Ibu Dewi yang merupakan ibu Anjani dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya yang mulai drop. Wanita paruh baya itu diam-diam tidak menelan obatnya lagi karena merasa sudah putus asa.
Hal ini tentu saja membuat Anjani merasa frustrasi saat tahu jika ibunya ternyata tidak pernah meminum obatnya lagi selama beberapa minggu terakhir.
"Mbak Anjani, tahu 'kan resiko jika pasien tidak meminum obat? Ini adalah penyebabnya. Tidak ada obat lagi untuk bisa membuat pasien bertahan hidup. Karena virus yang ada di tubuh ibu Dewi sudah mulai menyebar dan obat tidak lagi bisa beradaptasi dengan tubuh ibu Dewi." Dokter menjelaskan. "Kita hanya bisa menangani kondisi ibu Dewi dan memperlambat penyakit kronis lain yang diderita beliau. Seterusnya, kita serahkan pada yang maha kuasa."
Anjani terdiam duduk di kursi saat dokter pergi dari hadapannya setelah menjelaskan kondisi ibunya. Anjani tidak tahu jika ibunya ternyata selama ini diam-diam membohonginya. Ibu selalu bilang pada Anjani jika beliau sudah mengkonsumsi ARV yang diberikan setiap bulan.
Anjani mengusap kasar wajahnya. Air mata tidak berhenti mengalir di pipinya membayangkan jika sebentar lagi ia akan kehilangan sang Ibunda tercinta. Anjani tidak mau hidup seorang diri di dunia ini. Maka dari itu ia mengusahakan segala cara agar ibunya selalu rutin minum obat ARV dan konsumsi jenis obat lainnya agar penyakit ibunya tidak semakin parah.
Sebagai mantan wanita penghibur, ibu Dewi tidak hanya melayani 1 pria. Tapi, ada banyak. Itupun sudah berhenti semenjak Anjani berusia 10 tahun. Dokter kemudian memvonis ibu Dewi menderita HIV dan masih bisa diobati dengan cara minum ARV rutin setiap hari, selama sisa hidupnya. Vonis dokter datang saat usia Anjani 15 tahun. Baru tiga tahun rutin minum obat, ibu Dewi kembali divonis dokter menderita kanker paru-paru, jantung, dan juga diabetes. Hal ini yang membuat Anjani berusaha kerja keras agar ibunya bisa sehat.
"Ibu kenapa berhenti minum obat yang kita tebus, Bu? Ibu mau meninggalkan aku sendirian?" Anjani meneteskan air matanya di hadapan sang ibu yang saat ini sudah membuka matanya.
Dewi tersenyum kecil dan mengusap wajah putrinya. "Nak, ibu sudah benar-benar tidak bisa lagi bertahan hidup di dunia ini. Ibu tidak mau lagi menyusahkan kamu. Sudah cukup 5 tahun terakhir ini kamu menghabiskan waktu dengan bekerja dan belajar untuk menebus obat ibu. Ibu ingin kamu hidup tanpa beban."
"Tapi, ARV itu gratis, Bu. Aku cuma bayar BPJS ibu setiap bulan yang totalnya bahkan tidak sampai 50 ribu. Jadi, ibu masih bisa meminum obat itu supaya ibu kembali sehat."
"Nak, obat HIV memang gratis. Tapi, ibu tidak bodoh. Obat-obat lain yang kamu tebus di apotek setiap dua Minggu sekali itu mahal. Ibu tahu itu, Nak. Maka dari itu, ibu tidak mau menyusahkan kamu lagi. Hidupmu masih panjang dan kamu masih bisa bebas menikmati masa remajamu. Bukan justru bekerja keras untuk mendapatkan uang dan membeli obat untuk ibu."
"Bu, jangan bicara seperti itu. Ini adalah tanggung jawabku sebagai anak. Ibu saja mengandung, melahirkan, dan bahkan membesarkan aku, ibu tidak pernah mengeluh. Kenapa, aku harus mengeluh hanya merawat ibu dan membeli obat? Apa yang ibu lakukan untukku, tidak akan bisa aku balas dengan cara apa pun, Bu. Ibu seharusnya minum obatnya." Anjani menangis sesenggukan di pelukan sang ibu. Gadis itu meraung dan merengek penuh penyesalan karena terlalu mempercayai sang ibu yang nyatanya tidak mengkonsumsi obat ARV khusus untuknya.
Andai saja Anjani tahu jika ibunya tidak mengkonsumsi obat ARV, Anjani tidak masalah jika harus menjadi alarm untuk ibunya sendiri. Penyesalan memang selalu datang diakhir.
"Ibu tidak pernah menyesal melakukan ini, Nak. Ibu justru merasa senang karena bisa mengangkat bebanmu." Ibu Dewi mengusap rambut anaknya. "Oh, iya, Nak, bawa laki-laki yang sering datang ke rumah kita malam-malam. Ibu mau bertemu dengan dia."
Ucapan ibu Dewi tentu saja mengejutkan Anjani. Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap ibunya dengan air mata berlinang.
"I-ibu tahu?" Gadis itu terlihat takut jika ibunya akan marah jika mengetahui anak gadisnya sering membawa laki-laki ke dalam rumah mereka.
Ibu Dewi tidak marah. Wanita itu tersenyum dan mengusap air mata putrinya.
"Ibu kadang dengar suara laki-laki di dalam kamar kamu. Jadi, ibu tahu. Setidaknya ibu senang, kamu sudah ada yang menjaga di saat ibu sudah pergi."
"K-kenapa ibu tidak marah? Seharusnya ibu marah karena aku membawa laki-laki lain ke rumah kita."
Ibu Dewi menggelengkan kepalanya pelan. "Ibu tidak marah karena dulu ibu juga melakukan hal yang sama seperti kamu saat masih gadis. Ibu tidak bisa menghakimi kamu, karena masa remaja seperti kamu masih menggebu-gebu dan belum punya pikiran yang jernih."
Anjani diam mendengar ucapan ibunya.
"Hanya saja, ibu minta padamu, kalau laki-laki itu ataupun keluarganya menolak kehadiran kamu, kamu pergi, ya, Nak. Ibu tidak ingin kamu bernasib sama seperti ibu yang tidak diinginkan dari pihak keluarga laki-laki." Ibu Dewi menatap langit kamar sambil tersenyum sendu mengingat masa lalunya.
"Apa laki-laki itu adalah ayahku?" tebak Anjani menatap ibunya.
Wanita paruh baya itu menatap Anjani dan menganggukkan kepala.
"Waktu masih gadis, ibu melakukan kesalahan dengan membawa laki-laki ke rumah. Lalu, ada tetangga yang memergoki kami di rumah sehingga kami harus dinikahkan. Seterusnya, ibu hamil kamu. Tapi, keluarga bapakmu tidak menginginkan kita sampai akhirnya mereka berhasil mengusir kita pergi dari kehidupan bapakmu." Ibu Dewi tersenyum sendiri mengingat bayangan masa lalu. "Ibu yang tidak punya keahlian apa-apa, dan takut tidak bisa membiayai kehidupan kamu yang masih bayi, terpaksa melakukan pekerjaan kotor untuk menghidupi kamu."
"Ibu baru berhenti, saat kamu berusia 10 tahun. Ibu pikir, kamu akan beranjak remaja dan akan semakin banyak teman. Ibu takut jika akan ada orang yang tahu pekerjaan kotor ibu dan membuat kamu malu. Itu yang membuat ibu berpikir untuk berhenti. Mungkin penyakit ini adalah karma dari Tuhan karena ibu dengan sadar tidur dengan laki-laki beristri."
"Ibu adalah wanita hina dan kotor. Ibu tidak ingin kamu terjerumus ke dalam pekerjaan kotor seperti ibu. Ini salah ibu juga yang tidak mengajarkan kamu cara menjaga kehormatan wanita. Maafkan ibu, Nak. Ibu memang benar-benar tidak berguna."
Ibu Dewi menangis sesenggukan akan kebodohannya di masa lalu yang tidak hanya merugikan dirinya tapi juga putrinya.
Anjani langsung memeluk ibunya. "Ibu adalah ibu terbaik yang pernah aku miliki. Tolong jangan bicara seperti itu. Aku sayang ibu dan akan selalu ada untuk ibu. Aku tidak akan mengikuti jejak ibu untuk melakukan pekerjaan kotor. Aku janji. Tapi, ibu harus sehat-sehat terus."
"Iya, Nak. Kamu adalah anak baik. Ibu selalu mendoakan kamu supaya mendapat jodoh yang baik juga."
Kedua ibu dan anak itu saling berpelukan tanpa menyadari jika saat ini ada sepasang mata yang sejak tadi mendengar dan menonton apa yang dilakukan ibu dan anak di dalam kamar rawat tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku ABG TUA
RomanceSean Dwig pria berusia 45 tahun itu dengan tidak tahu malu jatuh cinta kembali pada seorang gadis berusia 20 tahun yang lebih cocok untuk menjadi anaknya. Pria itu tanpa malu bersikap layaknya ABG yang sedang jatuh cinta dan menikmati masa puber ked...