30: Penolakan

5.7K 360 7
                                    

Haris mempersiapkan diri untuk menyatakan cintanya pada Anjani.

Pemuda itu tampak nervous sambil sesekali memegang erat buket bunga yang baru dibelinya tadi. Sementara dirinya masih menunggu temannya untuk memanggil Anjani di kelas karena ia tahu saat ini Anjani tidak memiliki mata pelajaran.

Tak lama terdengar suara langkah kaki membuat Haris segera menoleh. Benar saja yang berdiri tak jauh dari posisinya saat ini adalah Anjani yang mengambil langkah dengan tenang menuju ke arahnya berada.

Debar jantung Haris semakin menggila kala langkah kaki Anjani semakin mendekat.

Sedangkan buket bunga sudah ia sembunyikan di belakang punggungnya.

"Ada apa kakak memanggilku kemari?" Anjani langsung bertanya tanpa basa-basi. Sungguh bingung melihat Haris yang tampak gugup.

"Anjani, aku mau bilang sesuatu sama kamu. Tapi, aku harap kamu tidak marah." Haris berucap dengan tenang. Berusaha agar dirinya tidak terlihat gugup.

"Kenapa?"

Anjani bertanya dengan raut wajah yang sedikit penasaran. Entah hal penting apa yang ingin disampaikan oleh kakak seniornya ini.

"Aku sebenarnya udah suka sama kamu sejak lama. Anjani, kamu mau tidak jadi pacarku?" Tiba-tiba saja buket bunga dikeluarkan oleh Haris dari belakang punggungnya sementara ia sendiri berlutut di hadapan Anjani.

Kepalanya mendongak menatap pada gadis yang berdiri dengan tenang di hadapannya. Tidak ada raut wajah panik atau malu yang ditampilkan oleh gadis itu, membuat Haris mulai bertanya-tanya apa yang saat ini sedang dipikirkan oleh Anjani.

"Anjani?"

"Maaf, Kak. Aku tidak bisa terima kakak," tolak Anjani setelah berpikir 5 detik.

Haris tentu saja tercengang mendengar penolakan langsung dari Anjani. Pemuda itu membelalakkan matanya menatap tidak yakin dengan apa yang diucapkan oleh Anjani.

"Kenapa? Kenapa kamu tidak mau menerima cintaku? Aku suka sama kamu, Anjani," ujar Haris dengan rasa kecewanya. Harus ada alasan mengapa Anjani tidak bisa menyukai dirinya. Padahal kalau bahas soal tampang tentu saja Haris tidak terlalu jelek untuk dibawa ke mana-mana dan diperkenalkan.

"Soalnya aku sudah punya suami."

Haris tercengang mendengar jawaban tenang keluar dari mulut Anjani. Pemuda itu menelan ludahnya dan menatap tidak percaya dengan kalimat yang dikeluarkan oleh mulut gadis itu.

"Aku sudah menikah beberapa bulan yang lalu. Pernikahan kami memang tidak dipublish, karena memang aku tidak suka menjadi pusat perhatian orang-orang," ujar Anjani. Perempuan itu tidak lupa juga untuk mengangkat jari-jarinya dan menunjukkan cincin kawin yang diberikan Sean padanya. "Ini adalah cincin pernikahanku yang diberikan oleh suamiku."


Sementara Haris membeku di tempat, teman-teman pemuda itu yang diam-diam menonton dari jauh segera menutup mulut mereka karena penolakan yang dilakukan oleh Anjani.

Terutama fakta yang terdengar jika sebenarnya Anjani sudah memiliki suami. Ini hal yang agak mencengangkan dan tidak bisa dipercaya.

"Sekali lagi aku minta maaf, Kak. Aku benar-benar tidak bisa menerima kakak."

Anjani melempar senyum terakhirnya sebelum berbalik pergi meninggalkan Haris yang masih membeku di tempat. Pemuda itu benar-benar tidak percaya jika Anjani sudah memiliki suami. Apalagi usia Anjani menurutnya masih sangat muda.

Pada akhirnya, teman-teman Haris yang menonton dari jarak jauh datang menghampiri pemuda itu dan menghiburnya agar tidak bersedih atas penolakan yang baru saja dilakukan oleh Anjani.

"Hilang satu maka kamu akan mendapatkan pengganti yang lain," hibur teman Haris.

Sedangkan Haris mengganggukan kepalanya dengan rasa kecewa yang luar biasa.

Sementara di sisi lain, Anjani yang baru saja menolak Haris tidak merasakan apa-apa. Lagi pula selama ini ia memang tidak pernah memberikan harapan pada pemuda itu.

Usai menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen, Anjani sudah mengumpulkannya pada ketua kelas dan pergi meninggalkan kelas.

Anjani berniat untuk menunggu suaminya di depan ruang rektor karena biasanya Sean akan berada di sana.

Langkah gadis itu terhenti ketika ia mendapat telepon. "Iya, Mas?"'

Ini adalah suara milik Sean yang menghubunginya. Pria itu tadi setelah mengantarnya langsung pergi dan  meminta agar ia bisa menunggunya di ruang rektor. 

"Sayang, aku udah minta sopir untuk jemput kamu. Kamu pulang naik mobil dijemput sama sopir dulu, ya. Soalnya aku sekarang ada di kantor dan ada pemilihan CEO sekarang. Kamu tidak apa-apa 'kan?"

Anjani tersenyum kecil kemudian menjawab jika tidak apa-apa ia pulang dengan dijemput oleh sopir. "Lagi pula sebelum aku mengenal Mas, aku juga sudah sering pulang sendiri dan berjalan kaki."

"Yah, aku hanya takut kalau kamu merindukan aku." Suara Sean terdengar lembut dan menggoda. "Aku bahkan merindukan kamu, setelah beberapa jam kita tidak bertemu."

"Mas bisa saja. Ya sudah kalau begitu nanti aku tunggu di depan gerbang kampus. Mas sebutkan saja ciri mobilnya," ujar Anjani pada Sean.

Baru kemudian Sean menyebutkan ciri-ciri mobil yang akan menjemput Anjani. Namun, karena tidak ingat dengan plat mobilnya, Sean hanya meminta agar istrinya itu menaiki mobil di mana sopir akan bertanya lebih dulu.

Akhirnya Anjani setuju dan langsung mematikan sambungan telepon. Perempuan itu melangkah santai menyusuri koridor sampai akhirnya ia tiba di depan gerbang kampus setelah perjalanan lebih dari 10 menit.

Sebenarnya tidak masalah kalau ia dijemput di dalam kampus, hanya saja tidak enak hati kalau harus dilihat orang-orang, mengingat orang lain tahu identitasnya adalah gadis miskin biasa.

Saat sedang menunggu mobil, sebuah mobil van hitam berhenti tepat di depan Anjani.

Bagian sopir membuka kaca. "Nona Anjani, ya?"

Anjani tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Gadis cantik itu segera masuk ke dalam mobil dan duduk dengan nyaman di kursi penumpang bagian belakang.

Sedangkan sopir di bagian depan mengerut keningnya saat tiba-tiba Anjani sudah duduk di dalam mobil.

"Ternyata tidak sesulit yang dikatakan oleh Tuan," gumam sopir tersebut pada dirinya sendiri.

Mobil kemudian melaju dengan Anjani yang mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Gadis cantik itu mengerjakan tugas yang akan dikumpulkan besok, dengan tetapan serius sehingga ia tidak menyadari jika arah jalan pulang sangat berbeda dengan arah jalan pulang menuju kediamannya.

Baru setelah mobil berhenti, Anjani mengangkat kepalanya dan bersiap untuk turun dari mobil. Gerakan tangannya terhenti ketika ia menyadari jika tempatnya saat ini berada tidak dikenalinya.

Gadis cantik itu yang akan turun dari mobil segera menghentikan gerakannya. "Pak, ini bukan rumah kita. Bapak salah alamat," ujar Anjani pada sang sopir.

Para pekerja di rumah Sean ada banyak dan Anjani tidak mengenali mereka satu persatu.

"Maaf, Non. Tapi, Tuan besar memang meminta saya untuk membawa Nona ke sini."

Anjani mengerut keningnya.  Perempuan itu mulai berpikir jika mungkin Sean ingin memberinya kejutan.

Segera, Anjani turun dari mobil dan melangkah dengan santai menuju lobby rumah di mana pintu utama berada.



Suamiku ABG TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang