24. Bu Ineke

97 15 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Haydan. Bagaimana bisa ia memanfaatkanku yang terjebak dalam insiden tak disengaja itu untuk membantunya keluar dari masalah perjodohan itu?

Aku bukannya tidak ikhlas membantunya. Akan tetapi, caranya yang seperti itu membuatku kecewa. Seharusnya, dari awal, ia tak menggunakan hal ganti rugi itu sebagai ancaman untukku menerima penawaran kesepakatan yang ia buat. Toh, kalau ia berbicara dengan jujur, tentu saja aku tetap akan membantunya. Malah, caranya yang seperti ini membuatku hilang respect pada lelaki itu.

Terkadang, aku berpikir, apa semua orang beruang mempunyai pola pikir yang seperti itu? Bahwa uang dapat membeli segalanya. Termasuk, harga diri seseorang.

Aku tidak sepenuhnya menyalahkan Haydan. Sebab, aku turut merutuki kebodohan diriku yang tiada akhir. Seharusnya, aku tidak mudah mengiyakan kesepakatan itu. Kesepakatan yang justru malah membuatku semakin terperangkap dan harus berurusan dengan Marinka, gadis pilihan papanya Haydan.

Tapi, semuanya sudah berlalu. Ibarat pepatah, nasi telah menjadi bubur. Aku sudah terlanjur menyetujui kesepakatan itu. Yang perlu aku pikirkan sekarang hanyalah tentang janjiku pada Haydan, untuk melunasi semua utang ganti rugi itu. Tidak peduli, entah lelaki itu mau menerima uangku atau tidak. Yang jelas, aku sudah bulat dengan kesepakatanku. Aku akan membereskan semua uang ganti rugi dan menjauh dari Haydan serta segala permasalahan keluarganya.

Akibat pertemuanku dengan Haydan tadi, aku seketika kehilangan semua mood baikku. Aku tidak jadi menaruh lamaran pekerjaan seperti apa yang kukatakan pada Buna tadi pagi. Beruntungnya, Buna tidak bertanya lebih lanjut mengenai masalah itu, sehingga aku tidak perlu mencari alasan untuk menjelaskannya pada Buna.

“Hafika,” panggil Buna ke kamarku. Aku yang tengah duduk di tepi kasur lantas berjalan menghampiri Buna yang berada di ambang pintu.

“Ada apa, Buna?”

“Buna mau minta tolong sama kamu. Tolong beliin garam sama kecap asin di warung, ya. Stoknya udah habis. Tadi pas Buna selesai masak, Buna kelupaan beli,” ucap Buna yang langsung kuangguki.

Setelah menerima selembar uang berwarna merah dari Buna, aku langsung bergegas ke warung untuk membeli barang sesuai pesanan Buna. Jarak dari rumah ke warung—tempat biasa Buna membeli bahan dapur—tidak begitu jauh. Masih bisa kugapai dengan cara berjalan kaki. Anggap saja, sekalian jalan-jalan sore.

“Bu, beli garam sebungkus sama kecap asin satu, ya,” ucapku pada ibu pemilik warung.

“Bentar, ya,” ujar pemilik warung yang sedang menyiapkan belanjaan orang lain.

Keadaan warung tidak begitu ramai saat ini. Hanya ada aku dan seorang tetanggaku yang tengah berbelanja.

“Jadi, Bu Ineke sekarang nyari babysitter baru lagi?”

“Iya, nih, Bu. Babysitter yang kemarin minta berhenti kerja, soalnya dia mau ngurusin orang tuanya yang sakit. Jadi, saya mau nyari babysitter baru. Maklum, lah, kalau gak punya babysitter, saya pusing. Suami saya kerja dari pagi sampai malam. Trus, sorenya, saya bantu jaga restoran punya adik saya. Jadi, di rumah nggak ada yang jagain Kia.”

“Loh, gak ada nenek atau kakeknya yang bisa jaga? Kan cuma sebentar, dari sore sampai bapaknya pulang kerja.”

“Duh, kakek sama neneknya kan udah tua. Mana mungkin, saya percayakan Kia sama mereka. Takutnya, kenapa-napa. Nanti, jadinya repot. Namanya juga orang tua, kan.”

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang