46. Berdamai dengan masa lalu

82 12 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

"Sayang."

Aku menoleh sejenak saat mendengar suara Buna kemudian kembali memalingkan wajah. Rasanya, aku begitu kecewa dengan Buna ketika mengetahui bahwa Buna lebih membela pak Wahyu dan kakek dibanding aku.

Saat ini, aku tengah mengurung diri di kamar. Entahlah, ini bisa disebut sebagai mengurung diri atau tidak, sebab aku membiarkan pintu tidak dalam keadaan terkunci.

Ranjangku sedikit bergoyang saat Buna duduk di sebelahku. Tangannya mengelus lembut surai hitamku.

"Kamu marah sama Buna?" tanya Buna yang membuatku refleks menggeleng.

"Lalu, kenapa pas Buna masuk, kamu buang muka kayak gitu?"

Aku tidak menjawab, membiarkan kehenungan mengganti tugasku.

"Tuh, kan, marah," ujar Buna lagi. Aku menghela napas. Aku membalikkan badanku, lantas menatap Buna dengan dalam.

"Hafika nggak marah sama Buna. Hafika cuma nggak suka Buna terlalu banyak berbasa-basi sama pak Wahyu."

"Pak Wahyu datang ke sini kan untuk nyampaikan pesan dari kakek, Sayang."

"Ya, justru karena itu, Hafika nggak suka Buna.elah sekian lama nggak pernah nyariin kita, kenapa dengan gampangnya kakek suruh pak Wahyu ke rumah dan minta kita untuk nemuin kakek?"

Untuk sesaat, aku merasa gagal mengontrol emosiku di hadapan Buna. Tapi, aku harus bagaimana? Topik ini adalah topik yang paling aku benci. Topik tentang keluarga besar yang dipenuhi oleh ketidakadilan.

"Karena kakek kangen kamu, Sayang," kata Buna setelah cukup lama terdiam. Mungkin, pertanyaanku sedikit berat.

Aku tersenyum kecil. "Kangen? Kenapa baru sekarang? Kenapa kangennya nggak pas kita baru keluar dari rumah, Buna?"

"Buna nggak tahu, Sayang," jawab Buna lirih. "Kalau kamu nggak mau bahas masalah ini, Buna nggak akan maksa. Buna nggak mau kamu malah merasa tertekan karena pembahasan ini. Kalau gitu, Buna mau ke dapur dulu."

Seketika, aku merasa bersalah. Tidak seharusnya aku kecewa terhadap Buna. Buna jelas tidak salah. Buna hanya berniat menegur cara bicaraku yang terhitung tidak sopan terhadap orang yang lebih tua.

"Maafin Hafika, Buna," lirihku meski sekarang Buna sudah berlalu dari hadapanku.

🍀🍀🍀

"Kamu ngapain di sini?" tanyaku yang mendapati Haydan di kamarku sekarang. Lelaki itu bergeming. Ia hanya menatapku sekilas, kemudian menarik kursi belajarku dan duduk di sana. Suasana begitu hening, sampai-sampai aku bisa mendengar suara helaan napas lelaki itu.

"Kamu ngapain di sini?" ulangku.

"Lo sendiri ngapain di sini?" tanyanya balik yang membuatku mengernyitkan kening.

"Ngapain? Ya, ini kan kamar aku. Terserah aku, dong, mau ngapain," jawabku ketus.

Mood-ku masih tidak terlalu baik karena masalah yang kemarin. Mungkin atas dasar itulah, hari ini aku lebih banyak diam di rumah. Bahkan, Buna juga sepertinya begitu. Seolah ada rasa canggung di antara kami berdua setelah kedatangan pak Wahyu.

"Jangan ketus gitu, dong. Gue jadi sawan sama lo," ujarnya berkelakar. Aku hanya menatapnya datar. Aku memilih untuk membelakangi lelaki itu dan merapikan bantal serta guling tidurku.

"Lo ada apa?" tanyanya. Aku membalikkan badan. Tidak mengerti dengan maksud pertanyaan "ada apa"nya.

"Ada masalah?"

Aku menggeleng. "Nggak ada."

"Kalau nggak ada, kenapa lo sampai ngurung diri di kamar kayak gini?"

Aku tertegun. Mengapa Haydan tahu soal itu?

Aku menatapnya cukup lama, sebelum pikiranku mengolah suatu opini, yaitu bahwa Buna telah menceritakan semuanya kepada Haydan. Dan, tujuan kehadiran Haydan di kamarku adalah upaya yang dilakukan Buna untuk membujukku.

Mungkin, ini sekadar opini, atau mungkin juga dapat menjadi suatu fakta.

"Siapa yang ngurung diri di kamar coba? Ngaco kamu," kataku mengeles. Lelaki itu malah tertawa.

"Nay, Nay, masih aja mau ngeles. Gue udah tahu semuanya. Nyokap lo udah cerita sama gue."

Apa aku bilang? Buna memang sudah menceritakan semuanya kepada Haydan.

"Terus? Mau kamu apa sekarang? Mau ledekin sikap kekanakan aku yang ngurung diri di kamar?"

Haydan menggelengkan kepalanya, lantas tersenyum kecil. "Nggak boleh berprasangka buruk kayak gitu ke orang lain, Nay. Nggak baik," katanya.

Aku mendesah pelan sebelum kembali berucap, "Aku nggak lagi niat banyak omong, Dan. Lebih baik, kamu keluar aja dari kamar aku."

"Setelah orang suruhan kakek lo yang lo usir, sekarang giliran gue gitu?" tanyanya yang membuatku meliriknya tajam.

"Kalau kamu nganggapnya gitu, silakan," balasku yang enggan berbasa-basi.

"Jangan judes-judes napa, Nay?" protesnya yang kuabaikan. "Tujuan gue datang ke sini, bukan untuk ngejek sikap kekanakan lo. Ya, emang, sih. Lo kekanakan kalau bertingkah kayak gitu. Cuma setelah gue pikir-pikir lagi, cara setiap orang menanggapi suatu masalah kan berbeda-beda, ya. Mungkin, ada yang mampu menanggapi dengan bijak. Ada pula, yang nggak. Jadi, buat apa gue hujat?"

"Gue cuma mau bilang satu hal ke lo, Nay ... nggak ada salahnya untuk berdamai dengan masa lalu. Ya, siapa tahu aja, kakek lo punya alasan kenapa dia berlaku kayak gitu," lanjut lelaki itu.

Aku tersenyum hambar mendengar kata "berdamai". "Sayangnya, nggak semudah itu, Dan."

"Kenapa begitu?"

"Karena, kamu nggak pernah ada di posisi aku!"

"Kata siapa gue nggak pernah ada di posisi lo?!" sahut Haydan cepat. Bahkan, sahutan itu dilayangkan sebelum aku sempat menarik napasku.

"Lo pikir, gue bakal bereaksi kayak gimana setelah gue tahu gue pernah tinggal di rumah yang sekarang jadi panti asuhan? Tempat yang identik dengan kasus pembuangan anak. Lo pikir, gue nggak kecewa? Lo pikir, gue langsung baik-baik aja setelah tahu kebenarannya? Lo pikir, nggak sulit buat gue menerima semua cerita bokap nyokap gue? Lo pikir, gue bisa langsung percaya? Enggak, Nay!"

Napas Haydan memburu. Lelaki itu sepertinya mengerahkan semua emosinya. Urat-urat di kepalanya mulai timbul.

Terakhir, kulihat Haydan menarik napasnya panjang. Setelahnya, aku tidak berani lagi melihat ke arah lelaki itu. Rasanya, ada perasaan takut yang menyeruak saat melihat Haydan. Takut karena emosi lelaki itu yang sedikit terayun.

"Sorry, emosi gue kelepasan," katanya setelah beberapa saat terdiam.

Aku menganggukkan kepalaku. "Nggak pa-pa. Aku paham."

"Nay," panggil lelaki itu yang kini berjalan mendekat ke arahku. Kedua tangannya ditaruh di atas bahuku, mencengkeramnya perlahan. "Perkara berdamai dengan masa lalu itu bukan tentang sulit atau mudahnya, tapi mau atau nggaknya. Lo nggak bakal pernah bisa berdamai, kalau dari hati lo sendiri, lo nggak mau."

Aku masih belum berani mendongakkan kepalaku menatap Haydan. Rasa-rasanya, kali ini keramik putih di rumahku lebih menarik untuk dilihat.

"Sekarang gue tanya, sampai kapan lo mau terus-menerus bermasalah sama masa lalu lo?"

"Aku nggak tahu, Dan," ujarku akhirnya bersuara.

"Lo nggak punya niatan buat berdamai sama masa lalu lo?"

Aku menggeleng pelan. "Aku takut, Dan."

"Nay ... lo nggak perlu takut untuk berdamai dengan masa lalu lo. Lo nggak sendiri. Ada gue, ada nyokap lo yang bakal selalu ngedampingin lo."

"Percaya sama gue. Gue nggak akan pernah ninggalin lo, Nay."

🍀🍀🍀

1.045 words
©vallenciazhng_
February 5, 2022

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang