30. Kia hilang

87 13 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

Waktu terasa begitu cepat berlalu semenjak aku mulai bekerja dan hari ini genap seminggu aku menjadi babysitter-nya Kia. Selama itu pula, kedekatan antara kami berdua semakin terjalin. Semakin lama bersama, aku semakin menyayangi Kia selayaknya adik kandungku sendiri.

"Senang rasanya melihat kamu dekat dengan Kia. Jadinya, saya nggak perlu khawatir soal Kia yang kesulitan beradaptasi," ujar bu Ineke saat itu. Aku jelas bahagia mendengarnya.

Cuaca yang begitu sejuk sore ini membuat aku berinisiatif untuk mengajak Kia berjalan-jalan di taman yang tidak jauh dari sini. Sebelum itu, aku terlebih dahulu meminta izin kepada bu Ineke.

Awalnya, bu Ineke ragu untuk memberikan izin. Namun, setelah berpikir beberapa saat, akhirnya bu Ineke mengizinkan kami berdua untuk berjalan-jalan di taman. Dengan catatan aku yang tidak boleh melepas perhatian dari Kia barang sejenak.

Setelah mendapatkan izin, aku langsung mengajak Kia untuk berganti pakaian. Tak lupa, aku menyisir surai hitam lembut miliknya.

Barulah seusai itu, kami melangkah keluar dari rumah. Seperti perintah dari bu Ineke, aku menggenggam tangan Kia seraya berjalan. Senandung kecil keluar dari bibir kami berdua, tanda bahwa mereka menikmati jalan-jalan sore ini.

"Satu-satu, aku sayang ibu. Dua-dua, juga sayang ayah. Tiga-tiga, sayang adik kakak. Satu dua tiga ... sayang semuanya."

"Kia sayang sama Kak Hafika juga, nggak?" tanyaku saat lagu ketiga yang kami nyanyikan bersama selesai.

Aku dapat melihat Kia mengangguk tanpa ragu ke arahku lantas berucap, "Kia sayang banget sama Kak Hafika."

Aku tersenyum kecil kemudian mengelus puncak kepalanya dengan lembut. "Kakak juga sayang bangett sama Kia."

Tanpa aku sadari, kami sudah tiba di taman. Keadaan taman hari ini tidak begitu ramai, namun tetap masih ada pengunjung. Sebelum berjalan mengelilingi taman, terlebih dahulu aku mengajak Kia untuk beristirahat. Kami duduk di sebuah bangku panjang bercat putih.

"Kak Hafika, Kia mau es klim," seru Kia sembari menunjuk ke arah abang-abang penjual es krim yang berada tak jauh dari bangku yang kami duduki.

"Kia mau es krim?" Aku mengulangi permintaannya. Kia mengangguk dengan antusias, membuatnya terlihat begitu menggemaskan. Aku mencubit pipinya pelan kemudian mengiyakan permintaannya.

"Ya udah, ayo kita pergi beli!" ajakku seraya menggoyangkan tautan tangan kami.

"Kia mau es krim rasa apa, Sayang?" tanyaku. Saat ini, kami tengah antri untuk membeli es krim. Di depan kami, ada seorang wanita dengan anak kecil yang tengah memilih varian es krim.

"Kia mau lasa cokelat!" ujar Kia.

"Okey, rasa cokelat."

Setelah wanita dan anak kecil di depan kami pergi, kami lantas maju selangkah.

"Bang, es krim cokelatnya satu, ya."

"Yah, maaf, Neng. Rasa cokelatnya habis. Sisa rasa strawberry," ujar abang penjual es krim itu.

Mendengar itu, aku menoleh pada Kia. "Kia, es krim cokelatnya abis, Sayang. Sisa rasa strawberry, Kia mau?"

Aku dapat melihat raut kecewa di wajah Kia ketika mendengar bahwa es krim variannya habis. Namun, sesaat kemudian, ia menganggukkan kepala. "Ya udah, lasa stlawberi aja, Kak," ujarnya dengan lesu.

Aku lalu memesankan es krim dengan rasa strawberry untuk Kia.

"Tara, ini es krim strawberry-nya, Sayang," ujarku yang kini sedikit berjongkok di hadapan Kia. Gadis itu-dengan senyumnya-menerima es krim dari tanganku, lalu mulai menjilatinya. Melihat Kia yang begitu semangat menghabiskan es krimnya, seleraku jadi ikut tergugah.

"Bang, es krimnya satu lagi, ya," pesanku pada abang es krim. Setelahnya, barulah aku membayar.

"Berapa, Bang?"

"Jadinya delapan ribu, Neng."

Aku melihat kepada Kia sejenak sebelum melepaskan genggamanku untuk mengambil uang dari dalam dompet.

"Duh, nggak ada uang kecil lagi," gumamku. Dengan sedikit bersusah payah, aku mengambil selembar uang lima puluh ribuan dan menyerahkannya kepada abang es krim. "Pakai uang lima puluh ribu aja, ya, Bang. Maaf nggak ada uang kecil."

"Nggak pa-pa, Neng. Kebetulan ada kembaliannya. Ini, ya, makasih banyak, neng."

"Iya, Bang, makasih, ya."

Aku memasukkan uang kembalian itu ke dalam dompet. "Kia, yu-loh, Kia?"

Mataku seketika melotot ketika melihat Kia yang tak ada di sampingku. Tanpa kusadari, aku bahkan menjatuhkan es krim yang ada di tanganku.

"Kia, Sayang, kamu kemana?"

Aku berputar di sekitar penjual es krim itu untuk mencari keberadaan Kia, namun nihil. Kia tidak ada di sana.

Rasa panik seketika menjalari pikiranku. Kemana Kia pergi?

"Neng, nyari adiknya, ya?" tanya abang penjual es krim itu yang lantas kujawab dengan anggukan kepala.

"Iya, Bang. Abang lihat nggak dia kemana?"

"Tadi, sih, pas Neng bayar es krim, saya ngelihatnya dia jalan ke sana. Habis itu, nggak ngelihat lagi."

"Oh, ke sana, ya, Bang? Makasih banyak, ya, infonya."

Dengan panik, aku bergegas mencari Kia sesuai dengan arah yang ditunjuk oleh abang penjual es krim tadi. Sayangnya, di sepanjang langkah, aku tidak melihat Kia.

"Kia ... Kia, kamu kemana, Sayang?" teriakku berulang kali, berharap Kia segera mendengar suaraku dan berjalan menghampiriku. Sesekali, aku menanyakan perihal Kia kepada orang-orang yang lewat di hadapanku.

"Mbak, mau tanya. Mbak ngelihat anak kecil kira-kira tingginya segini. Rambutnya sebahu. Trus, pakai baju warna pink nggak?"

"Nggak, tuh, Mbak. Saya nggak lihat."

"Oke deh, makasih, ya, Mbak."

Aku mengacak rambutku frustrasi. Sudah terhitung lima orang yang kutanyai, namun tidak ada satupun di antara mereka yang melihat Kia.

"Kia, kamu kemana, Sayang?" lirihku sembari terus berjalan. Rasanya, sudah lima belas menit aku berkeliling dan aku masih tak menjumpai Kia.

Suara petir yang seketika menyambar dengan keras, membuatku nyaris terpekik. Aku mendongakkan kepalaku. Langit yang tadinya biru kini mulai menghitam.

Rasa khawatirku semakin menjadi. Bagaimana dengan Kia? Pastinya, Kia tengah ketakutan sekarang, mengingat ia begitu anti petir.

Air mataku luruh begitu saja, membayangkan bagaimana takutnya Kia sekarang ketika tak disampingku. "Kia, Sayang. Kamu kemana? Please, jangan hilang, Sayang."

Aku benar-benar bingung harus bagaimana sekarang. Tidak mungkin aku menghubungi bu Ineke untuk membantuku mencari Kia. Bisa-bisa, bu Ineke akan marah besar terhadapku karena aku teledor dalam menjaga putrinya. Tapi, aku jelas butuh bantuan agar lebih cepat menemukan keberadaan Kia.

Satu nama yang seketika terlintas di pikiranku.

Haydan.

Iya, aku harus meminta tolong kepada Haydan. Tanpa berbasa-basi, aku segera mengambil ponsel dan menghubungi lelaki itu.

"Ayo, Dan, please angkat teleponnya," gumamku.

Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi.

Aku meringis lalu mematikan sambungan panggilan itu. "Dan, kamu kemana, sih?"

Aku kembali menelepon Haydan ... berulang kali. Setidaknya, sampai suara lelaki itu terdengar menggema lewat speaker ponselku.

"Halo, Nay?"

"Dan, please, bantuin aku."

"Nay, lo kenapa?"

"Kia, Dan ... Kia hilang."

🍀🍀🍀

1.030 words
©vallenciazhng_
January 20, 2022

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang