49: Sepupu

4.3K 417 21
                                    

Anjani duduk di depan makam ibunya sambil mengusap nisan yang sudah terpasang dengan apik.

Perempuan cantik itu tersenyum manis dengan tetes air mata yang mengalir di pipinya.

Sudah tiga hari Sean berada di luar negeri. Pria itu akan selalu meneleponnya ketika tidak ada pelajaran di kelas. Meskipun saat itu sedang rapat, Sean tidak mematikan sambungan telepon dan berharap agar istrinya bisa mendengar apa yang dilakukannya dan ia juga bisa mendengar apa yang dilakukan istrinya melalui telepon.

Sean hari ini sedang sibuk-sibuknya. Pria itu juga berjanji akan secepatnya menuntaskan pekerjaannya dan hanya menghubunginya tadi pagi saja.

"Ibu lihat kalau aku sekarang bahagia sekali, Bu. Ada laki-laki yang memanjakan aku dan begitu perhatian padaku. Laki-laki yang tidak bisa jauh dariku dan selalu menganggap aku adalah pusat dunianya. Iya, dia Mas Sean yang dulunya aku tolak." Telapak tangan Anjani bergerak mengusap pelan nisan yang tertulis nama ibunya.

"Ibu memang bukan perempuan beruntung di dunia ini karena mendapatkan laki-laki seperti ayah biologis aku. Tapi, berkat doa ibu, aku mendapatkan laki-laki yang 100% jauh lebih baik dari ayah biologisku."

"Ibu, aku tahu semua tentang ibu. Aku tahu semua pekerjaan yang ibu lakukan di masa muda untuk menghidupi aku. Aku sangat-sangat berterima kasih. Ibu, aku akan menjadi wanita seperti ibu yang akan merawat dan mendidik anakku menjadi orang-orang yang baik."

"Nasihat-nasihat ibu akan selalu aku tanamkan dalam pikiranku. Ibu, wanita tercantik dan terhebat yang aku miliki di dunia ini. Ibu tenang di sana. Aku akan hidup dengan baik-baik saja."

"Tapi, Bu, untuk berdamai dengan keluarga ayah tentu saja aku tidak bisa. Dulu, kita dibuang dan sekarang mereka ingin aku kembali tentu saja aku tidak mau."

"Aku masih ingat saat kecil dulu, ibu dipukul oleh beberapa wanita karena ketahuan tidur dengan suami mereka. Saat aku tanya ibu kenapa, ibu bilang karena ibu tidak bayar utang. Padahal dulu aku mengerti apa yang sebenarnya terjadi."

"Aku mencintai ibu dan aku sangat menyayangi ibu. Ibu rela melakukan apa saja untuk bisa menghidupi aku. Memberikan pakaian yang layak, dan memberikan pendidikan yang baik untukku."

"Di dunia ini, meskipun ada banyak mulut kotor yang menghina ibu karena pekerjaan ibu dulu, aku akan membungkam mereka dengan tanganku sendiri. Siapapun yang berani menghina ibu, aku tidak akan membiarkannya."

"Mulut kotor mereka tidak pantas menghina wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan aku. Wanita yang selalu mengutamakan hal-hal mengenai aku, meskipun selalu ditutup dengan sikap tegas ibu."

"Bu, aku belum pernah bisa membahagiakan ibu. Tapi, aku selalu berdoa semoga saja semua dosa ibu di dunia ini diampuni."

"Terima kasih karena 20 tahun ini ibu selalu bersamaku."

Anjani tersenyum haru dengan tangis sesenggukan. Di depan Sean tentu saja Anjani tidak akan menunjukkan betapa lemah dirinya selama ini.

Anjani akan tetap menjadi perempuan tegar di hadapan Sean, dan akan menjadi anak yang lemah jika berhadapan dengan ibunya.

"Kalau begitu aku pergi dulu, Bu. Aku harus pergi ke kampus dan akan mendatangi ibu jika aku punya waktu luang untuk bercerita seperti ini."

Anjani bangkit dari duduknya kemudian menatap makam ibunya untuk terakhir kali.

Perempuan cantik itu kemudian melangkah keluar dan menemukan dua orang bodyguard yang sudah menunggunya di depan area pemakaman.

Anjani pergi ke kampus seperti biasa karena hari ini ia memiliki dua mata pelajaran yang harus dipelajari.

Kemungkinan Anjani mungkin akan pulang sore.

Perempuan cantik itu menatap pesan dalam grup kelasnya yang mengatakan jika dosen mereka akan tiba satu jam lagi. Anjani menghela napas karena dalam waktu 1 jam lagi ia hanya bisa membaca buku di perpustakaan.

Turun dari mobil, masih seperti biasa Anjani akan ditatap oleh banyak mahasiswa maupun mahasiswi yang membicarakan tentang dirinya.

Gosip tentang dirinya semakin menyebar luas. Bahkan, kini ada banyak rumor yang mengatakan jika ibunya adalah seorang mantan wanita penghibur.

Anjani tidak bisa menutup mulut banyak orang hanya karena mereka berkomentar yang tidak-tidak tentang ibunya. Tapi, Anjani bersumpah jika ada yang berani mengatakannya secara langsung di hadapannya, maka ia tidak akan segan untuk melawan.

Terserah orang akan mengatakan dirinya hal-hal yang paling buruk pun tidak masalah. Bagi Anjani jika dirinya yang dikatai tentu saja bukan masalah besar. Tapi, masalah akan Anjani buat semakin besar jika ini sudah menyangkut tentang ibunya yang sudah wafat. Apalagi ada Sean yang pasti akan melindunginya, membuat perempuan itu tidak takut.

"Kamu yang bernama Anjani?"

Langkah kaki Anjani terhenti ketika melihat satu sosok laki-laki yang bersandar pada tembok dan menoleh sambil menatap ke arahnya.

Anjani mengerut keningnya karena ia tidak mengenali sosok laki-laki di hadapannya ini.

"Iya. Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Mas?"

Anjani tahu jika laki-laki di hadapannya jauh lebih tua dari dirinya. Jadi, tentu saja ia harus memiliki kesopanan yang memang pernah diajarkan oleh ibunya dulu.

Pria itu menegakkan tubuhnya dan menatap Anjani dari ujung kaki sampai ujung kepala membuat perempuan itu merasa agak risih.

"Bisa jangan tatap saya seperti itu?" Anjani bertanya seraya menatap laki-laki itu dengan tajam.

Laki-laki yang belum diketahui namanya oleh Anjani itu mengalihkan tatapannya dan menatap wajah Anjani yang memang begitu cantik. Perpaduan antara paman dan juga perempuan yang selalu dicari oleh pamannya itu.

"Kamu mungkin tidak mengenaliku. Tapi, sedikit-sedikit aku sudah mengenal kamu." Laki-laki itu berkata sambil menatap Anjani dan tidak mendapat respon dari perempuan itu membuatnya terkekeh. "Oh, iya, aku belum memperkenalkan diri."

Pria itu mendatangi Anjani dan mengulurkan tangannya yang tidak disambut Anjani sama sekali.

"Namaku Haikal, dan aku adalah anak dari salah satu bibi kamu. Yeah, bisa dikatakan kalau kita ini adalah sepupu." Haikal tersenyum manis menatap Anjani yang membalas dengan ekspresi wajah datar.

Anjani sama sekali tidak membalas uluran tangan Haikal. Perempuan cantik itu menatap wajah Haikal yang agak tinggi darinya.

"Buat apa datang kemari? Mau membalas dendam karena adiknya Mas pernah saya pukul?" Anjani bertanya dengan dingin membuat Haikal terkekeh.

Pria itu menarik tangannya dan memasukkan kembali kedua tangannya ke dalam saku celana sambil menatap Anjani.

"Kamu masih trauma karena diserang sama adik sepupuku yang lain?"

Anjani diam tidak membalas. Trauma? Tentu saja Anjani tidak merasakannya karena memang ia sudah terbiasa diserang maupun dihina oleh orang lain.

"Aku ke sini hanya datang untuk berkenalan dengan kamu. Tidak ada niat apapun lagi."

"Oh." Anjani menyahut dengan ekspresi datar kemudian langsung melangkah pergi melewati Haikal begitu saja tanpa memberi respon berarti.

Sementara Haikal sendiri terkekeh melihat respon yang diberikan oleh adik sepupunya itu yang tampak menggemaskan.

Haikal tidak pernah tahu jika ia memiliki sepupu yang begitu cantik seperti Anjani. Andai saja dulu sepupunya itu tidak menghilang, mungkin Haikal bisa memamerkan jika ia memiliki sepupu yang begitu cantik pada teman-temannya.

Suamiku ABG TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang