20. Bukan Saingan

1.1K 93 4
                                    

Bismillah

Koreksi typo

2600 ++ Word

Selamat membaca :)

***

Malam telah tiba. Lampu butik yang biasanya sudah padam, malam ini terlihat masih menyala terang. Di dalam ruang jahit, terdapat Zahra masih berkutat dengan kain-kain dan mesin jahit. Zahra hanya seorang diri di dalam ruangan sedangkan yang lain sudah pulang lebih dulu.

Zahra menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, kedua tangannya ia rentangkan. "Huft, akhirnya selesai juga. Pegel banget." ucap Zahra dan melakukan perenggangan guna melemaskan otot-otot yang kaku.

Zahra meraih gaun yang baru saja ia selesaikan, senyuman tersungging di sudut bibirnya—senang karena dapat menyelesaikan gaun pengantin itu tepat waktu.

"Kapan ya bisa jahit gaun buat sendiri?" gumam Zahra seorang diri dan sedetik kemudian Zahra menepuk kedua pipinya keras, kepalanya menggeleng kecil. "Jangan mikir kejauhan Zahra, bawaan ngantuk jadi ngelantur ke mana-mana." sambung Zahra dan segera membereskan meja yang berantakan.

Zahra menyimpan gaun pengantin itu ke dalam lemari, setelahnya Zahra melangkah keluar dari dalam ruangan, ia mematikan lampu dan mengunci ruangan. Zahra turun ke lantai dasar, ia mengambil tas selempang yang terletak di sofa bergegas keluar dari butik setelah memastikan jika setiap pintu ruangan terkunci dan tak lupa memadamkan lampu yang masih menyala.

Zahra sedang mengunci pintu masuk butik dan setelah terkunci Zahra menggerakkan gagang pintu untuk memastikan pintu tersebut benar-benar terkunci.

"Sudah terkunci sekarang waktunya pu—, " kalimat Zahra terputus begitu ia membalikkan tubuh dan netranya menangkap seseorang yang berdiri tidak jauh darinya. "M-mas Angga?" bisik Zahra yang hanya dapat di dengar oleh dirinya sendiri.

Angga tersenyum melihat Zahra, dia pun melangkah mendekat. "Kamu baru mau pulang? Malam banget." kata Angga seraya melirik arlogi yang melingkar di pergelangan tangan.

Zahra melarikan tatapan ke sekelilingnya yang tampak sepi. Tidak ada pejalan kaki yang lewat, kendaraan pun tampak melaju kencang di jalan yang lenggang.

"Mas anterin pulang yuk." ajak Angga semakin melangkah mendekat ke arah Zahra.

"Enggak usah mas, Zahra bisa pulang sendiri. Lagi pula Zahra bawa motor—,"

"Motornya di tinggal di sini saja, kamu pulang sama mas. Ummi pasti cemas nungguin kamu belum pulang juga."

"Zahra bisa pulang sendiri mas, lebih baik mas juga pulang."

"Kita pulang bareng ya, ada yang perlu kita bicarakan. Ayo Zahra, mas parkir di seberang jalan."

Angga menarik tangan Zahra agar mengikutinya, membuat Zahra yang tidak siap terseret oleh tarikan tiba-tiba dari Angga.

Penolakan Zahra seakan tak ada artinya bagi Angga.

"Mas tolong lepas, sakit."

"Lepasin!"

Zahra menghentakkan tangannya kuat hingga terlepas dari genggaman Angga. Zahra mengusap pergelangan tangannya yang terasa nyeri.

"Zahra."

"Jangan mendekat!"

Zahra melangkah mundur saat melihat Angga melangkah maju mendekatinya.

"Harus berapa kali aku jelasin mas? Mas nggak bisa maksa aku. Oke, aku salah. Seharusnya aku gak pernah ngasih mas harapan. Maka dari itu aku minta maaf, aku benar-benar minta maaf."

ZARAMA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang