25. Kepastian

1.1K 93 5
                                    

Bismillah

Koreksi typo

Selamat membaca :)

***


"Astaghfirullah." kagetnya saat tak sengaja menyenggol vas yang terletak di atas nakas hingga jatuh ke lantai.

Tangan Zahra terulur memungut  mawar putih yang telah mengering.
Baru di sentuh sedikit saja kelopak mawar yang telah berubah warna menjadi kecoklatan itu meluruh dengan cepat. Hampir seminggu ini bunga mawar itu menghiasi vas bunga di kamarnya.

"Nih buat lo."

"Buat saya?"

"Iya, gue 'kan bilangnya buat lo terus buat siapa lagi?"

Zahra tersenyum ketika mengingatnya, "Dasar aneh." gumam Zahra.

Segala perlakuan Rama tidak pernah dapat ia prediksi, terlebih isi pikirannya. Rama yang ia kenal ialah seorang pria aneh yang sulit ditebak. Terkadang pria itu ketus dan terlihat tidak suka, kadang pula sikapnya membuat Zahra salah paham.

Intinya ... Rama adalah pria teraneh yang pernah ia temui.

Zahra geleng-geleng kepala, mengenyahkan bayang-bayang pria menyebalkan itu. Zahra meratapi bunga mawar yang tak dapat di selamatkan lagi.

"Padahal cantik tapi sayang gak bisa bertahan lama." ujar Zahra lalu membuangnya ke tempat sampah.

Zahra meraih vas bunga yang untungnya tidak pecah, ia meletakkannya kembali di atas nakas. Setelah itu ia keluar dari kamar dan tak berselang lama kembali lagi dengan kain pel di tangan. Setelah mengepel lantai, Zahra lanjut berkemas.

"Itu adek kamu kenapa, bang? Dari berapa hari ini Bunda perhatikan jadi aneh gitu."

"Abang juga nggak tahu, Bun."

"Mungkin lagi belajar jadi orang stres."

Tatapan Bunda dan Fatih langsung mengarah kepada Ayah. Bunda langsung menepuk kencang punggung Ayah.

Plak!

"MasyaAllah, Bun ... Ayah salah apa?"

"Jelas-jelas Ayah salah! Sembarangan ngatain anak sendiri stres."

Ayah tertawa, "Maaf maaf, tapi Ayah bener kok, tuh lihat sendiri si Rama beneran kayak orang stres." bela Ayah, lalu pandangan kembali tertuju ke arah Rama berada. "Ngomong kok sama tanaman." tambah Ayah lagi.

Bunda cemberut mendengarnya tapi kalau di perhatikan lagi. Apa yang suaminya katakan tidaklah salah. Putranya memang terlihat ...

Bunda menggeleng keras mengenyahkan pemikiran yang terlintas.

"Ayah kalau ngomong tuh yang bener dong. Ucapan itu doa."

"Ayah doain semoga Rama gak stres beneran."

Bunda mendekatkan diri pada Ayah dan kemudian berbisik pelan. "Tapi Yah, apa yang Ayah bilang ada benernya sih, itu abang Rama kelihatan kayak orang stres." ujar Bunda menjeda sebentar. "Iiih, Ayaaaaah ... Masa anak kita stres?!" sambung Bunda menjadi histeris.

"Hayoooo ... Ini pasti gara-gara Bunda nih yang ngebet nyuruh nikah." tambah Ayah mengeluarkan tawa kencang.

Bunda mendelik tajam ke arah suaminya. Tidak terima di salahkan.

"Enak aja salahin Bunda!? Ini satu masih waras kok."

"Abang Fatih pasti stres juga lah di suruh bawa pulang mantu tiap hari."

ZARAMA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang