27. Terima kasih

85 13 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

"Habis dari mana, Buna?" tanyaku melihat Buna yang baru pulang.

"Buna habis dari rumahnya bu Surti, Sayang, buat nenangin dia. Kasihan. Anak perempuannya pergi dari rumah, sampai sekarang nggak ngasi kabar," cerita Buna yang membuatku mengernyitkan kening.

"Anaknya bu Surti pergi dari rumah? Loh, emangnya kenapa, Buna?"

"Katanya, gara-gara anaknya gak diterima buat dijodohin. Kan, anaknya bu Surti udah umur 29 tahun. Jadi, bu Surti sama suaminya mau jodohin anaknya sama anak rekan kerja mereka. Eh, tahu-tahunya, anaknya kabur dari rumah. Kasihan bu Surtinya, dia kepikiran sama anaknya. Takut terjadi sesuatu yang gak diinginkan."

Napasku tercekat mendengar cerita dari Buna. Aku heran, mengapa zaman sekarang masih kental dengan yang namanya tradisi perjodohan?

Seketika, aku teringat dengan kalimat Haydan kemarin.

"Nay, untuk masalah perjodohan, kalau lo mau berhenti bantuin gue, gue gak masalah. Gue gak bakal maksa lo untuk berpura-pura jadi pacar gue lagi. Gue gak mau nantinya lo malah tertekan karena masalah itu. Tapi, jujur aja, gue masih berharap lo mau bantuin gue sampai urusan perjodohan ini selesai. It's all up to you."

"Oh, iya, nyokap gue sama adik gue nyariin lo, katanya mereka kangen sama lo. Sekali lagi, gue gak maksa lo buat dateng. Dan, sekalipun lo mau dateng dan perkenalkan diri lo sebagai teman gue doang, it's okay. Gue bisa ngerti."

Apa nantinya Haydan akan melakukan hal yang sama seperti anaknya bu Surti, yaitu kabur dari rumah demi menolak keras perjodohan itu? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika Haydan justru melakukan hal yang lebih di luar logika nantinya?

Setelah Buna berlalu dari hadapanku, aku terduduk di atas kursi ruang tamu. Memikirkan jalan apa yang harus aku pilih sekarang ini. Jika dulu, aku ragu untuk membantu Haydan, maka sekarang aku kembali dibuat bimbang. Apa keputusanku untuk berhenti menolong Haydan itu keputusan yang benar? Bagaimana jika nantinya terjadi apa-apa dengan Haydan dan aku justru menyesal karena tidak menolongnya sampai akhir?

Aku mengusap wajahku penuh frustrasi. Sepertinya, aku harus tetap membantu lelaki itu apa pun yang terjadi. Alasan utamanya ialah tentu saja aku tidak ingin menyesal di kemudian hari bila Haydan sampai berbuat nekat.

Aku melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 12 siang, kemudian bergegas ke kamar untuk bersiap-siap ke rumah Haydan. Aku memilih untuk memesan ojek online yang beralamatkan rumah lelaki itu.

"Buna, Hafika pergi dulu, ya!" teriakku sembari mengikat tali sepatu.

"Mau kemana, Sayang?"

"Ke rumah Haydan, Buna!"

"Oh, hati-hati, Sayang. Titipin salam Buna buat calon mantu."

Aku membelalakkan mataku mendengar dua kata terakhir yang diucapkan oleh Buna. "BUNA, APAAN SIH!"

🍀🍀🍀

Motor yang kutumpangi berhenti tepat di depan sebuah rumah megah kediaman Haydan dan keluarga. Aku segera turun dari motor lalu membayar biaya ojek online itu dengan uang pas.

Setelah abang ojek online itu pergi, aku membalikkan tubuh, menatap ke arah rumah Haydan. Pintu rumahnya masih tertutup rapat. Namun, saat aku bergerak untuk membuka gerbang sendirian, seorang pria paruh baya berseragam security datang menghampiriku dari dalam rumah.

"Mohon maaf, Neng. Nyari siapa, ya?" tanya pria ber-name tag Supardi yang kuyakini sebagai satpam yang menjaga rumah ini.

"Saya mau nyari Haydan, Pak. Haydannya ada?"

"Oh, Eneng teh temannya den Haydan? Ada, Neng. Den Haydannya ada di dalam. Sebentar, biar saya bukain gerbangnya."

"Silakan masuk, Neng," ucap pak Supardi.

Setelah gerbang terbuka, aku mengucapkan terima kasih kepada pak Supardi yang telah membukakan gerbang untukku. Aku lantas berjalan masuk ke dalam dan menekan bel rumah.

Aku hendak kembali menekan bel itu, namun buru-buru kuurungkan niatku saat mendengar suara sahutan dari dalam. "Tunggu sebentar, ya."

Tak lama kemudian, pintu terbuka menampilkan wajah tante Lena yang tersenyum manis. "Eh, Naya, Tante kirain siapa ...," ujar tante Lena.

"Ayo-ayo, silakan masuk, Sayang."

Aku lalu mengekori tante Lena dari belakang.

"Haydannya ada di atas, kayaknya lagi tiduran. Bentar, biar Tante panggilin, ya. Kamu duduk aja dulu, anggap aja rumah sendiri," ucap tante Lena sebelum pergi meninggalkanku sendirian di ruang tamunya.

Aku duduk di antara sofa-sofa empuk yang ada di sana sembari menunggu tante Lena—dan juga Haydan—kembali. Untuk mengusir kebosanan, aku membuka ponselku dan berselancar di sosial media.

"Naya?"

Refleks, aku mematikan ponsel dan menoleh saat mendengar namaku terpanggil. Haydan berdiri di sana dengan wajah terkejutnya. Mungkin lelaki itu merasa terkejut mendapati kehadiranku di sini.

"Lo dateng?" tanyanya setelah memastikan tidak ada orang lain di sana selain kami berdua. Ia berjalan mendekat dan duduk di sebelahku.

Dari jarak yang lumayan dekat seperti ini, aku dapat melihat kantong mata Haydan yang semakin menebal dan menghitam. Apa lelaki itu kurang istirahat?

"Makasih karena lo udah mau dateng ke rumah. Lo tenang aja, kalau lo gak sanggup buat jujur sama mama, gue bakal bantu lo. Gue bakal bongkar semuanya ke mama, tentang hubungan pura-pura ki-"

"Ssstt." Aku meletakkan telunjukku di atas bibir Haydan. Tidak. Lebih tepatnya, satu sentimeter di atas bibirnya. "Nanti kalau ada yang dengar, gimana?"

"Maksud lo? Bukannya lo ...."

"Aku akan bertahan sampai akhir, Dan," ujarku. Sepertinya, bahasaku sedikit susah dipahami, sehingga lelaki itu memiringkan sedikit kepalanya seolah meminta penjelasan.

"Aku bakal bantuin kamu sampai semua masalahnya selesai," kataku menjelaskan.

Haydan terdiam sesaat, sebelum akhirnya sebuah senyuman terbit di wajahnya. "Thanks, Nay. Gue tahu, lo orang yang baik," pujinya yang aku sendiri tidak tahu, apakah pujian itu benar-benar tulus dari hatinya atau hanya sekadar dilontarkan tanpa arti.

"Nggak perlu sampai muji kayak gitu, Dan. Aku nggak sebaik itu. Ya, aku memutuskan untuk bantuin kamu lagi cuma karena aku nggak mau nyesal aja di kemudian hari. Aku nggak mau sampai keputusan aku untuk berhenti bantuin kamu itu buat kamu nekat ngelakuin hal yang nggak-nggak," kataku berterus-terang.

"Memangnya, lo pikir gue tipikal orang yang berani berbuat nekat?" tanyanya.

"Ya, aku nggak tahu. Tapi, bisa aja, kan?"

Haydan tidak langsung menjawab. Ia menatapku dengan dalam. Netra lelaki itu seolah-olah mengukung kedua bola mataku untuk terus-menerus berada di sana.

"Makasih karena udah peduli," katanya dengan nada yang begitu lembut. "Gue nggak nyesal karena udah jadiin lo sebagai pacar gue."

Jantungku berpacu dengan begitu cepat ketika mendengar kata 'pacar' yang kali ini tidak diikuti dengan embel-embel berkonotasi kepalsuan.

Tanpa kusadari, lengkungan kecil mulai tercipta di sudut bibirku. Akan tetapi, itu hanya berlaku sesaat, sebelum Haydan terlihat menyadari kalimatnya dan kembali menimpali ucapannya.

"Pacar pura-puraan gue maksudnya."

🍀🍀🍀

1.032 words
©vallenciazhng_
January 16, 2022

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang