33. Anak yatim

87 16 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

"Buat apa, Dan? Buat apa kita samperin Marinka? Kamu pikir, dengan kita samperin Marinka akan mengubah semuanya?" Napasku memburu.

"Iya, mungkin nggak bisa ngubah apa-apa. Tapi, setidaknya, gue mau ngasi Marinka peringatan terakhir. Gue rasa, dia udah cukup keterlaluan di masalah ini."

Itu kalimat terakhir Haydan sebelum lelaki itu memaksaku masuk ke dalam mobilnya. Aku hanya menurut, tidak memprotes lebih lanjut.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah Marinka, baik aku maupun Haydan tidak berniat saling membuka pembicaraan. Kami sama-sama fokus pada pikiran kami masing-masing.

Sesekali, dadaku naik turun karena terisak. Aku menatap amplop cokelat yang diberikan bu Ineke tadi. Kenapa semuanya jadi begini? Tujuanku bekerja ialah untuk melunasi utangku pada Haydan agar bisa secepat mungkin menjauhi lingkup keluarga lelaki itu. Akan tetapi, yang menghancurkan tujuan itu justru Marinka sendiri, orang yang mati-matian memintaku berjauhan dengan Haydan.

Mobil Haydan berhenti di depan rumah Marinka untuk beberapa saat sampai satpam-baru-yang bekerja di sana membukakan gerbang untuk kami. Aku menatap ke arah pintu utama yang kini tertutup dengan rapat-selalu begitu-sampai suara Haydan terdengar setelah hampir 15 menit terdiam.

"Kalau lo nggak mau ketemu Marinka, tunggu aja di mobil," ujar Haydan yang membuatku berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk ikut menemui Marinka. Walau bagaimanapun, yang bermasalah ialah aku dan Marinka.

"Lo yakin mau nemuin Marinka?" tanya Haydan sekali lagi untuk memastikan.

Dengan tanpa keraguan, aku menganggukkan kepalaku. "Yakin."

"Ya udah, terserah lo," putus Haydan sebelum lelaki itu membuka pintu mobilnya.

Aku memilih mengekori Haydan di belakang sembari menundukkan kepala, berharap tidak akan menemui anggota keluarga Marinka yang lainnya.

"Siapa yang datang? Eh, Haydan. Tumben kamu datang ke sini, Nak? Nyari Marinka, ya?"

"Iya, Tante."

Mendengar kata tante, aku mengangkat kepalaku untuk melihat siapa yang tengah berbicara dengan Haydan. Aku refleks memalingkan muka ketika mengetahui siapa orang tersebut.

"Kamu datang sama siapa, Haydan?" tanya wanita itu berbisik, namun masih jelas terdengar di telingaku.

"Ini pacar saya, Tante," aku Haydan. Bertepatan dengan kalimat itu, aku dapat merasakan permukaan sebuah benda yang bersentuhan langsung dengan kulitku.

Napasku tercekat saat aku menyadari jemari Haydan yang kini menyelinap masuk untuk menggenggam jemariku.

"Pacar? Eh, ya udah, tunggu sebentar. Biar Tante panggilin Marinkanya."

Setelah itu, tidak lagi terdengar suara dialog antara kedua pihak.

Aku masih sibuk mengatur ritme detak jantungku yang tak karuan akibat genggaman tangan Haydan.

"Eh, Haydan, kamu-loh, kamu datangnya sama dia?" Suara melengking Marinka menggema di telingaku, membuatku refleks menutup sebelah kupingku dengan tangan yang tidak digenggam Haydan.

Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku dan menatap ke arah Marinka, meski sejujurnya aku masih enggan melihat wajahnya. Rasa kesal, marah, dan benci berbaur menjadi satu menyelimuti perasaanku saat ini.

"Gue nggak mau basa-basi. Gue datang ke sini cuma mau bilang sama lo. Kelakuan lo yang kali ini udah keterlaluan dan gue nggak bakal bisa maafin lo," kata Haydan panjang lebar.

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang