17: Lift

19.7K 948 23
                                    

Pulang dari kampus, Anjani langsung menuju rumah sakit di mana ibunya dirawat.

Sesampainya di ruang rawat sang ibu, perempuan itu melangkah masuk dan menemukan keberadaan dua orang yang menunggu ibunya sedang membaca buku yang  dikenali oleh Anjani.

Mereka adalah Bu Sari dan Bu Asni yang kebetulan merupakan tetangga dekat Anjani.

"Bu," sapa perempuan itu sopan.

"Jani, kamu sudah pulang dari acara bulan madu ternyata. Bagaimana asyik?"

Bu Asni yang melihat keberadaan Anjani segera berdiri sembari meletakkan buku menu memasak yang baru saja ia baca di atas meja. Begitu juga dengan Bu Sari yang sedang tidur-tiduran di lantai dengan beralaskan karpet tipis.

"Seperti itulah, Bu. Ini, aku bawa oleh-oleh untuk ibu-ibu. Semoga bermanfaat."

Tidak lupa, Anjani juga menyerahkan masing-masing paper bag berisi pakaian serta makanan untuk kedua orang yang sudah merawat ibunya.

"Kenapa harus repot-repot, Jani? Tapi, terima kasih banyak."

Bu Sari menerima pemberian Anjani sambil tersenyum manis. Ini bisa ia berikan pada anak-anaknya di rumah. Apalagi makanan di dalamnya tentu saja tidak murah sepertinya, pikir wanita itu.

"Iya, Bu. Sama-sama."

Anjani segera menghampiri ibunya dan tersenyum menatap hangat wanita paruh baya yang sudah melahirkannya tersebut.

"Kamu sehat, Anjani?"

Tersenyum kecil, perempuan itu menjawab, "aku sehat, Bu. Ibu sendiri bagaimana?"

"Ibu sehat, Nak. Syukurnya ibu merasa betah tinggal di sini."

Dewi tersenyum hangat menatap putrinya.

"Makannya bagaimana? Lancar, Bu? Apa mungkin ada yang mau ibu makan?"

"Asal kamu tahu, Jani, ibu kamu ini tidak mau makan kalau tidak mendengar ancaman kami. Kami mengancam akan melaporkannya ke kamu kalau dia tidak mau makan. Untungnya, setelah mendengar nama kamu, ibu kamu mau makan dengan sukarela tanpa harus diancam lagi," celetuk Bu Sari.

Sebagai seorang wanita yang sudah lama mengenal Dewi, tentu saja ia tahu penyakit apa yang dialami oleh wanita yang sangat cantik ketika masih dalam kondisi sehat dulu. Bertetangga begitu lama, ia tahu profesi apa yang dijalankan oleh Dewi. Tentunya sebagai tetangga yang baik, ia tidak mau ikut campur urusan orang lain. Bu Asni juga tahu tentang penyakit yang dialami oleh Bu Dewi karena memang Bu Asni adalah teman seprofesi Dewi. Namun, ia lebih beruntung dari Dewi karena sudah bertaubat lebih dulu.

Anjani segera menatap ibunya. "Ibu harus makan tanpa diancam. Aku tidak mau kalau ibu kenapa-napa. Aku mau ibu kembali sehat."

"Iya, Anjani. Ibu pasti akan sehat. Ibu sangat bahagia karena putri cantik ibu akhirnya sudah memiliki seseorang yang bisa menjaga kamu. Doa dan restu ibu selalu menyertai kamu, Nak." Bu Dewi menggenggam tangan putrinya. "Pokoknya kamu harus baik-baik terus sama suami kamu. Ibu tahu usianya mungkin lebih tua dari kamu, tapi dia bisa melindungi kamu, Nak. Ibu mau kamu hidup bahagia."

"Aku pasti akan bahagia asal ibu selalu sehat. Pokoknya ibu harus semangat supaya bisa keluar dari rumah sakit secepat mungkin."

"Iya. Ibu akan segera keluar dari rumah sakit. Mungkin dalam waktu beberapa hari, ibu sudah sehat dan bisa berlari. Ibu jadi tidak sabar ingin pergi ke taman," ujar Bu Dewi sambil tersenyum manis. "Pokoknya, kalau kamu sudah punya anak nanti, dijaga anak kamu. Perlakukan mereka dengan adil, jangan pernah pilih kasih."

"Iya, Bu. Aku akan selalu mendengar nasihat ibu."

Setelah berbincang dengan ibunya, bu Asni, dan Bu Sari, Anjani akhirnya pamit pulang.

Saat melangkah keluar dari rumah sakit, kakinya berhenti melangkah ketika melihat sosok seorang pria berdiri dengan tenang di parkiran tak jauh dari posisi Anjani sekarang berada.

Sosok pria itu berdiri dengan bersandar pada kap mobil bagian samping sambil memainkan ponselnya. Merasa jika dirinya sedang ditatap, pria itu mengangkat kepalanya kemudian tersenyum manis.

Dia adalah Sean. Pria yang berstatus sebagai suami dari Anjani langsung melangkah mendekati istrinya.

"Sayang."

Anjani langsung menunduk malu mendengar suara keras suaminya. Bukan apa-apa, di depan sini masih banyak orang yang berseliweran. Tentu saja panggilan sayang dari suaminya membuat orang-orang langsung menatap ke arahnya dan Sean.

"Mas, jangan berteriak seperti itu. Malu dilihat sama orang."

"Kamu malu karena dipanggil lelaki tua seperti aku dengan sebutan sayang?"

Anjani membelalakkan matanya mendengar tuduhan Sean. Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Bukan seperti itu maksudku, Mas. Hanya saja aku malu mas panggil seperti itu di depan banyak orang."

"Kenapa harus malu? Kamu istriku bukan istri orang." Pria itu kemudian menggenggam tangan istrinya dan mencium punggung tangan Anjani tidak peduli jika saat ini orang-orang sudah menatap ke arahnya.

"Mas." Rasa panas menjalar di pipi Anjani. Wanita itu kemudian membalas genggaman suaminya.

"Iya, Sayang. Entah mengapa, mendengarmu memanggil seperti ini, rasanya ingin segera membawa kamu ke rumah."

Pria itu segera membawa istrinya masuk ke mobil untuk kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah mereka kemudian masuk. Langkah kaki Anjani berhenti saat melihat beberapa orang asing sedang mengerjakan hal yang tidak diketahui oleh Anjani. Padahal tadi pagi orang-orang ini belum datang.

"Sayang, mereka adalah orang-orang yang aku pekerjakan. Rencananya aku mau membuat lift di dalam rumah ini. Tentu saja hal ini dilakukan supaya kamu tidak kelelahan untuk naik dan turun tangga. Bagaimana?" Pria itu mengangkat sebelah alisnya menatap sang istri. Apapun akan ia lakukan untuk membuat istri kecilnya ini bahagia.

"Ta-tapi Mas, membuat lift pasti sangat mahal," ujar Anjani, menatap suaminya tidak enak hati.

"Everything for you, Honey. Tidak ada yang mahal untuk wanita mahal seperti dirimu."

Pria itu tanpa malu mencuri kecupan di sudut bibir istrinya.

"Sepertinya kita akan tinggal untuk sementara di rumah kita yang lain sebelum lift selesai dibangun. Aku juga tidak berencana hanya untuk membuat lift, tapi juga memperluas kolam renang, dan menambah beberapa ruang untuk fasilitas lainnya."

"Tapi rumah Mas sudah terlalu besar dan sudah banyak fasilitas."

Anjani tidak mengerti mengapa orang kaya seperti Sean selalu membuang uang untuk hal-hal yang menurutnya sangat tidak penting.

"Fasilitas yang ada di dalam rumah ini, murni ada karena untukku. Sekarang aku mau merombak beberapa hal untuk kamu juga, Sayang." Pria itu segera menarik tangan istrinya ke lantai atas. "Kamu tenang saja, aku akan membuat segala sesuatu yang kamu butuhkan ada di rumah ini."

"Mas tidak perlu melakukan hal berlebihan. Seperti ini saja aku sudah nyaman."

"Tidak, Sayang. Biarkan aku melakukan apa yang terbaik untukmu."

Pria itu kemudian melingkarkan tangannya di pinggang sang istri dan membawa masuk ke dalam kamar. Tentunya ia akan meminta haknya sebagai suami yang akan dilakukan di siang bolong seperti ini.




Suamiku ABG TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang