35. Alasan

89 13 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

Bagi hampir keseluruhan orang, mengunjungi makam di malam hari adalah hal yang paling dihindari. Tapi, kurasa itu tidak berlaku bagiku dan Haydan. Saat ini, kami tengah menyusuri jalanan pemakaman yang teramat sepi, bahkan benar-benar tidak ada orang di sini, kecuali kami berdua.

“Jadi, karena itu lo benci sama kakek lo? Karena, kakek lo lebih sayang sama Marinka?”

Untuk menjawab pertanyaan dari Haydan tadi, aku memilih untuk langsung mengajaknya ke sini, mengunjungi makam Ayanda.

“Bahari A? A ... Abdinegara? Ini makam bokap lo?” tanya Haydan yang kutebak memiliki sejuta pertanyaan di benaknya. Kening mengerutnya ialah bukti.

“Iya. Ini makam Ayanda,” jawabku sebelum akhirnya bersimpuh di depan gundukan tanah itu. “Malam, Ayanda. Maaf, Hafika ganggu waktu istirahat Ayanda dengan datang malam-malam ke sini.”

Aku mengelus nisan bertuliskan nama Ayanda itu dengan lembut. Aku menoleh sejenak saat Haydan turut bersimpuh di depan makam Ayanda, dan tersenyum kecil.

“Malam ini, Hafika nggak datang sendiri, juga nggak datang sama Buna. Hafika datang sama teman Hafika. Namanya Haydan.”

“Malam, Om. Saya Haydan, temannya Hafika,” ujar Haydan memperkenalkan dirinya, sekalipun lelaki itu tahu Ayanda tidak akan pernah bisa merespons kalimat perkenalan itu.

“Jadi, alasan lo benci kakek lo karena ... bokap lo?”

Aku benci untuk mengingat bagian ini, tapi ....

“Ayanda,” lirihku seraya mengelus lembut nisan—bertuliskan Bahari A.—yang baru dipasang di atas sebuah gundukan tanah itu. Seumur hidup, ini adalah hari yang paling aku benci. Hari dimana aku harus kehilangan Ayanda, sosok superhero terhebat yang pernah ada bagiku.

“Buna, kenapa Ayanda ninggalin Hafika? Ayanda udah nggak sayang sama Hafika?” tanyaku pada Buna yang saat ini sama kacaunya dengan diriku. Bagian bawah Buna sedikit menghitam akibat terus-menerus menangis.

“Nggak, Sayang. Ayanda itu sayang banget sama Hafika. Kepergian Ayanda bukan karena Ayanda udah nggak sayang, tapi karena yang di atas lebih sayang sama Ayanda melebihi apa pun. Sang Pencipta nggak mau Ayanda terus-menerus menderita di dunia, makanya Ayanda diminta untuk pulang.”

Saat itu, aku tidak memahami setiap kalimat yang keluar dari bibir Buna. Hanya ada satu hal yang berupaya keras untuk aku pahami alasannya.

“Buna, kenapa kakek nggak datang ke makam Ayanda? Bahkan, kakek nggak datang ke rumah sakit buat ngelihat Ayanda untuk terakhir kalinya.”

“Mungkin, kakek lagi sibuk, Sayang, makanya dia nggak datang,” ucap Buna dengan lembut seraya menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga.

“Bohong, Buna! Kakek nggak sibuk. Kakek nggak datang karena dia udah nggak sayang sama Ayanda. Kakek juga udah nggak sayang sama Hafika,” tukasku dengan intonasi penuh kekecewaan.

“Hafika benci sama kakek! Mulai saat ini, Hafika nggak mau lagi pakai nama Abdinegara seperti Ayanda.”

“Sayang, kamu nggak boleh gitu,” ujar Buna, namun tidak kuhiraukan.

Tekadku telah bulat.

Mulai saat ini, namaku tidak lagi diikuti marga Abdinegara. Aku Hafika Dinaya, putri kesayangan Ayanda. Hafika ... sungai keadilan untuk Ayanda dan Buna.

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang