3

34.4K 1.6K 23
                                    

"Mas Sean, kamu benar-benar tidak terselamatkan."

Adam Januarta,  pria 40 tahun itu menatap miris pada teman dekatnya atau bisa disebut sahabat yang sudah lama menjalin hubungan dengannya.

Rektor muda itu tidak menyangka jika obsesi gila sahabatnya akan jatuh pada sosok mahasiswi di kampus tempatnya.

"Nah, itu! Aku memang sudah tidak bisa terselamatkan. Makanya sekaligus saja aku menyebur, biar basah." Pria 45 tahun itu menyeringai menatap Adam.

Sean dan Satya kembali ke ruang rektor setelah meninggalkan Anjani yang terdiam di perpustakaan setelah apa yang ia lakukan. Pelan-pelan Sean akan menyusup ke dalam kehidupan gadis itu dan membuatnya jatuh cinta.

"Tapi kenapa harus mahasiswi di kampusku? Kenapa tidak cari yang lebih tua dari Anjani, misalnya?"

Sean dengan santai menggelengkan kepalanya.  "No. Aku sudah terpaut dengan gadis itu. Aku berencana untuk mendapatkannya pelan-pelan, lalu memilikinya seutuhnya."  

Satya yang duduk di samping sang kakek hanya diam bermain dengan Lego miliknya. Bocah kecil itu tidak peduli apa yang diobrolkan oleh kedua orang di hadapannya. 

"Kamu tahu 'kan perbedaan usia kalian? And, don't forget, kalau kamu sudah punya cucu."

"Perbedaan usia?" Sean mengangkat sebelah alisnya. "Adam, kamu jangan lupa, kalau istrimu yang kamu nikahi 3 tahun silam berusia 19 tahun dan sekarang sudah punya dua orang anak."

Adam yang mendapat peringatan dari sahabatnya hanya diam mendengus.  Sahabatnya ini memang benar-benar tidak tertolong lagi. 

"Terus apa rencana kamu selanjutnya?"

"Dekati, dekati, terus dekati dia sampai dapat."  Senyum Sean melebar membayangkan jika ia akan mendapatkan Anjani seutuhnya.

Sementara Adam hanya bisa menghela napas pasrah dan mendukung saja keinginan sahabatnya.  Sean memiliki uang dan kekuasaan. Pria itu bisa melakukan apa pun semaunya. Mau berbusa mulutnya dalam menceramahi Sean, ABG tua ini tidak akan peduli.

Kadangkala Adam bergidik ngeri membayangkan jika sahabatnya kembali mengalami masa pubertas di usianya yang sudah 45 tahun dengan 1 orang cucu.

Sean kemudian menghubungi putranya, Sam dan menanyakan keberadaan pria itu. Sam mengatakan jika ia sudah kembali ke rumah besar milik Sean dan berencana untuk menetap bersama Sean.

"Tidak masalah kalau kamu mau tinggal sama papa. Lantai 3 wilayah kalian. Lantai 2 wilayah papa. Ingat, papa tidak akan mengizinkan perempuan yang bernama Sofia itu masuk ke ke rumah papa. Kalau dia berani--" Sean tersenyum miring. "Papa akan membuat dia kehilangan kepala."

"Aku mengerti," sahut Samuel dingin.

Sambungan telepon  kemudian diputuskan. Pria itu menunduk dan menatap cucunya yang berdiri dengan tenang di sampingnya tanpa protes.

"Papa dan Mama kamu sudah baikkan. Sekarang, kita pulang ke rumah. Habis ini grandpa ada agenda penting yang tidak bisa ditinggalkan."

"Mau ketemu calon oma?" Satya mendongakkan kepalanya menatap sang kakek yang tertawa kecil akan tebakannya.

"Kalau sekarang tidak dulu. Mungkin nanti sore grandpa akan menemui calon Oma kamu." Sean kemudian menunduk dan mengangkat Satya dalam gendongannya. "Grandpa mau ada urusan kantor yang harus diselesaikan."

"Oh."

Keduanya kemudian masuk ke dalam mobil dan melaju pergi  menuju kediaman Sean Dwirg. Setelah mengantarkan Satya, Sean kemudian melaju pergi menuju kantornya.

Akan ada seleksi pemilihan CEO hari ini. Sebagai pemilik perusahaan dan pemegang saham tertinggi, Sean diwajibkan untuk hadir. Baru setelah itu ia akan pensiun dan hanya menikmati hasil di masa tuanya.

______

Anjani  pulang ke rumah saat jam sudah menunjukkan pukul 23.30 malam. 

Gadis itu baru saja  pulang dari pekerjaannya sebagai pelayan di sebuah restoran tak jauh dari tempat kontrakan mereka tinggal.

Anjani hanya tinggal berdua bersama ibunya yang sedang sakit-sakitan.  Sementara keberadaan sang bapak tidak pernah Anjani pikirkan atau pedulikan.  Gadis itu sudah menganggap jika  bapaknya sudah lama mati.

Gadis itu masuk ke dalam kamarnya dan keluar setelah mendengar suara batuk dari samping kamarnya. Siapa lagi yang batuk jika bukan ibunya.

"Ibu tidak apa-apa?"  Anjani menyerahkan segelas air putih pada sang ibu.

Wanita itu bernama Dewiyana atau kerap disapa Dewi segera menerima air putih yang diserahkan oleh putrinya.

"Ibu sudah minum obatnya?" Gadis itu menatap khawatir pada ibunya.

"Sudah, Nak. Kamu baru saja pulang kerja?" tanyanya.

Matanya yang mulai rabun berusaha untuk melihat jam yang tergantung di dinding kamarnya.

"Iya, Bu. Restoran ramai banget hari ini. Makanya aku pulang agak telat."

"Kamu harus banyak istirahat jangan terlalu memforsir tubuh kamu, Nak. Ibu tidak mau kamu tiba-tiba jatuh sakit. Kalau kamu sakit, nanti siapa yang akan merawat kamu." Dewi menatap sendu putrinya. Gadis kecil yang dulunya ia abaikan, ketika dewasa justru menjadi penyelamatnya.

"Aku juga banyak istirahat tadi di restoran, Bu. Ibu tenang aja aku tidak akan sakit."  Gadis itu tersenyum kemudian membantu ibunya merebahkan tubuh di atas tempat tidur.  "Ibu langsung istirahat aja, ya. Tolong, jangan banyak pikiran. Aku bisa menjaga diriku sendiri."

"Iya, Nak." Ibu Dewi tersenyum menatap putrinya yang ia miliki.

Setelah memastikan jika ibunya sudah beristirahat dengan baik, Anjani kemudian keluar dan memilih untuk langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Baru setelah itu, ia mengistirahatkan diri di kamarnya.

Kontrakan yang mereka tempati saat ini berupa sebuah rumah dengan dinding bata yang hanya memiliki 2 buah kamar tidur, ruang tamu kecil, 1 buah kamar mandi, dan dapur. Anjani hanya hidup berdua bersama sang ibu. Maka dari itu, gadis berparas ayu itu berusaha keras untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk pengobatan sang ibu.

Anjani merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan teringat akan kejadian tadi siang di perpustakaan. Gadis itu menghela napas mengingat pria tua yang selalu mengganggunya sejak 3 bulan yang lalu.

Pertemuan awal mereka adalah tempat di mana Anjani saat ini bekerja.  Pria itu awalnya tiba-tiba meminta nomor ponsel Anjani, namun ia menolak untuk memberikannya. Sejak saat itu, pria yang selalu berpakaian rapi dan wangi itu selalu mengganggunya.  Sudah berapa kali ia memperingati agar pria yang lebih cocok untuk menjadi ayahnya itu untuk tidak mengganggu dirinya lagi. Namun, semua yang ia ucapkan tidak diindahkan.

"Kenapa aku harus mikirin laki-laki itu?" Anjani menepuk pelan dahinya kemudian menggeleng kuat kepalanya berusaha untuk mengenyahkan bayangan laki-laki tua yang selalu sering mencuri ciumannya.

Ingin sekali ia melaporkan apa yang dilakukan pria itu pada pihak berwajib. Namun, akan ada banyak resiko yang harus ia hadapi. Pertama, dia belum tentu bisa menang melawan orang yang memiliki banyak uang dan power. Kedua, jika berita ini menyebar,  tentu saja Anjani adalah pihak yang dirugikan karena dirinya adalah perempuan.

Anjani hanya bisa berdoa semoga laki-laki itu bisa bosan dan tidak mengganggunya lagi.

Suamiku ABG TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang