41: Terbalaskan

5.3K 489 64
                                    

Tidak mau putra kesayangannya kenapa-napa tentu saja Pak Harto langsung meminta salah satu anak buahnya untuk memanggil Mirna.

Mereka yang bersembunyi di paviliun belakang langsung tersentak saat salah satu pengawal dari Pak Harto datang dan meminta agar Mirna mengikutinya.

"Hanya nyonya Mirna saja." Ini adalah kalimat yang diucapkan oleh pengawal Pak Harto pada Halimah dan yang lain saat mereka bergegas untuk mengikutinya.

Akhirnya Halimah dan juga Siska hanya bisa diam di dalam paviliun sementara nenek Mirna yang tidak mengerti apa-apa mengikuti dengan tubuh bergetar pengawal memasuki area utama rumah.

Wanita tua itu sedikit terkejut saat melihat ada banyak rombongan yang berdiri di depan lobby kediaman mereka.

Nenek Mirna segera berdiri di sebelah Pak Harto. "Mas, kenapa kamu memanggilku? Apa urusannya sudah selesai?"

Nenek Mirna tentu saja ketakutan dan memilih untuk merapatkan tubuhnya pada sang suami.

"Apa yang sudah kamu lakukan, Mirna? Kamu tahu kerugian apa yang kamu sebabkan? Kamu hampir saja membuat kita kehilangan anak laki-laki kita yang sedang koma." Pak Harto dengan ekspresi dingin menatap istrinya.

Frans dan anak buahnya yang lain sudah memeriksa Husein di kamar dan memang benar ada bom yang diletakkan oleh anak buah Sean di bawah tubuh putranya.

Bom tersebut tidak bisa dipadamkan dengan mudah karena memang harus ada seorang ahli yang bisa melakukannya.

Pak Harto tentu saja tidak mau mengambil risiko putranya kenapa-napa. Maka lebih baik ia menyerahkan istrinya pada Sean untuk membalaskan dendam pria itu.

Pak Harto benar-benar tidak habis pikir mengapa cucunya bisa mendapatkan pria seperti Sean. Tidak mungkin juga Dewi menjodohkan putranya dengan laki-laki seperti Sean. Lebih lagi menurut informasi yang disampaikan oleh anak buahnya jika Dewi sudah lama sakit-sakitan dan otomatis tidak akan bertemu dengan banyak orang karena Dewi banyak mengurung diri di rumah.

"Serahkan istri Anda pada anak buah saya." Sean berucap sambil menatap Pak Harto dengan tenang.

Hal ini tentu saja membuat Mirna membelalakkan matanya dan segera menyembunyikan tubuh di belakang sang suami.

"Apa yang kamu mau? Kenapa suami saya harus menyerahkan saya sama kamu? Mau apa kamu sebenarnya?" Nenek Mirna tentu saja sedikit takut melihat Sean yang berdiri di antara pengawal pria itu.

"Tentu saja aku ingin membalas rasa sakit yang dialami oleh istriku. Anda cukup berani untuk menampar dan bahkan menjambak rambut istriku. Maka jangan salahkan aku kalau aku berniat untuk membalas dendam."

Mendengar apa yang diucapkan oleh Sean tentu saja nenek Mirna membelalakkan matanya. "Apa maksud kamu? Kapan saya menyerang istri kamu?"

Sean terkekeh dan menjawab, "Anjani adalah istriku."

Mendengar nama anak dari wanita yang dibencinya tentu saja nenek Mirna langsung menegakkan tubuhnya. Ekspresi wajahnya yang ketakutan berubah menjadi marah dan menatap tajam pada Sean.

"Oh, jadi kamu datang ke sini untuk membela anak haram itu? Kamu pikir saya bakalan takut? Berani sekali kamu datang membawa anak buah kamu untuk menakut-nakuti rumah kami. Sekarang saya minta kamu untuk pergi bawa anak buah kamu dan berhenti bermimpi untuk membalaskan dendam kamu. Anak haram itu memang pantas mendapatkan perlakuan itu dari saya," ujar nenek Mirna. Ekspresi wajahnya yang ganas tentu saja membuat Fabian dan juga Dika memutar bola mata mereka. Turut prihatin dengan sikap neneknya yang agak angkuh. Sedangkan kakek mereka saja yang memiliki kekuasaan tidak mampu untuk melawan suami dari Anjani. Apalagi nenek Mirna yang hanya mengandalkan kakek mereka untuk melindunginya.

"Apa yang kamu katakan?" Pak Harto menatap tajam pada istrinya kemudian langsung mendorong wanita itu ke arah anak buah Sean yang sudah bergerak. "Lakukan apa yang ingin kalian lakukan padanya. Tapi, jangan sampai kalian menghilangkan nyawanya."

Sean menganggukan kepalanya dan memberi kode pada anak buahnya untuk segera membawa nenek Mirna ke tempat yang agak bersembunyi dan melakukan tugas mereka.

Wanita tua itu memberontak dan berusaha untuk melepaskan diri namun tidak bisa karena anak buah Sean yang terlalu kuat. Belum lagi suaranya yang nyaring meminta pertolongan membuat baik suami, menantu, dan juga cucu-cucunya mengalihkan tatapan ke arah lain karena tidak tega mendengar suara raungan dari nenek Mirna.

Sementara Sean sendiri hanya diam dengan tenang menunggu anak buahnya menuntaskan dendam di hatinya.

Tak lama kemudian terdengar suara dering ponsel berbunyi membuat pria itu mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Senyum manis tersungging di bibir ketika melihat id memanggil yang tak lain adalah istrinya tercinta.

"Mas belum pulang?"

"Belum, sayangku. Mas masih di klub malam bersama anak buah Mas yang lain. Kamu memangnya belum tidur?"

"Aku belum bisa tidur sebelum Mas ada di sini. Kalau begitu aku menunggu Mas saja."

Sean tersenyum manis mendengar apa yang diucapkan oleh istrinya. "Tentu saja sayangku. Mungkin sebentar lagi Mas akan pulang. Mas sudah sangat merindukan kamu."

Sean berbicara santai sambil bersandar pada kap mobil di belakangnya. Pria itu tidak memedulikan orang-orang dari keluarga Pak Harto yang terus menatap ke arahnya dengan waspada.

Meskipun saat ini ia sedang berbicara mesra dengan sang istri tentu saja ia tidak menunjukkan rasa malunya. Untuk apa malu di hadapan keluarga yang bahkan istrinya sendiri enggan untuk mengakui.

"Sayang, sepertinya aku sebentar lagi akan pulang. Aku tutup dulu teleponnya, ya. Kamu tidak apa-apa 'kan?" Sean langsung ingin menutup sambungan telepon ketika melihat nenek Mirna yang dibawa kembali ke arah mereka saat ini berada.

"Iya, Mas. Aku tunggu Mas Sean di rumah."

"Iya, sayangku. Emuach." Sean memberi kecupan suara yang membuat Anjani harus membalasnya.

Baru kemudian sambungan telepon terputus dan pria itu menegakkan tubuh menatap nenek Mirna yang kini kepalanya sudah putih.

Fabian dan Dika yang melihat keadaan nenek mereka segera mengalihkan tatapan ke arah lain dengan menggigit bibir bawah mereka. Sedangkan Frans sendiri selaku orang tua mereka hanya menundukkan kepala tidak berani menatap pada ibu mertuanya yang kini kepalanya sudah botak tidak ada sehelai rambut pun.

Nenek Mirna kemudian didorong ke arah Pak Harto. Wanita tua itu menangis di hadapan suaminya. Suaranya yang nyaring tentu saja menyayat hati. Lebih lagi rambut yang sudah dirawatnya sejak dulu kini hilang tidak berbekas.

"Kamu benar-benar kurang ajar! Apakah kamu tidak diajarkan orang tua kamu untuk bersikap sopan pada orang yang lebih tua? Berani sekali kamu berbuat seperti ini pada orang yang lebih tua dari kamu!" Nenek Mirna yang sudah tersulut emosi berteriak menatap pada Sean.

"Orang tuaku sibuk bekerja sejak kecil dan aku tinggal bersama maid. Jadi, Anda benar kalau aku memang tidak pernah diajarkan oleh orang tuaku." Sean menjawab dengan jujur apa yang diucapkan oleh nenek Mirna. "Kalau begitu kita impas sekarang. Sekali lagi aku mendengar kalian melakukan sesuatu pada istriku, aku tidak akan segan untuk membalas dengan apa yang sudah kalian lakukan. Camkan itu."

Sean kemudian berbalik membawa semua anak buahnya untuk pulang kembali ke rumah mereka meninggalkan kediaman Pak Harto dan juga raungan tangisan dari nenek Mirna.

Suamiku ABG TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang