Happy Reading
🍀🍀🍀
Hari ini terhitung sebagai hari ke lima aku tinggal di rumah kakek, yang mungkin juga merupakan rumahku. Kakek memang tidak main-main dengan ucapannya. Kakek telah memberikan ahli waris rumah dan perusahaan miliknya kepadaku. Aku tidak tahu. Apakah aku harus bahagia atau justru merasa tidak enak hati. Sebab, aku sama sekali tidak mengharapkan sebagian dari aset kakek menjadi milikku.
Dua hari yang lalu, baik aku, Buna, dan kakek mengunjungi makam Ayanda. Ini semua karena permintaan kakek. Kakek mengatakan bila selama ini ia belum pernah mengunjungi makam Ayanda, maka dari itu kakek ingin menemui Ayanda di tempat peristirahatan terakhirnya. Saat itu, kakek meminta sedikit waktu kepadaku dan Buna untuk menyampaikan beberapa hal yang sudah lama ia pendam kepada Ayanda. Aku jelas tidak tahu, apa yang kakek bicarakan. Yang jelas, setelah berbicara di depan makam Ayanda, mata kakek membengkak akibat menangis.
Kemarin, kakek juga berbicara kepada Buna. Kakek menyarankan Buna untuk membuka toko kue secara resmi saja. Kakek juga mengatakan bila Buna bisa membuat kue yang lebih bervariasi untuk nantinya ia jual. Saran tersebut sangat aku dukung. Hanya saja, Buna terlihat sedikit ragu. Walau pada akhirnya, Buna juga menyetujui ide tersebut.
“Nanti Putri coba nyari tempat yang strategis buat disewa, Pa.” Begitu kalimat akhir yang diberikan Buna.
Sampai sekarang, aku masih membantu Buna untuk mencari tempat yang bagus, yang sekiranya cocok untuk dibuka sebuah toko kue. Aku juga meminta pendapat kepada Haydan. Lelaki itu memberikanku beberapa saran tempat yang kemudian kuberitahu kepada Buna untuk dipertimbangkan.
Ngomong-ngomong, perihal kondisi kakek, kakek sudah membaik. Tidak lagi terus-menerus hanya beraktivitas di dalam kamar saja. Sekarang, kakek lebih suka berkebun di bagian belakang rumah. Tentunya, kakek mengajakku juga. Aku benar-benar bahagia.
Dulu semasa kecil, aku juga sering berkebun bersama kakek. Jadi, aku menganggap kegiatan berkebunku sekarang bersama kakek ialah sebuah bentuk nostalgia.
Dari sekian banyak tumbuhan yang ditanam kakek, ada beberapa jenis sayur yang kusuka. Dua diantaranya ialah sawi putih dan seledri.
“Rasanya, udah lama Kakek nggak berkebun seperti ini,” ujar kakek yang kini duduk di tepian kebun, seraya mengibas-ngibaskan tangannya. Mungkin, tengah gerah.
Aku memberhentikan aktivitasku dan turut duduk di sebelah kakek. “Hafika juga udah lama nggak berkebun. Dulu aja pas kecil sama Kakek,” timpalku.
“Biasanya, Kakek berkebun sendiri? Atau, sama Marinka?” tanyaku penasaran.
“Marinka mana mau diajak berkebun. Baru diajak saja, anak itu udah bawa-bawa kotor,” ujar kakek lalu tertawa kecil.
“Namanya juga berkebun. Ya, pastinya nggak jauh-jauh dari kata kotor,” lanjut kakek yang membuatku refleks melihat ke kedua tanganku yang kini sedikit kotor terkena tanah saat tadi berkebun. Juga, baju putihku yang terdapat beberapa titik noda akibat terkena air siraman pupuk.
Seketika, aku menyesal karena sudah mengenakan baju putih. Semoga saja, noda di bajuku dapat hilang ketika dicuci menggunakan pemutih nantinya.
“Kamu masih mau lanjut?” tanya kakek.
Aku mengangguk. “Masih, Kek.”
“Ya sudah, kamu lanjutkan saja berkebunnya. Kakek udah capek, mau istirahat ke dalam. Maklum faktor U,” ucap kakek yang kemudian mentransfer tawanya kepadaku.
“Hati-hati, Kek,” kataku ketika kakek menaiki tangga untuk masuk ke dalam rumah. Setelah kakek menghilang dari pandanganku, aku kembali melanjutkan aktivitasku untuk menyiram tumbuhan-tumbuhan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wheel of Life [ Completed ✔ ]
RomancePertemuan Hafika dengan Haydan Acisclo membuat Hafika harus terjebak bersama lelaki itu. Hafika terpaksa menjadi pacar pura-puraan Haydan untuk membayar utangnya. Belum lagi, ia harus kembali berurusan dengan keluarga besarnya karena kehadiran Marin...