Happy Reading
🍀🍀🍀
Setelah menceritakan semuanya kepada Buna, aku lantas menyerahkan gaji terakhir sekaligus pesangon yang diberikan oleh Pak Anton. Aku juga memberitahu Buna bahwa aku akan segera mencari pekerjaan baru, sebab uang yang diberikan Pak Anton tidak akan bertahan lama. Apalagi, pendaftaran ulang mahasiswa hanya tinggal dua bulan lagi. Jika aku tidak mempunyai pekerjaan baru, lantas dari mana aku akan mendapatkan uang?
Sebenarnya, aku dan Buna masih mempunyai tabungan yang diberikan oleh Ayanda dulu. Ayanda menabung hasil kerja kerasnya seolah tahu cepat atau lambat ia akan meninggalkan kami. Tapi, tentunya aku tidak akan menggunakan uang itu. Biar saja uang itu mengendap di bank untuk sekian waktu, hingga kami benar-benar membutuhkannya untuk keperluan yang teramat mendesak.
Aku melihat ke luar jendela kamar. Tanpa kusadari, malam sudah tiba. Ternyata, waktu benar-benar cepat berlalu. Sama seperti saat-saat Ayanda masih bersama kami. Bahkan, hingga saat ini bayang kepergiannya masih terus terngiang di pikiranku. Ayanda pergi dengan tenang. Caranya meninggalkan dunia dengan tidak terbangun dari tidur pertanda bila ia begitu lelah dengan kondisi dunia.
Lebih tepatnya, ia lelah akan ketidakadilan yang terus menghantuinya.
Setetes air mata mulai membasahi pipiku. Ah, aku selalu lemah jika membahas soal Ayanda. Walau bagaimanapun, Ayanda adalah cinta pertamaku. Cinta pertama yang tidak berpotensi membuatku terluka karena pengkhianatan. Meski, Ayanda berhasil membuatku terluka akibat kepergiannya.
Seketika, aku bertanya, kapan terakhir kali aku mengunjungi makam Ayanda? Mungkin, sudah beberapa bulan yang lalu. Sepertinya, aku harus mengajak Buna untuk mengunjungi makam Ayanda esok hari.
Aku beranjak untuk menutup jendela kamar. Memotong akses masuk angin malam yang sedari tadi berlomba menusuk ke tulang-tulangku. Setelahnya, aku memilih untuk beristirahat awal. Aku menggapai ranjangku dan bersiap untuk menjatuhkan tubuhku di atas sana. Sayangnya, suara notifikasi yang terdengar berulang dari ponsel membuatku berbalik arah.
Aku membuka layar ponsel yang terpasang kode sandi lantas segera mencari aplikasi tempat bertukar pesan.
From : +62 8xx xxxx xxxx
Send location
Besok, kita ketemuan di tempat ini, jam 8 pagi. Jangan telat!Aku mengernyitkan dahiku. Pesan itu datang dari orang tidak dikenal. Ah, bukan hanya itu. Dengan seenak hatinya ia memintaku untuk menemuinya besok di tempat yang ia share. Memangnya, siapa dia? Ia mendapat nomorku dari mana?
To : +62 8xx xxxx xxxx
Maaf, kamu siapa, ya?Beberapa menit berlalu, pesanku masih belum juga dibalas. Aku meletakkan kembali ponselku di atas meja belajar. Berniat melanjutkan rencana tidur awalku. Baru saja aku memejamkan mataku, suara notifikasi kembali terdengar. Aku berdecak dan segera mengambil ponselku.
From : +62 8xx xxxx xxxx
Gue orang yang mobilnya lo tabrak tadi
Besok jam 8 pagi, atau gue bakalan laporin lo ke polisi🍀🍀🍀
“Bun, Hafika pergi dulu, ya,” ucapku tergesa-gesa saat berpamitan dengan Buna. Aku sempat melihat raut penuh keheranan yang terpampang nyata di wajah Buna. Mungkin, ia bingung mengapa aku begitu buru-buru pagi ini.
“Kamu mau kemana, Sayang? Ini sarapan dulu,” ujar Buna setengah berteriak, mengingat kini jarak kami terhalang beberapa meter. Buna tengah di ruang makan, sementara aku sedang memasang tali sepatu kets milikku di teras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wheel of Life [ Completed ✔ ]
Lãng mạnPertemuan Hafika dengan Haydan Acisclo membuat Hafika harus terjebak bersama lelaki itu. Hafika terpaksa menjadi pacar pura-puraan Haydan untuk membayar utangnya. Belum lagi, ia harus kembali berurusan dengan keluarga besarnya karena kehadiran Marin...