15. Peduli

117 15 1
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

“Muka lo kenapa kusut gitu?” celetuk Haydan di tengah keheningan. “Ada masalah di kampus?”

Aku yang sedari tadi memandang ke luar jendela menatap Haydan. Mengapa kalimatnya barusan terkesan menunjukkan suatu kepedulian?

“Jangan kegeeran. Gue cuma gak mau aja nanti ditanyain sama nyokap lo karena muka anaknya kusut kayak pakaian yang belum disetrika,” sambungnya yang membuat aku berdecak.

“Kalau mau peduli itu jangan setengah-setengah. Nanti, pahalanya setengah-setengah juga,” ucapku.

“Udah gue bilang, jangan kegeeran. Lagian, siapa juga yang peduli sama lo.”

“Iyain aja, deh,” pasrahku yang tidak mau memperpanjang urusan. Aku memilih untuk melempar muka. Tidak berniat untuk melihat wajah lelaki itu lebih lama.

Pikiranku masih melayang pada isi amplop putih dan ancamannya itu. Entahlah, walau sudah diberikan hukuman oleh dosen, aku tetap tak bisa mengelak bahwa ancaman itu benar-benar mengganggu pikiranku.

Apa aku harus menuruti isi ancaman itu dan menjauhi Haydan agar aku tidak menyesal seperti apa yang tertulis di sana? Tapi, memangnya, apa yang akan dilakukan oleh si pengirim pesan—yang amat kupercayai sebagai Marinka—jika aku tidak menuruti permintaannya?

“Lo beneran lagi ada masalah?” tanya Haydan lagi yang membuatku kali ini merasa aneh. Apa benar pertanyaan lelaki itu hanya sekadar untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja agar tidak membuat Buna khawatir? Atau ... memang ia khawatir kepadaku?

“Jangan banyak tanya, kalau gak mau buat aku kegeeran.”

Lelaki itu berdecih. “Gak peduli salah, peduli salah. Kayaknya, emang kodrat cowok itu selalu salah, ya?” kesalnya yang membuat aku tertawa kecil.

Aku bingung. Namun, jujur saja, mood-ku mendadak membaik karena lelaki itu.

“Aku nggak bilang kamu salah, kok. Kamunya aja yang sensian,” kataku.

“Gue gak sensian,” ujarnya membela diri sendiri.

“Iyain, deh.”

Untuk beberapa saat, suasana di dalam mobil kembali hening. Akan tetapi, mendadak terbesit satu pertanyaan yang hendak aku lontarkan pada Haydan.

“Dan, aku mau tanya, deh. Kamu pernah nggak dapet surat yang isinya ancaman?”

Lelaki itu tidak langsung menjawab, melainkan ia memicing kepadaku dengan penuh kecurigaan.

“Kenapa? Lo diancam?”

Aku refleks menggelengkan kepala. Tidak mau membuat lelaki itu bertanya lebih jauh. “Nggak. Aku cuma tanya aja. Jadi, gimana? Pernah, nggak?”

“Kalau surat berisi ancaman gak pernah. Seringnya, gue dapat surat cinta dari fan,” ujarnya dengan tingkat percaya diri yang begitu tinggi.

“Aku serius, Dan.”

“Gue juga serius.”

Aku mendengus. Lelaki itu masih saja bersikap resek walau tengah menyetir mobil.

“Emangnya, ada apa? Kenapa lo mendadak nanya kayak gitu?”

“Nggak pa-pa. Aku cuma tanya aja,” ujarku. “Menurut kamu, kalau kamu dapet surat ancaman. Apa kamu bakal nurutin isi dalam surat itu? Ya, misalnya kamu disuruh untuk ngelakuin hal apa gitu.”

“Jelas, gue nggak bakal nurut. Lagi pula, dia siapa bisa ngancam gue kayak gitu?”

“Kalau dia bilang, 'Lakukan hal itu atau kamu akan menyesal',  gimana?”

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang