50: Sepupu.2

4.1K 406 29
                                    

Haris menghentikan langkahnya dan menatap sosok yang sepertinya ia kenali dari punggung belakangnya.

Haris menggelengkan kepalanya berusaha untuk berpikir jika sosok yang dilihatnya di hadapannya bukanlah sosok sang kakak.

"Bang Haikal!" Haris mencoba peruntungan dengan cara memanggil sosok yang berada tak jauh dari posisinya saat ini.

Anehnya lagi ketika ia memanggil nama sang kakak, sosok itu tiba-tiba menghentikan langkah dan memutar tubuh untuk menghadap ke arahnya.

Kening Haris semakin mengerut bingung saat melihat sosok itu memang benar kakaknya.

Segera Haris melangkah menghampiri sang kakak. "Abang ngapain ada di kampus aku? Abang ada naksir sama salah satu mahasiswi di kampus ini? Aku bilangin sama mama ya kalau abang main-main sama anak di kampus tempat aku kuliah," ancam Haris menatap kakaknya kesal.

Playboy cap goceng satu ini memang selalu menjalin hubungan dengan banyak perempuan sehingga terkadang para perempuan itu nekat datang ke rumah untuk meminta pertanggungjawaban sang kakak. Tentu saja yang dipusingkan adalah orang-orang rumah.

"Siapa bilang Abang mau main-main sama cewek di sini? Abang memang tadi habis ketemu dengan cewek cantik. Tapi, bukan untuk dimain-mainin."   Haikal segera merangkul pundak Haris kemudian segera membawanya melangkah karena kebetulan Haris juga mau pulang ke rumah.

"Mustahil kalau abang berhenti main-main. Pokoknya setelah ini aku harus laporin Abang ke Mama biar Abang diomelin sama mama."

"Lapor aja Abang tidak takut. Lagi pula Mama sudah tahu kalau tujuan Abang ke kampus ini kok."

"Serius? Kok, Mama kasih izin?"

"Iya, soalnya Abang datang ke sini memang mau ketemu dengan sepupu kita."

"Siska? Bukannya dia masih belum mau masuk kuliah setelah dihajar habis-habisan sama musuhnya?"

"Siapa yang bilang kalau dia dihajar habis-habisan sama musuhnya?"

"Siska sendiri yang bilang ke aku."

"Terus kamu percaya kalau Siska diserang sama musuhnya? Bagaimana kalau Abang bilang sebenarnya kalau Siska duluan yang menyerang sepupu kita?"

"Siapa yang diserang sama Siska? Bang Dika apa Mas Fabian? Gila berani sekali dia kalau harus menyerang mereka berdua. Aku saja yang laki-laki takut dengan Bang Dika dan Mas Fabian," sahut Haris menggelengkan kepalanya.

Haikal langsung memukul pelan kepala adiknya itu. "Kamu ini dari tadi Abang ngomong memangnya tidak nyambung? Kapan Abang bilang kalau sepupu kita yang diserang sama Siska itu Bang Dika dan Mas Fabian?"

"Sepupu kita 'kan hanya mereka bertiga saja. Memangnya ada yang lain?" Kening Haris mengerut bingung tidak mengerti dengan arah pembicaraan dari kakaknya ini.

"Sepupu kita itu anaknya Paman Husein. Makanya kamu itu jangan abai sama keluarga sampai-sampai sepupu kita sudah ketemu saja kamu tidak pernah tahu. Parah sekali hidup kamu itu, Ris."

Beberapa waktu ini Haris memang disibukkan dengan hari patah hatinya karena ditolak oleh Anjani. Tentu saja ia hanya bisa dengan tenang menata hatinya kembali, dan mengabaikan apa yang terjadi di keluarganya.

Haikal menggelengkan kepalanya kemudian mulai menjelaskan jika memang sepupu mereka yakni anak dari Paman Husein sudah ditemukan dan kebetulan sepupu mereka itu berjenis kelamin perempuan dan kuliah di sini juga.

"Jadi, sepupu aku itu senior apa junior aku?"

"Jelas aja junior kamu. Kalian beda satu tahun doang," sahut Haikal.

"Oh, iya? Aku jadi penasaran dengan sepupu kita. Bang, coba bawa aku ke tempat dia dan ajak kenalan."

"Kapan-kapan saja soalnya dia terlihat lagi sibuk tadi. Ya sudah ayo kita pulang karena mama sudah menunggu kita."

Akhirnya Haikal dan juga Haris memilih untuk pulang ke rumah. Sementara Anjani sendiri kini sibuk mengerjakan tugasnya yang harus diselesaikan hari ini juga.

Anjani sibuk dengan urusan pekerjaannya menyelesaikan tugas yang seharusnya bisa diselesaikan besok-besok. Hanya saja perempuan itu tidak mau membuang waktu.

Anjani lebih senang kalau memang memiliki pekerjaan harus diselesaikan saat itu juga. Jika nanti-nanti pasti dirinya akan malas.

Perempuan cantik itu menatap jam yang sudah menunjukkan hampir pukul 6 sore.

Anjani kemudian merapikan buku-bukunya dan menyusun dirak sebelum akhirnya ia membawa semua buku-bukunya untuk keluar dari perpustakaan besar tersebut.

Tidak ada siapa-siapa lagi selain pengurus perpustakaan yang tadi sempat disapa olehnya saat masuk.

Anjani baru saja akan melangkah keluar ketika ia menghentikan langkahnya saat melihat pintu perpustakaan yang tertutup.

Perempuan cantik itu menghela napas dan berusaha untuk membuka pintu namun tidak kunjung berhasil.

Anjani dapat mendengar suara orang tertawa di luar, membuatnya berpikir jika saat ini mungkin ia sedang dikerjai.

Anjani segera mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya dan segera melakukan panggilan pada bodyguard yang diminta oleh suaminya untuk disimpan nomor mereka.

"Saya ada di perpustakaan dan saya dikunci dari luar. Bisa minta tolong untuk membukakan pintu perpustakaan?"

"Baik, Nyonya."

Anjani segera mematikan sambungan telepon kemudian mengusap lengannya yang tiba-tiba saja bulu kuduknya berdiri.

Perempuan itu entah mengapa belum terbiasa dipanggil dengan sebutan 'Nyonya' oleh bawahan dari suaminya sendiri. Maksud Anjani juga bisa menyebutkan nama langsung kenapa tidak? Sementara dirinya dipanggil dengan sebutan 'Nyonya' yang entah mengapa dia rasa tidak pantas untuknya.

Segera Anjani duduk di kursi yang tersedia menunggu dua orang bodyguard yang berada di luar kampus untuk datang menjemput dan membukakan pintu.

Hari sudah menjelang petang dan tentu saja Anjani menebak jika  kampus mungkin sudah agak sepi. 

Membutuhkan waktu 10 menit sebelum akhirnya terdengar suara pintu perpustakaan yang terbuka.

Anjani segera menegakkan tubuhnya menatap pada pintu yang menampilkan seorang pengawas yang dilihatnya tadi.

Pengawas berjenis kelamin perempuan itu tampak kebingungan saat pintu terbuka dan menemukan Anjani di dalam.

"Saya minta maaf, Anjani. Saya juga tidak tahu kenapa pintu perpustakaan sudah terkunci padahal ini belum waktunya dikunci. Tadi saya memang sengaja meninggalkan perpustakaan karena saya dipanggil oleh salah satu dekan." Wanita itu langsung meminta maaf atas keteledorannya yang meninggalkan Anjani di perpustakaan sendiri. Pintu memang terkunci dari luar dan beruntung kuncinya tidak dihilangkan. Jika dihilangkan maka akan kesulitan untuk mencari kunci serep yang dikumpulkan menjadi satu dengan kunci-kunci yang lain.

Anjani tersenyum kecil dan menganggukkan kepalanya. "Tidak apa-apa, Bu."

"Tapi, saya merasa saya tidak mengunci pintu sama sekali." Wanita itu masih merasa bersalah.

"Mungkin tadi ada angin kencang makanya pintu tidak sengaja terkunci dari luar."

Anjani tidak mengatakan apa-apa tentang dirinya yang memang sengaja dikunci dari luar oleh anak-anak yang tidak ia ketahui siapapun itu.

Sementara dua orang bodyguard yang menjaga Anjani saling melirik sebelum akhirnya salah satu dari mereka menganggukkan kepala.

Setelah itu Anjani segera pulang dengan ditemani oleh dua orang bodyguard-nya. Mobil mereka terparkir di depan perpustakaan dan langsung pergi menuju kediaman tempat di mana Anjani tinggal.

Suamiku ABG TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang