43. Calon pacar

77 11 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

“Astaga, kesiangan!” pekikku ketika melihat angka yang ditunjukkan oleh jam dinding di kamarku. Dengan cepat, aku menyambar handuk dan berlari menuju kamar mandi. Saking buru-burunya, aku tidak lagi fokus mendengarkan kalimat yang dilontarkan oleh Buna. Bahkan, hampir saja, kepalaku terjedot pintu kamar mandi pagi ini. Sungguh, cerita pagi hari yang sangat menyenangkan.

Di acara mandi bebekku kali ini, aku tidak sempat mencuci muka dengan facial wash lagi. Jangankan mencuci muka, aku saja dengan sembarang menyabuni tubuhku. Persetan dengan semua itu, yang terpenting sekarang ialah aku dapat cepat berganti pakaian formal anak kuliahan dan segera berangkat ke kampus.

“Sayang, mau kemana? Sarapan dulu sini,” ucap Buna. Aku berjalan ke arah Buna yang ada di dapur sembari mengeringkan rambut dengan handuk, mengambil sepotong roti dan menggigitnya asal.

“Hafika udah mau telat, Buna. Gak sempat sarapan lagi. Makan roti aja,” kataku kemudian bergegas masuk ke kamar dan mengambil totebag milikku.

“Telat apanya, Sayang? Ini baru jam setengah tujuh pagi. Biasanya juga kamu berangkat ke kampus jam setengah delapan,” ucap Buna yang membuatku refleks membuka lebar mulutku.

“Setengah tujuh?” Aku melihat ke arah jam dindingku, mendapati jarum jam yang tidak bergerak sama sekali. Untuk memastikan,  aku mengecek jam yang tertera di ponselku. Ternyata, benar. Masih jam 6.30 pagi. Ini berarti jam dinding di kamarku rusak.

Aku melempar totebag ke atas ranjang dengan asal, kemudian mendesah pelan. “Udah buru-buru tadi, kirain telat. Eh, rupanya masih awal.”

Buna tertawa kecil. “Lain kali, pastiin dulu jamnya jalan apa nggak,” ucap Buna.

“Kan, tadi udah panik, Buna, ngelihat jam. Jadinya buru-buru mandi.”

“Ya udah, sarapan dulu, yuk, Sayang.” Buna merangkulku dan bersama-sama kami berjalan menuju meja makan.

Aku menyantap sarapanku pagi ini dengan sedikit berleha-leha. Toh, masih ada waktu sejam untukku berangkat ke kampus. Merasa bosan setelah menghabiskan sarapanku, aku memutuskan untuk berangkat ke kampus lebih awal hari ini. Lagi pula, tidak ada lagi yang bisa kulakukan di rumah, selain men-scroll sosial media. Itu pun sudah kulakukan hampir setiap hari, dan tentu saja sudah membosankan.

“Buna, Hafika mau berangkat ke kampus dulu, ya,” pamitku kepada Buna.

“Loh, ini masih awal. Kok tumben udah mau pergi?”

“Hafika bosan, Buna, di rumah. Mumpung masih awal, Hafika mau ke perpustakaan kampus dulu bentar,” kataku.

“Kamu sama siapa berangkatnya?”

Aku mengernyitkan kening, pertanyaan Buna sedikit aneh. “Ya, sendiri, Buna. Kan, biasanya juga gitu.”

“Ya, itu biasanya. Sekarang, kan, nggak biasanya,” tutur Buna yang membuatku semakin kebingungan. Aku baru saja ingin bertanya maksud kalimat Buna, namun suara klakson mobil yang tiba-tiba terdengar membuatku dan Buna sontak menoleh keluar.

“Nah, itu, nak Haydan udah datang.”

“Haydan?” Aku membeo. Aku menyusul Buna yang sekarang sudah melangkah keluar untuk menyambut Haydan.

“Pagi, Tante, Naya,” sapa Haydan. Lelaki itu tampak rapi hari ini. Dengan kemeja flanel berwarna cokelat muda yang dipadukan dengan celana hitam. Tidak seperti biasanya, saat ia menggunakan dalaman kaos dan jaket sebagai luarannya.

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang