Anjani masih terlelap ketika ia mendengar suara dering ponsel di atas nakas.
Perempuan dengan wajah yang cantik itu menggeliat dan menarik tangan suaminya dari perutnya.
Menoleh ke samping, Sean juga membuka matanya. "Itu suara telepon kamu, Sayang. Nanti mas yang akan angkat."
Sean yang tak tega melihat istrinya bangun, kemudian bergerak mengulurkan tangannya mengambil ponsel milik Anjani yang terletak di atas nakas, samping tempat tidur istrinya itu.
Mereka sama-sama tidak mengenakan sehelai pakaian pun, sehingga ketika Sean bergerak, dadanya menempel di dada sang istri.
Sean menunduk menatap wajah cantik istrinya dan memberikan kecupan sebelum menarik ponsel dari atas nakas.
"Dari rumah sakit," kata Sean, saat melihat id card.
Ekspresi wajah Anjani langsung tegang. Entah mengapa ia merasakan firasat buruk yang datang begitu tiba-tiba semakin kuat semenjak beberapa hari lalu.
Segera perempuan itu mendudukkan dirinya sambil tidak lupa menarik selimut menutupi bagian atas dadanya.
"Sini, Mas." Tangan Anjani bergerak menarik ponsel dari tangan suaminya kemudian langsung menggeser panggilan masuk tersebut.
"Halo selamat malam, Mbak Anjani. Mohon maaf karena mengganggu malam tidur mbak. Kami dari pihak rumah sakit cuma mau menginformasikan kalau ibu Dewi sudah berpulang tepat pada pukul 01 lewat 13 menit."
Ponsel di tangan Anjani langsung terjatuh di atas selimut mendengar kabar duka dari rumah sakit tentang kondisi ibunya.
Melihat reaksi istrinya, Sean sudah menduga jika sesuatu pasti terjadi pada ibu mertuanya itu.
Sean mengambil ponsel dan berbicara dengan pihak rumah sakit sebentar sebelum akhirnya sambungan telepon dimatikan.
Pria itu meletakkan ponsel begitu saja di atas selimut kemudian bergerak untuk memeluk istrinya.
"Ibu sudah tenang di sana. Ibu juga sudah tidak sakit lagi. Jangan ditahan kalau kamu mau menangis." Pria itu mengusap kepala istrinya dan meletakkan kepala Anjani di atas dadanya, sambil mendekap erat istrinya yang tidak bergerak dan hanya menatap lurus pada dinding di hadapan mereka.
"Ibu sudah pergi, Mas. Pergi ke dunia yang tidak pernah bisa aku gapai, kalau aku belum mati."
"Ssst, jangan bicara seperti itu. Bagaimanapun, kamu harus ikhlas, sama seperti ibu ikhlas menerima penyakitnya selama ini." Sean berbicara dengan lembut. "Kita berangkat sekarang ke rumah sakit, ya? Aku ambil pakaian untuk kita dulu."
Sean bergerak turun dari tempat tidur merapikan pakaian mereka yang dibuka sebelum melakukan aksi panas. Pria itu kemudian memasukkan pakaian kotor ke dalam keranjang dan mengambil pakaian baru lagi di dalam lemari.
Anjani sendiri tidak bergerak bahkan ketika suaminya dengan hati-hati memakaikan pakaian untuknya, pikiran perempuan itu tetap kosong. Tidak ada air mata, yang membuat Sean semakin cemas dengan kondisi psikis istrinya.
Sampai akhirnya mereka tiba di rumah sakit, Anjani dengan erat dirangkul pinggangnya oleh Sean menuju ruangan tempat di mana Bu Dewi berada.
Jenazah belum dipindahkan ke ruang jenazah sehingga mereka masih bisa ke ruangan Bu Dewi sebelumnya.
Saat membuka pintu, terlihat beberapa suster dan dokter berdiri diam di samping tempat tidur Bu Dewi. Ada pula Bu Asni dan juga Bu Sari yang kini mata mereka sudah sembab menangisi kepergian tetangga mereka.
Keduanya tentu saja tahu penyakit yang diderita oleh Bu Dewi dan mereka tidak merasa jijik sama sekali. Lagi pula setiap manusia memiliki dosanya masing-masing. Diri mereka juga bukan orang suci yang bisa menjudge hanya karena orang tersebut memiliki penyakit menular dan berbahaya akibat perbuatan masa lalu.
"Jani, ibu kamu sudah pergi dengan tenang. Lihat, wajahnya tersenyum dengan anggun, seolah-olah ibu kamu tidak meninggal." Bu Sari berujar sambil mengarahkan tatapannya pada Anjani dan berpindah pada Bu Dewi yang kini terbaring tanpa nyawa di atas ranjang pesakitan.
Anjani mengikuti arah pandang Bu Sari kemudian menatap wajah ibunya yang tampak bersinar dengan senyum menghiasi wajahnya.
Anjani tahu jika ibunya adalah wanita cantik semasa muda. Bukan hanya Anjani yang pernah melihat foto muda ibunya, tapi banyak tetangga yang mengatakan jika ibunya saat muda memang sangat cantik.
Meskipun tidak tahu siapa ayah kandungnya dan hidup serba kekurangan, namun Anjani tetap mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Ibunya berhenti dari pekerjaan kotor setelah Anjani beranjak dewasa dan takut jika putrinya mengikuti jejaknya.
Anjani melangkah mendekati ranjang rumah sakit kemudian berdiri dengan tenang di sebelah ibunya.
Tidak ada setetes air mata pun yang jatuh membasahi pipi perempuan itu.
Tangannya bergerak mengusap dahi kemudian turun ke alis, hidung mancung ibunya, kemudian ke pipi dan juga bibir sang ibu.
Rambut tipis ibunya masih menghiasi kepala beliau.
"Ibu terlihat sangat cantik, meskipun ibu kurus. Senyum ibu juga manis, yang beruntung menurun padaku." Anjani berucap dengan suara pelan. "Sekarang ibu pasti sudah bisa berlari dan menari. Ibu juga pasti tidak akan mengalami sakit lagi. Aku tahu, ibu pasti akan terlihat muda di sana. Ibu pasti juga bahagia karena bertemu dengan orang tua ibu di sana."
Anjani menarik napas dan berusaha untuk menenangkannya. "Aku merasa bersyukur karena ibu sudah bertaubat sebelum kepergian ibu. Aku yakin, ibu pasti baik-baik saja di sana. Iya, 'kan, Bu?"
Anjani tersenyum menatap wajah ibunya. "Ibu ingat tidak, waktu itu ibu marah sekali karena aku pulang terlambat saat aku masih SMP. Ibu bahkan memukulku dan menangis setelah ibu meluapkan emosi ibu. Aku tahu kenapa ibu melakukannya." Anjani menggigit bibir bawahnya. "Ibu melakukannya karena takut aku berbuat nakal. Ibu melakukannya karena ibu takut aku kenapa-napa. Aku mendengar apa yang ibu bicarakan di kamar sendirian. Ibu takut aku akan mengikuti jejak ibu."
"Bu, tenang di sana, ya. Di sini ada Mas Sean yang pasti akan menjaga aku. Di sana ibu harus lebih bahagia, daripada di sini. Aku di sini akan selalu mendoakan ibu." Anjani kemudian menurunkan kepalanya dan mengecup dahi ibunya yang sudah berpulang lebih dulu.
Sean mendekati istrinya kemudian mengusap punggung Anjani.
Sean tidak tahu bagaimana sakitnya kehilangan orang yang dicintai, karena sejujurnya ia juga belum pernah mengalami perasaan tersebut.
"Ibu sekarang sudah tentang di sana. Kita di sini hanya bisa mendoakan semoga ibu mendapatkan tempat terbaik di surga-Nya." Sean merangkul pundak Anjani yang kini terbaring di dadanya.
Anjani tidak menjawab melainkan kepalanya saja yang mengangguk.
"Jani, tadi setelah maghrib, ibu kamu minta untuk dibuatkan video. Jadi sengaja ibu rekam video yang diminta sama ibu kamu, nanti kalau kamu sudah ada waktu kamu bisa melihatnya. Ibu akan kirim videonya ke nomor kamu." Bu Asni berkata pada Anjani.
"Iya, Bu. Terima kasih." Anjani sendiri menganggukkan kepalanya dan kini menyingkir ketika jenazah ibunya akan dibersihkan dan langsung dibawa pulang.
Tidak ada air mata yang menetes di pipi perempuan itu. Hanya saja tatapannya yang kosong dengan tubuh yang lemas, menandakan jika Anjani sangat terpukul kehilangan sosok wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku ABG TUA
RomanceSean Dwig pria berusia 45 tahun itu dengan tidak tahu malu jatuh cinta kembali pada seorang gadis berusia 20 tahun yang lebih cocok untuk menjadi anaknya. Pria itu tanpa malu bersikap layaknya ABG yang sedang jatuh cinta dan menikmati masa puber ked...