3. Pertemuan tak berkesan

265 30 10
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

Aku mengayuh pedal sepedaku berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Berbagai tempat sudah kujelajahi guna menanyakan perihal lowongan pekerjaan. Sayangnya, tidak ada satu pun lowongan pekerjaan yang tersedia.

Sesekali, aku melepas peganganku pada stang sepeda guna menyeka keringat yang membasahi wajahku. Matahari belum sepenuhnya berada di atas kepala. Namun, aku sudah berkeringat saja.

Seharusnya, aku tidak perlu bersusah payah untuk mencari lowongan pekerjaan dengan mengayuh sepeda. Aku bisa saja mencari berita mengenai pekerjaan yang aku butuhkan melalui salah satu akun lowongan pekerjaan di sosial media. Dengan begitu, aku tidak perlu menghabiskan tenagaku secara berlebih.

“Pulang ke rumah atau nggak, ya?” gumamku sesaat setelah memberhentikan kayuhan pada sepeda. Aku bisa saja pulang ke rumah dan melanjutkan aktivitasku mencari lowongan pekerjaan di sosial media. Tapi, bukankah itu artinya waktuku untuk memberitahu Buna semakin dekat? Aku bahkan belum menyiapkan kata-kata untuk berbicara kepada Buna.

Aku menghela napas berat. Mengapa semuanya jadi rumit begini?

Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk berkeliling kota sebentar sebelum pulang ke rumah. Hitung-hitung mengulur waktu sembari mencari kalimat yang pas untuk memberitahu Buna.

Aku kembali mengayuh pedal sepedaku dengan sekuat tenaga, membiarkan angin dengan kuat menabrak permukaan kulit wajahku. Sudah lama rasanya aku tidak menikmati dinginnya AC alami itu seperti ini. Dulu sekali, Ayanda sering mengajakku untuk berkeliling kota dan menikmati angin sepoi-sepoi. Tapi, kini semua itu tinggal kenangan. Semenjak Ayanda meninggalkanku dan Buna, aku sudah jarang keluar bebas seperti ini. Aku lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah dan menemani Buna. Hanya Buna, satu-satunya anggota keluarga yang kumiliki.

Tanpa kusadari, aku sudah cukup lama berkeliling kota. Panas matahari semakin terik saja membakar kulitku yang sudah terlapisi hoodie putihku. Mendadak, hidungku terasa gatal ingin bersin. Aku melepaskan satu pegangan pada stang untuk mengusap hidungku. Namun, tiba-tiba aku kehilangan keseimbangan saat mengayuh sepeda.

Aku sempat berteriak histeris sebelum sepedaku berakhir tragis karena menabrak sebuah benda berwarna silver di hadapanku. Sepedaku jatuh begitu saja setelah menabrak benda itu. Begitupula dengan tubuhku yang kini berada di bawah dan tertimpa oleh sepeda. Aku meringis ketika rasa nyeri mulai menyelimuti sikuku. Aku menyentuh permukaan siku dan mendapati cairan berwarna merah keluar dari sana.

“Astaga, mobil gue!” Seruan yang hampir bisa kukatakan sebagai teriakan histeris itu seketika mengguncangkan indra pendengaranku. Aku mendongakkan kepalaku ke atas. Seorang lelaki dengan hoodie hitam tengah berdiri seraya melihat ke seluruh permukaan depan dari mobilnya. Apa jangan-jangan ia adalah pemilik dari mobil yang baru saja kutabrak?

Melihat lelaki itu yang kini sedikit berjongkok untuk menilik keadaan mobilnya, aku mencoba untuk memperbaiki posisiku dengan mengangkat sepedaku agar tidak terus-menerus menimpaku.

“Lo ... pasti lo yang udah ngebuat mobil gue lecet kayak gini, kan?”

Aku memundurkan kepalaku sedikit saat telunjuk lelaki itu seketika berada tepat di depan wajahku. Aku menurunkan telunjuknya lantas berdecih.

“Bisa gak usah nunjuk orang kayak gitu, gak? Gak punya tata krama ya kamu?”

“Heh, gak usah sok-sokan ngajarin soal tata krama. Sekarang, jawab! Lo kan yang udah buat mobil gue lecet?”

“Iya, aku gak sengaja. Tadi aku kehilangan keseimbangan trus—”

“Udah-udah. Gue gak butuh penjelasan lo. Intinya, lo udah buat mobil gue lecet dan lo harus ganti rugi!”

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang