Kemarahan terlihat jelas dari raut wajah Sean saat turun dari pesawatnya. Tidak peduli apapun lagi atau barang-barang yang dibawa, Sean langsung bergegas menuju mobil yang sudah dipersiapkan untuknya.
Sean tiba di Indonesia tepat menjelang subuh. Pria itu langsung bergegas ke rumah sakit yang alamatnya sudah dikirim oleh anak buahnya.
"Bagaimana kondisi istri saya, Effendi?" Sean menatap bodyguard bernama Effendi dengan mata tajamnya.
Sean tentu saja masih memiliki logika untuk tidak menyalahkan dua orang bodyguardnya. Lagi pula dirinya sendiri yang memberi saran agar mereka tidak terlalu dekat dengan Anjani hingga membuat istrinya menjadi pusat perhatian hanya karena mendapat pengawalan dari dua orang bodyguard-nya.
"Nyonya Anjani tadi sempat sadar. Tapi, mungkin karena pengaruh obat bius, Nyonya Anjani kembali tidur." Effendi menjawab dengan suara tegasnya. "Saya minta maaf atas kelalaian saya dan juga Johan, Nyonya Anjani mendapat perlakuan tidak mengenakkan di kampus, Tuan."
Effendi dan juga Johan mengakui kesalahan mereka karena tidak bisa menjaga Nyonya mereka dengan baik.
"Bukan salah kalian. Ini juga salahku karena tidak mengizinkan kalian untuk dekat-dekat dengan istriku." Sean tidak menyalahkan mereka berdua. "Lalu, apa kamu sudah menemukan orang yang meneror istriku? Tentang bangkai tikus dan juga loker istriku yang dirusak?" Sean menatap keduanya dengan mata tajam.
"Kami sudah hampir menemukan titik terangnya, Tuan. Laporan mungkin akan kami terima besok pagi," jawab Johan dengan tenang.
"Baguslah kalau begitu. Kalian jaga di luar, karena saya akan menemani istri saya di dalam."
"Tuan, tunggu sebentar."
Langkah kaki Sean yang akan masuk ke dalam terhenti ketika mendengar suara Effendi yang memintanya untuk berhenti. Pria itu menoleh dan menatap dua orang bodyguard-nya yang tampak gelisah.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kalian berdua terlihat gugup?" Sean bertanya dengan dingin pada keduanya
"I-itu, tadi dokter mengatakan dengan kami kondisi nyonya Anjani, Tuan." Effendi menatap gugup pada Sean yang masih menampilkan raut wajah dinginnya.
"Lalu?"
Effendi dan juga Johan saling menatap dan memberi kode agar salah satu di antara mereka berdua yang berbicara dengan Sean. Sayangnya, keduanya sama-sama menggelengkan kepala dengan takut.
"Apa kalian akan menghabiskan waktuku di luar sini?" Sean melipat tangannya di dada menatap pada sosok kedua bodyguardnya itu.
Telapak tangan Efendi mendorong punggung Johan di sebelahnya hingga maju beberapa langkah dan berdiri tepat di hadapan Sean.
Segera Johan menatap pada teman yang berkhianat itu. Kemudian Johan memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu yang diucapkan oleh dokter tadi pada mereka.
"I-ni tadi Dokter bilang kalau kondisi Nyonya Anjani tidak apa-apa. Hanya perlu perawatan rutin supaya luka di tubuh Nyonya Anjani bisa menghilang dengan cepat. Tapi--" demi apapun, saat ini Johan takut untuk memberi informasi yang pasti akan membuat Tuan mereka berada di ujung kemarahan.
"Tapi, apa, hmm?" Sean tersenyum dingin menatap pada Johan yang masih ketakutan.
Hal ini tentu saja membuat Johan akhirnya memberanikan diri mengatakan apa yang baru diucapkan oleh dokter tadi padanya.
"Dokter bilang kalau Nyonya Anjani sedang hamil. Usia kandungannya baru 5 minggu dan beruntung tidak ada benturan keras sehingga bayi yang ada dalam kandungan Nyonya Anjani baik-baik saja," jelas Johan, dengan suara bergetar hebat tentunya.
Seketika itu tubuh Sean langsung menegang ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Johan.
Johan yang sedang menundukkan kepalanya tersentak kaget ketika kerah kemejanya tiba-tiba dicengkram oleh Sean.
Sementara Effendi langsung mundur ke belakang dengan tatapan ngeri. Untung saja ia berhasil mendorong Johan ke depan, jika tidak mungkin dirinya yang akan dicangkeram lehernya oleh Sean.
"Apa yang kamu katakan tadi? Coba ulangi sekali lagi," ujar Sean dingin.
"I-itu, Dokter bilang kalau Nyonya Anjani sedang hamil 5 minggu dan kandungannya beruntung baik-baik saja."
"Istri saya hamil?" ulang Sean.
Johan menganggukkan kepalanya dengan takut. Segera cengkraman di lehernya langsung dilepaskan oleh Sean.
Pria itu mundur dua langkah ke belakang menatap Johan. "Kamu yakin kalau kamu tidak berbohong?"
"Tuan bisa tanya dengan dokter. Dokter yang bilang seperti itu tadi."
"Benar itu, Effendi?" Tatapan Sean kemudian beralih menatap pada Effendi.
"Iya, Tuan. Dokter tadi bilang seperti itu pada kami."
Sean menganggukkan kepalanya. Pria itu kemudian membuka pintu kamar rawat istrinya.
"Kalau begitu kamu bisa ambil bonus kamu dan minta pada Nathan, Johan," ujar Sean sebelum masuk ke dalam ruangan.
Johan segera mendongakkan kepalanya menatap pada punggung atasannya yang sudah menghilang di balik pintu.
"Aku benar-benar dapat bonus dari bos?" Dia bergumam tidak percaya. "Ah, syukurlah kalau begitu." Johan tampak lega mendengar apa yang diucapkan oleh atasannya.
Sementara di sebelahnya, Effendi mencibir tanpa suara dengan rasa iri karena temannya mendapatkan bonus sementara dirinya tidak. Menyesal pula ia kenapa harus mendorong Johan ke depan, bukan dirinya sendiri yang maju.
Sementara Sean yang sudah melangkah masuk ke dalam ruangan sedikit memelankan langkahnya ketika melihat sosok istrinya yang terbaring di atas tempat tidur dengan mata terpejam. Memar di mana-mana terutama yang menonjol adalah perban yang melingkar di kepala istrinya.
Langkah kaki Sean agak berat hingga akhirnya ia tiba di sebelah ranjang tempat di mana istrinya terbaring.
Tentunya dengan tangan gemetar, Sean menyentuh kepala istrinya. Kemudian, beralih menyentuh pipi lembut Anjani yang sudah memerah.
"Maaf, Sayang. Aku datang terlambat. Harusnya aku yang memberikan kamu kejutan, bukan justru kamu yang memberiku kejutan dengan keadaan kamu yang seperti ini." Ditatapnya lekat wajah Anjani yang masih terlelap. "Orang-orang itu bahkan dengan kejam memukul kamu di beberapa tempat. Kamu pasti kesakitan dan tidak bisa melawan. Sayang, kamu tenang ya. Suami kamu ini pasti akan membalas apa yang mereka lakukan ke kamu. Harga yang harus mereka terima tentu saja akan sangat mahal. Bagaimana menurut kamu?"
Jari telunjuk Sean kemudian mengarah pada bibir Anjani yang robek di bagian ujung.
Pria itu tidak bisa membayangkan hal kejam yang dilakukan oleh para gadis itu pada istrinya hingga bisa membuat sang istri memiliki luka lebam dan memar di mana-mana.
Seharusnya di universitas, tempat calon orang-orang sukses dan juga harapan bagi keluarga serta negara adalah tempat teraman dan juga nyaman. Namun, sayangnya hal ini tidak berlaku pada istrinya yang justru mendapatkan banyak hal-hal yang seharusnya tidak diterima di tempatnya menimba ilmu.
"Aku berjanji padamu kalau aku akan membalas apa yang mereka lakukan padamu dengan cara yang lebih kejam lagi. Aku adalah suamimu Dan kamu adalah istriku. Siapa yang berani melukai milik Sean Dwirg dia adalah orang mati di mataku."
Sean bergerak sedikit mengecup kening Anjani dengan hati-hati karena takut menyakiti istrinya.
Telapak tangan Sean kemudian menyentuh perut istrinya juga. "Anak papa ada di dalam sana. Kamu harus jaga diri baik-baik dan jangan manja pada mamamu. Jangan mempersulit mamamu selama kamu berada di dalam perut mamamu. Kalau tidak--" Sean mendekatkan wajahnya ke perut Anjani. "Aku akan membuatmu tersiksa kalau berani menyiksa istriku dengan segala macam keluhan wanita hamil pada umumnya," ancam Sean.
Pria itu tersenyum kecil kemudian beralih menatap wajah istrinya lagi. "Anak kita sebentar lagi akan launching ke dunia. Kamu jangan terlalu perhatian sama anak kita. Cukup perhatian sama aku saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku ABG TUA
RomanceSean Dwig pria berusia 45 tahun itu dengan tidak tahu malu jatuh cinta kembali pada seorang gadis berusia 20 tahun yang lebih cocok untuk menjadi anaknya. Pria itu tanpa malu bersikap layaknya ABG yang sedang jatuh cinta dan menikmati masa puber ked...