Happy Reading
🍀🍀🍀
Semua kalimat ancaman Marinka masih terngiang-ngiang di pikiranku. Aku tidak tahu, hati gadis itu terbuat dari apa. Bukannya merasa bersalah atas tindakannya yang nyaris membuat Buna celaka, ia malah kembali mengancamku.
Terkadang, aku bingung. Dari sekian banyaknya kaum adam yang ada di muka bumi ini, mengapa masih ada perempuan seperti Marinka? Yang mati-matian berusaha menyingkirkan perempuan lain dari sisi sang lelaki yang jelas-jelas tidak menyukainya balik. Padahal, Marinka mempunyai paras yang begitu cantik. Tentunya, tidak sulit untuknya mencari lelaki lain selain Haydan.
Akibat ancaman Marinka yang kedua kalinya, pikiranku benar-benar kacau. Sedari tadi, tidak ada satu pun pekerjaan yang dapat kulakukan dengan benar. Semuanya tampak berantakan, seperti sekarang ini. Saat hendak mencuci piring, aku tak sengaja menjatuhkan dan memecahkan salah satu piring keramik milik Buna. Beruntungnya, Buna sedang tidak di rumah sekarang ini. Jika tidak, tentunya Buna akan mengkhawatirkan keadaanku.
Dengan segera, aku membereskan pecahan piring tersebut. Sialnya lagi, jari telunjukku terkena goresan beling tadi yang menyebabkannya mengeluarkan tetesan darah.
Atas dasar kecerobohanku itulah, sekarang aku tengah berada di kamar untuk mencari kotak P3K. Sesekali, aku meringis karena udara yang menerpa lukaku membuatnya terasa begitu perih.
Aku berdecak. Seingatku, aku menyimpan kotak P3K itu di rak lemari paling bawah. Namun, mengapa sekarang keberadaan benda itu terkesan lenyap?
Berpindah dari lemari, aku mencarinya di bagian bawah kasurku dan dapat! Aku segera menarik kotak P3K yang entah sejak kapan tersimpan di sana-dan mengambil obat merah dari sana. Dengan berhati-hati, aku meneteskan obat merah itu ke bagian jari yang terluka, lalu membungkusnya dengan handsaplast.
Aku hendak menyimpan kembali kotak P3K itu ke bawah kasur, namun saat aku mendorong kotak tersebut, ada sebuah benda yang terkesan menahan doronganku. Aku sedikit merendahkan kepalaku dan melihat benda apa yang menghalangi tadi. Rupanya, sebuah kotak berwarna cokelatlah yang menjadi penghalangnya.
Aku mengernyitkan kening. Sejak kapan ada kotak itu di bawah kasur? Karena rasa penasaran, aku menggeser kotak P3K tadi dan menjulurkan tangan untuk mengambil kotak cokelat itu.
Bagian atas kotak begitu berdebu saking lamanya tak kusentuh. Aku menyapu tanganku di atas kotak untuk membersihkannya, lalu mulai membuka tutupnya.
Aku mengelus halaman depan buku album berwarna hitam yang sepertinya tak asing bagiku. Halaman pertamanya kusingkap dan menampilkan selembar foto yang ditangkap dengan kamera hitam putih pada masanya. Itu adalah fotoku saat bayi.
"Kamu tahu, nggak, Hafika? Dulu saat kamu masih bayi, muka kamu itu mirip banget sama Ayanda. Eh, pas besar, mukamu malah semakin mirip Buna. Aneh, ya? Tapi, itu membuktikan kalau kamu memang anak kandung Ayanda dan Buna."
Suara Ayanda yang berbicara benar-benar terasa nyata di telingaku. Apa yang dikatakan Ayanda waktu itu benar. Wajahku saat bayi mirip seperti Ayanda, bahkan bisa dibilang bagaikan jiplakan kedua wajah Ayanda.
Aku menyingkap halaman kedua buku album itu. Itu ialah fotoku menggunakan topi ulang tahun. Angka 3 yang berdiri tegak di depan topper bertuliskan 'Happy Birthday' adalah penanda usiaku saat itu.
"Selamat ulang tahun, Putri kesayangan Ayanda. Semoga kamu tumbuh menjadi putri yang cerdas dan tentunya berbakti kepada bangsa dan negara, sesuai dengan makna nama kamu, yaitu keadilan."
"Buna juga mau ucapin. Selamat ulang tahun untuk malaikat kecil di kehidupan Buna dan Ayanda. Buna harap, Buna dapat menemani kamu bertumbuh sampai kamu berhasil menjadi seseorang yang berguna nantinya. Buna sayang banget sama Hafika."
Senyumku seketika mengembang pada foto ketiga. Kali ini, masih tentang acara ulang tahunku, dengan posisi aku yang terjepit di antara Ayanda dan Buna. Senyuman kami tampak begitu lepas saat itu.
"Tolong fotoin aku sama anak istriku, ya, Mas. Fotonya yang bagus sedikit. Biar bisa kucetak dan kupajang di ruang tamu nanti."
"Aaa, Ayanda! Jangan jepit Hafika. Muka Hafika nanti gak nampak di foto."
Beralih dari foto ketiga ... napasku tercekat. Foto itu ... berisikan aku yang berada dalam gendongan seseorang sembari memegang majalah bergambar kartun. Wajah seseorang yang ada di foto itu kini benar-benar memenuhi pikiranku.
"Hei, Pak Anthony. Lihat cucuku, kecil-kecil sudah pandai membaca. Cucumu bagaimana?"
"Pak Wira! Apa kabarnya? Lihat cucuku, baru umur 3 tahun sudah lancar membaca. Hebat, kan?"
"Hei, Bapak-bapak. Kalian dengar cucuku membaca, ya. Baru tiga tahun, loh, sudah bisa membaca dengan lancar."
"Jelas hebat. Cucunya Basri Abdinegara gitu."
Sekelebat kalimat itu kembali terngiang di pikiranku, mengingatkanku akan semua kenangan yang kini sirna. Tentang betapa aku begitu dibanggakan oleh seorang yang-dulunya-begitu kusayangi.
Semakin aku memperhatikan foto itu, semakin aku terlarut pula dalam kenangan itu. Tanpa kusadari, setetes air mataku turun begitu saja tanpa permisi dan membasahi pipiku.
"Hafika. Ya ampun, Buna kirain kamu kemana, dari tadi dipanggil nggak nyaut." Suara Buna membuatku segera mengusap air mata dan menatapnya lantas tersenyum.
"Eh, Buna, udah pulang?"
Bukannya menjawab, Buna malah berjalan mendekatiku dengan raut wajah khawatir. "Kamu habis nangis, Sayang?"
Aku menggelengkan kepalaku. "Nggak, Buna," bohongku.
"Jangan bohong sama Buna, Sayang. Buna tahu, kamu habis nangis. Ada apa? Sini cerita sama Buna." Buna lantas menarikku ke dalam pelukannya. Tangannya terulur untuk mengelus surai hitamku.
"Buna yang naruh kotak ini di kamar Hafika?" tanyaku seraya menunjuk ke kotak album tadi.
Buna mengurai pelukannya, lantas menatapku. "Iya, Sayang. Maafin, Buna. Pasti gara-gara ngelihat foto yang ada di dalam sini, kamu jadinya nangis," tutur Buna dengan penuh rasa bersalah.
"Buna nggak perlu minta maaf. Buna nggak salah apa-apa, kok. Lagi pula, Hafika mau ucapin makasih ke Buna karena Buna masih nyimpan foto-foto ini untuk Hafika. Setidaknya, di album ini, tersimpan semua kenangan yang pernah ada."
"Iya, Sayang. Sebenarnya, Buna udah nyimpan album ini lama di kamar Buna. Buna nggak mau kamu harus sedih lagi karena kepikiran soal kenangan ini. Tapi, semakin lama, Buna rasa kamu berhak untuk nyimpan kenangan ini. Walaupun Buna awalnya nggak berani terang-terangan ngasi album ini. Makanya, Buna taruh di bawah kasur kamu dan biarin kamu yang nemuin barang ini sendirian."
"Karena sekarang album ini udah ada di kamar Hafika, jadi Hafika bakal rawat album ini baik-baik," ucapku sembari mengangkat dan mendekap buku album itu dalam pelukanku.
Sama seperti apa yang kulakukan pada album itu, Buna kembali menarikku dalam pelukannya. "Satu hal yang perlu kamu tahu, Sayang. Walaupun keluarga besar kita terkesan menyingkirkan kita, cinta Buna dan Ayanda selamanya akan ada untuk kamu ... untuk putri kesayangan kami berdua."
"Hafika juga akan selalu mencintai Buna dan Ayanda, sama seperti cinta yang selama ini kalian berikan untuk Hafika," ujarku menjadi penutup dari pembahasan terkait kenangan itu.
Aku hendak kembali membereskan album itu, memilih untuk tidak lanjut melihat isi dalamnya. Sayangnya, pergerakanku terhenti ketika Buna mempertanyakan perihal handsaplast yang menempel di jari telunjukku.
"Jari kamu kenapa diperban gitu pakai hansaplast, Sayang?"
🍀🍀🍀
1.079 words
©vallenciazhng_
January 12, 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Wheel of Life [ Completed ✔ ]
RomancePertemuan Hafika dengan Haydan Acisclo membuat Hafika harus terjebak bersama lelaki itu. Hafika terpaksa menjadi pacar pura-puraan Haydan untuk membayar utangnya. Belum lagi, ia harus kembali berurusan dengan keluarga besarnya karena kehadiran Marin...