42. Pendapat Buna

80 15 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

Ehm, udah malem, Nay. Kalau gitu, gue mau pulang dulu, ya. Nggak enak kalau dilihat tetangga lo nanti,” ucap Haydan. Aku menganggukkan kepala dan mengantar Haydan sampai ke depan rumah. Lelaki itu mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya kemudian memutar kunci tersebut dengan telunjuknya dan berjalan menuju mobilnya.

“Makasih, Dan,” kataku. Haydan memberhentikan langkahnya. Lelaki itu berbalik badan dan memiringkan sedikit kepalanya.

“Lo ngomong apa tadi? Sorry, gue nggak terlalu jelas.”

Aku menghela napas dan kembali mengulangi perkataanku tadi. “Makasih.”

“Makasih karena udah bayarin biaya rumah sakit Buna. Makasih juga karena udah anterin aku sama Buna sampai rumah,” lanjutku.

Lelaki itu tersenyum kecil sebelum menjawab, “Nggak perlu makasih, Nay. Gue ikhlas kok bantuin lo sama nyokap lo.”

Hatiku menghangat ketika mendengar kalimat penuh ketulusan itu.

“Gue ... pulang dulu, ya?” pamit Haydan.

“Iya, hati-hati.”

“Jangan kangen, loh,” ucapnya berubah menjengkelkan.

“Siapa juga yang kangen sama kamu? Geer banget, sih,” cibirku.

Lelaki itu tertawa kecil. Ia berjalan menghampiriku kemudian mengacak rambutku.

Aku berdecak. “Berantakan, Dan.”

“Nggak pa-pa. Cewek gue tetap cantik, kok,” ucapnya. Aku refleks memukul lengannya.

“Siapa yang cewek kamu? Kita belum pacaran, ya,” protesku.

“Belum?” Ia membeo. Seringai kecil tampak di wajahnya. “Secara nggak langsung, berarti lo berharap jadi pacar gue dong nantinya?” tanyanya meledek.

Aku refleks menggeleng. “Eh, nggak gitu.”

Lelaki itu hanya tertawa kecil. “Tunggu gue, ya, Nay. Gue bakal buktiin perasaan gue sama lo.”

Ucapan Haydan membuatku tertegun. Entah sudah terhitung berapa kali di hari ini, ia mengucapkan sederet kalimat bermakna sama kepadaku, yakni tentang perasaan dan juga ketulusannya.

“Udah, pulang sanaaa, ih,” ujarku mengusir Haydan sebagai pengalihan dari pembahasan tadi.

“Iya, Naya. Gue pulang sekarang,” jawab Haydan setelah tertawa kecil. “Lo langsung tidur, ya, habis ini. Jangan bergadang. Nanti kantong mata lo makin tebal kayak panda.”

“Gak pa-pa. Panda kan lucu,” ujarku.

“Panda emang lucu. Tapi, kayaknya gue lebih suka lo, deh.”

“HAYDAN!” pekikku. “Udah, pulang sana. Aku hitung sampai tiga. Satu!”

“Oke, Nay, oke. Gue pulang.” Ia mundur selangkah.

“Dua!”

“Lo langsung tidur, ya. Kalau kangen sama gue, langsung samperin aja ke mimpi.”

“Tiii ....”

Good night, Nay. Have a nice dream,” pesannya sebelum ia membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam. Tak lama setelah itu, bunyi mesin mobil yang dinyalakan terdengar. Lelaki itu menurunkan jendela mobilnya sejenak dan melambaikan tangannya kepadaku.

“Gue pulang dulu,” katanya. Setelah itu, ia kembali menaikkan jendela mobilnya dan melaju keluar dari pekarangan rumahku. Meninggalkanku yang tengah menahan semburat senyum.

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang