Anjani melangkah masuk ke dalam universitas tempatnya menuntut ilmu.
Perempuan cantik berusia 20 tahun itu sudah beberapa hari ini izin tidak masuk ke kampus karena masih dalam masa berduka.
Tidak ada teman wanita yang akrab dengannya karena memang Anjani suka menyendiri. Paling-paling hanya berada di dalam kelas ia memiliki teman, itupun hanya membahas soal pelajaran yang tidak dimengerti. Selebihnya, Anjani tidak pernah bisa memaksakan diri untuk bersikap akrab dengan orang lain.
Langkah kaki perempuan itu terhenti ketika tiba-tiba sosok pemuda dengan wajah yang lumayan tampan berdiri menghadang jalannya.
Anjani mendongak hanya untuk melihat keberadaan Haris, pemuda yang berusaha untuk mendekati Anjani namun tidak pernah diberi respon positif oleh perempuan itu.
"Kak Haris? Ada apa?" Anjani bertanya karena ia bingung mengapa Haris harus menghadang langkahnya yang akan pergi mencari kelasnya.
"Kakak dengar kalau ibu kamu meninggal, ya? Kakak turut berduka cita atas meninggalnya ibu kamu, Anjani."
Mendengar apa yang diucapkan oleh Haris tentu saja Anjani tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, Kak. Tapi, terima kasih atas ungkapan bela sungkawanya."
"Iya."
Keduanya kemudian melangkah secara beriringan. "Kemarin kakak mau ke rumah kamu tapi kakak lupa tidak tahu alamat rumah kamu. Teman-teman di kelas kamu juga tidak tahu alamat rumah kamu. Nomor telepon kamu pun juga tidak ada."
"Iya, Kak. Sebelumnya aku memang tinggal di area perkampungan yang agak kumuh." Anjani berkata dengan jujur.
"Oh, tidak masalah kalau kamu harus tinggal di area perkampungan yang agak kumuh sekalipun, aku pasti akan datang mencari kamu kalau aku tahu alamat tempat di mana kamu tinggal."
"Tidak perlu kalau begitu, Kak. Terima kasih."
Anjani tidak mau memberikan harapan semu pada pemuda yang berusaha untuk mendekatinya ini. Lagi pula dia sudah memiliki suami dan tidak akan pernah berpikir untuk menduakan suami yang begitu baik padanya.
"Kak, aku harus pergi duluan. Kalau begitu aku permisi dulu." Anjani pamit kemudian langsung bergegas pergi meninggalkan Haris yang masih ingin berbicara dengan gadis itu.
Setelah melihat punggung Anjani pergi menghilang, Haris menggelengkan kepalanya. Padahal tadi ia berniat untuk lama-lama mengobrol dengan Anjani, tapi gadis itu sudah lebih dulu pergi meninggalkan dirinya.
"Benar-benar sulit untuk didekati," ucap Haris, pada dirinya sendiri.
Pemuda itu kemudian berbelok ke sisi kanan untuk mencari kelasnya yang berada di sana.
Sementara Anjani sendiri setelah tiba di kelasnya, teman-temannya datang satu persatu untuk mengucapkan bela sungkawa atas kepergian ibunya yang sudah mendahului mereka semua.
Anjani menyambut mereka dengan senyum tipis. Setidaknya mereka peduli dengan dirinya yang baru saja ditinggal pergi ibunya.
Anjani menjalani aktivitas kuliahnya seperti biasa sampai akhirnya ia mendapat telepon dari Sean yang mengatakan jika pria itu sudah menunggunya di ruang rektor.
Anjani meminta Sean menunggu sekitar 1 jam lagi karena masih ada satu lagi mata pelajaran yang belum dimulai.
"Oke kalau begitu Mas tunggu kamu di kantor," ucap Sean pada istrinya.
Telepon kemudian ditutup dan Sean menyimpan ponselnya di dalam saku celananya sambil menatap pada Adam yang tengah menatap ke arahnya.
"Ada apa? Jangan bilang kalau kamu itu merindukan aku karena sudah beberapa hari ini aku tidak ke kantor kamu." Sean menatap Adam dengan sebelah alis terangkat.
"Ada-ada saja." Adam mendengus sambil menggelengkan kepalanya.
Pria itu benar-benar tidak mengerti dengan sikap Sean yang terlalu penuh percaya diri menurutnya.
"Ngomong-ngomong kapan kita akan nge-date bareng? Apa namanya?"
"Double date?"
"Nah, itu. Kapan kita akan mengadakan double date bareng?" Sean mengangkat sebelah alisnya menatap Adam.
Tiba-tiba saja ia ingin sekali untuk mengadakan double date bersama Adam yang akan pasti membawa istrinya. Begitu juga dengan dirinya yang akan membawa sang istri tercinta untuk diperkenalkan pada khalayak umum.
"Kita sudah terlalu tua untuk memikirkan hal-hal yang dilakukan para remaja, Mas."
"Siapa bilang kita sudah terlalu tua? Aku tentu saja masih muda. Kamu tidak melihat wajah tampanku ini?" Sean menunjukkan wajahnya dan juga tubuh kekarnya sambil berdiri pada Adam yang masih duduk di kursinya.
"Dalam usia, kita memang sudah tua." Adam berkata sambil menatap Sean.
"Aku tidak peduli dengan apapun yang kamu katakan. Aku hanya ingin kamu ikut acara double date dengan aku dan istriku. Kapan coba kita bisa seperti ini lagi? Kalau aku sudah punya bayi dari istriku, aku akan kesulitan untuk keluar rumah."
"Siapa yang bilang kalau kita punya anak menghalangi kita untuk keluar rumah?"
"Bukan begitu maksudku." Sean mengangkat bahunya kemudian mulai menjelaskan. "Kalau aku sudah punya anak nanti pasti aku akan dibuat kerepotan untuk membantu istriku merawat anak kami. Jadi, aku akan tetap menjadi bapak rumah tangga menemani istriku."
"Lalu yang mencari nafkah untuk kalian?" Adam bertanya dengan santai sambil menatap sahabatnya itu.
"Kamu kira aku semiskin itu? Adam, jangan lupa kalau aku ini adalah pemilik perusahaan. Tanpa bekerja aku akan mendapatkan hasil dari jerih payahku selama muda dulu." Sean menjawab dengan angkuh. "Lagipu perusahaanku mengalami failed, ada anak-anakku yang masih bisa menyokongku. Intinya aku tidak akan kesulitan."
Lagi pula perusahaannya masih banyak dan memiliki cabang. Tidak sulit baginya untuk hidup hedon tanpa harus bekerja. Toh, sebagai pemiliknya tentu saja ia hanya akan memerintahkan anak buahnya dan menerima transferan setiap bulan. Sean juga sedang bermain saham di beberapa perusahaan yang membuatnya memiliki hasil setiap bulan dan akan masuk ke dalam rekening istrinya.
"Yayaya. Ngomong-ngomong kapan Mas mau mengadakan date yang Mas maksud?"
"Bagaimana dengan minggu ini? Kita nonton lebih dulu, kemudian cari tempat makan yang asik, lalu keliling-keliling tempat nongkrong anak muda."
Jiwa muda Sean masih bersemayam dalam diri pria itu. Tidak ada kerutan di wajahnya yang membuat orang tidak akan menyangka jika usianya sudah di atas 40 tahun.
"Kalau begitu Mas atur saja biar aku ikut apa kata Mas."
Adam hanya bisa mengikuti apa yang diinginkan oleh sahabatnya itu. Lagi pula jenis manusia seperti Sean akan memiliki berbagai macam cara agar keinginannya terpenuhi.
Sean menjentikkan jemarinya. Pria itu tersenyum senang karena sahabatnya setuju untuk mengadakan double date.
Satu jam kemudian Anjani keluar dari ruangnya dan langsung pulang bersama Sean yang sudah menunggunya.
Masuk ke dalam mobil, Sean lebih dulu menyerbu bibir Anjani karena selama beberapa jam berpisah membuatnya merindukanmu perempuan kecilnya itu.
Tautan bibir mereka terlepas dengan kedua tangan Sean menyentuh kedua pipi Anjani. "I love you so much, Babe. Aku benar-benar mencintai kamu."
Semburat merah langsung menyerbu pipi Anjani mendengar ungkapan penuh cinta yang dilontarkan oleh suaminya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku ABG TUA
RomanceSean Dwig pria berusia 45 tahun itu dengan tidak tahu malu jatuh cinta kembali pada seorang gadis berusia 20 tahun yang lebih cocok untuk menjadi anaknya. Pria itu tanpa malu bersikap layaknya ABG yang sedang jatuh cinta dan menikmati masa puber ked...