cintaku kepada kakek. Ternyata, sebesar apa pun rasa benci yang pernah aku tanamkan di diri terhadap kakek, tidak akan pernah mengalahkan rasa cintaku kepada kakek. Kakek adalah cinta ketigaku, setelah Ayanda dan Buna. Cinta yang kupercaya hadirnya untuk melindungi, bukan menyakiti. Sebab, sekalipun kakek pernah menyakiti perasaanku, setidaknya aku paham bila itu semua hanya sebatas kesalahpahaman.
“Hafika ... pulang, ya, Sayang. Ajak Bunamu juga. Pulang ke sini. Ke rumah kalian,” ujar kakek dengan perlahan. Aku mengurai pelukanku, kemudian menatap kakek sejenak dan menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wheel of Life [ Completed ✔ ]
RomancePertemuan Hafika dengan Haydan Acisclo membuat Hafika harus terjebak bersama lelaki itu. Hafika terpaksa menjadi pacar pura-puraan Haydan untuk membayar utangnya. Belum lagi, ia harus kembali berurusan dengan keluarga besarnya karena kehadiran Marin...