26. Tentang pekerjaan

83 14 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

“Buna, Hafika berangkat kuliah dulu, ya,” pamitku kepada Buna. Tak lupa, aku menyalami serta mencium permukaan telapak tangan Buna sebelum berangkat ke kampus.

“Iya, Sayang, hati-hati, ya. Jangan kencang-kencang bawa sepedanya, nanti jatuh lagi kayak waktu itu,” pesan Buna yang membuatku seketika teringat dengan insiden waktu itu. Insiden yang pada akhirnya membawaku harus berurusan dengan Haydan.

Aku hanya terkekeh kecil menerima pesan Buna, sebelum mengucapkan terima kasih. Setelah itu, Buna kembali sibuk dengan adonan kue yang ada di hadapannya.

Aku meraih tote bag yang ada di atas kursi ruang tamu, lantas berjalan keluar seraya menutup pintu dengan satu tangan. Aku bersiap menurunkan sepedaku dari teras rumah, namun pergerakanku terhenti ketika aku melihat seorang lelaki yang kini berdiri di depan rumah.

Aku membuang wajah, tidak berniat melihat wajah lelaki itu dan kembali pada niatanku menurunkan sepeda. Kakiku terangkat untuk menaiki sepeda saat setang sepedaku ditahan oleh lelaki menyebalkan itu.

“Minggirin tangan kamu. Aku mau pergi,” ucapku dengan nada yang sedikit ketus.

“Lo ngeblokir sosial media gue?” tanya lelaki itu.

“Nggak.”

“Kalau nggak, kenapa semua sosial media lo gak bisa dihubungin?”

“Ya, mana aku tahu. Jaringan kamu eror kali.”

“Lo pikir, gue anak kecil yang bisa dengan seenak jidat lo bohongin?”

“Ya, kalau kamu ngerasa dibohongin, gak usah banyak tanya lagi sama aku,” jawabku dengan kesal. Ini masih pagi, dan kehadiran lelaki ini membuatku sedikit kehilangan mood baikku.

“Kenapa cara bicara lo jadi kayak gitu?”

“Kenapa apanya? Gak ada yang berubah dari cara bicara aku. Kamunya aja yang sensitif,” ujarku. Melihat tangannya yang masih setia menempel di setang sepedaku, aku menggesernya dengan paksa.

“Lo mau kemana? Ke kampus? Biar gue antar,” katanya yang membuatku menatap jalang ke arahnya.

Aku menyunggingkan senyum kecil di bibir, lantas berkata, “Gak perlu repot-repot urusin kehidupan aku. Aku saranin, lebih baik sekarang kamu pergi dan nyari korban baru untuk kamu jadikan pacar pura-puraan kamu.”

Setelah berkata demikian, aku lantas mengayuh sepedaku dengan sekuat tenaga, mengabaikan suaranya yang masih mencoba memanggilku untuk berhenti.

🍀🍀🍀

Setibanya di kampus, aku menghentakkan kakiku dengan keras di lantai koridor, berusaha menyalurkan rasa kekesalanku pada Haydan. Biar saja banyak pasang mata menatapku dengan aneh, aku tidak peduli. Yang jelas saat ini ialah aku ingin cepat-cepat masuk ke dalam kelas yang akan digunakan belajar nantinya.

“Jalannya santai aja kali, Mbak. Nggak usah dihentak kayak gitu,” celetuk seseorang dari arah belakang. Aku membalikkan tubuh dan ....

“Kenapa kamu sekarang ada dimana-mana, sih? Kamu ngikutin aku?” tanyaku penuh emosi ketika mendapati Haydan kini ada di sekitarku. Apa tidak cukup ia membuat mood-ku kacau? Lalu, ia masih ingin menggangguku di kampus.

“Gue nggak ngikutin lo, tapi kaki gue yang ngebawa gue sampai ke sini,” jawabnya mengeles. Tapi, persetan dengan semua itu, aku benar-benar tidak peduli.

“Lo mulai kelas jam berapa? Gue perlu bicara bentar sama lo,” ucapnya.

Sorry, aku nggak bisa. Bentar lagi kelasnya mau dimulai,” ucapku yang tak sepenuhnya berbohong.

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang