48. Fakta

95 15 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

Rasanya, sudah lama aku tidak menapaki lantai ubin di bagian dalam rumah ini. Mungkin, sudah sekian tahun. Tidak banyak yang berubah dari rumah ini. Semuanya masih sama. Dimulai dari warna dinding, lukisan bergambar pemandangan yang dipasang di dinding sebelah kiri, foto keluarga besar yang dipajang di sebelah kanan. Mungkin, hanya ada satu yang berubah. Tidak ada lagi foto masa kecilku yang dipajang di bawah foto keluarga. Melainkan, digantikan oleh foto masa remaja Marinka.

Seharusnya, aku tahu diri, bahwa nyatanya baik aku, Ayanda, maupun Buna sudah tidak terlalu dianggap keberadaannya di keluarga Abdinegara. Mendadak, rasa ingin bertemu kakek sedikit menghilang, berganti rasa kecewa.

Saat aku sibuk memperhatikan seisi rumah seraya berjalan, tiba-tiba terdengar suara yang cukup familier. Aku menoleh, mendapati bi Ina-asisten rumah tangga yang sudah bekerja lama di sini-menyambut kedatanganku dan Buna.

"Eh, Bu Putri, Non Hafika. Apa kabar? Sudah lama banget, kalian tidak di sini," ujar bibi lantas berjalan untuk memeluk Buna.

Buna membalas pelukan itu lantas turut membalas kalimat bi Ina. "Halo, Bi Ina. Lama juga tidak bertemu dengan Bibi. Kabar saya dan Hafika baik, Bi. Bibi sendiri apa kabar?"

"Kabar Bibi baik. Kalian ke sini mau ketemu sama bapak, ya?" tanya bi Ina.

"Iya, Bi. Kami ke sini mau jenguk kakek. Kata pak Wahyu, beberapa bulan terakhir, kondisi kakek nggak terlalu baik, ya?" jawabku.

Bi Ina mengangguk lemah. "Iya, Non Hafika. Kondisi bapak akhir-akhir ini kurang baik. Bapak pasti senang banget kalau tahu kalian datang. Soalnya, beberapa hari ini, bapak suka nyebut nama Non Hafika. Katanya, bapak kangen sama Non."

Kalimat bi Ina membuatku terdiam. Apa benar begitu? Bi Ina tidak sedang berusaha mengangkatku, bukan? Apa benar kakek merindukanku sampai-sampai kakek selalu menyebut namaku?

"Ayo, Bibi anterin ke kamarnya bapak," kata bi Ina. Aku dan Buna lantas berjalan di belakang bi Ina. Bi Ina mengantarkan kami hingga ke depan pintu sebuah ruangan yang tentunya masih aku hafal. Ini adalah kamar kakek.

Pandanganku kemudian kualihkan kepada ruangan yang ada di sebelah kamar kakek. Aku menatap nanar pintu berwarna cokelat muda itu. Itu ialah kamarku ... dulu. Sekian tahun tidak bertandang ke sini, ternyata aku masih hafal dengan letak setiap ruangan yang ada di rumah ini.

Bi Ina mengetuk pintu kamar kakek, kemudian membukanya. "Permisi, Pak. Ini ada yang pengin ketemu sama Bapak. Boleh masuk?"

Aku tidak mendengar dengan jelas jawaban yang diberikan kakek di dalam sana. Yang jelas, tentunya kakek mengizinkan kami masuk. Sebab, setelah bertanya, bibi lantas mempersilakan kami masuk ke dalam.

"Silakan masuk, Bu, Non. Bapak di dalam," ujar bi Ina.

"Terima kasih, Bi."

"Kalau begitu, Bibi pamit ke belakang dulu, ya."

Bi Ina lalu berjalan meninggalkan aku dan Buna yang masih terpaku di depan kamar kakek.

"Sayang, kamu masuk duluan, ya. Buna mau ke toilet sebentar," ujar Buna.

"Iya, Buna."

Sepeninggal Buna, aku menarik napasku panjang, mengumpulkan semua keberanianku untuk memutar knop pintu kamar kakek.

Aku mendengar suara batuk kakek, sebelum sebuah pertanyaan yang dilontarkan kakek membuat hatiku pedih.

"Kamu siapa?"

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang