Beberapa hari terakhir, Jenna tidak menemukan sosok Saga yang sering mengganggunya. Gadis itu merasa dunianya tenang akhir-akhir ini. Tapi sepertinya tidak bertahan lama. Ditengah koridor yang sibuk dilalui beberapa siswa, Saga berdiri menatapnya dari kejauhan. Apakah pemuda itu sudah beralih profesi menjadi mata-mata Jenna?
Jenna tidak menghiraukan, gadis itu tetap melangkah menuju kelasnya. Dan saat menaiki anak tangga, ia bisa merasakan jika Saga mengikutinya. Dan sekali lagi, gadis itu tidak menghiraukannya. Ia memilih melanjutkan langkahnya.
Pulang sekolah, sesuatu hal yang normal, Saga menunggu Jenna didepan kelasnya, sedikit jauh dari pintu kelas. Pemuda itu tampak gusar, dan saat matanya menemukan sosok Jenna, Saga berlari kecil menyusul Jenna dan seperti biasanya, menghadang gadis itu, berdiri tegap didepan Jenna.
"Mmm.... Hay," sapa pemuda itu dengan suara lirih.
Saga tersenyum canggung sembari mengusap belakang lehernya. Jenna yang melihat itu tentu hanya diam memperhatikan tingkah pemuda didepannya. Dan tanpa ia duga, Saga menyodorkan map coklat yang pernah Jenna kasih pada pemuda itu. Saga ingin mengembalikannya, Jenna paham itu. Dan ia tidak suka.
"Maaf, Jenna. Tapi rasanya aku nggak pantes buat dapetin semua ini. Jadi aku kembaliin restorannya ke kamu."
Wajah Saga jelas menggambarkan raut cemas, tentu saja. Dia takut Jenna marah, walaupun ia sudah siap dengan segala amarah Jenna. Saga kembali mengusap leher belakangnya. Map coklat yang ia sodorkan belum juga diterima oleh Jenna.
"Aku tau niat kamu baik. Aku sangat menghargai itu. Tapi aku takut nggak bisa bales semua kebaikan kamu, Jenna. Aku nggak punya apa-apa. Yang aku punya buat kamu cuma cinta. Dan aku rasa kamu nggak suka sama cinta yang aku kasih."
"Aku... Aku nggak kaya Kak Ega yang sempurna."
Saga menunduk setelah mengucapkan itu. Matanya menatap ujung sepatunya. Tubuhnya lemas, seakan-akan ada sesuatu yang menyedot energinya. Jenna hanya menatap datar. Ia tidak peduli dengan ucapan Saga. Gadis itu memilih berlalu meninggalkan pemuda itu.
Saga mendongak, ia berbalik dan menangkap sosok Jenna yang berjalan menjauh. Saga berlari mengejar Jenna, sampai dianak tangga yang sepi, Saga meraih tangan Jenna membuat gadis itu berbalik.
"JENNA!!"
"Apa!"
Saga tersentak, wajahnya menggambarkan jika pemuda itu terkejut. Jenna berbicara dengan nada tinggi? Seorang Jenna? Ia baru pertama kali mendengarnya dan itu mampu membuat Saga mematung untuk beberapa saat. Saga bisa merasakan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Pandangan mereka bertemu, mata keduanya saling beradu, menatap mata lawan bicaranya.
"Aku..."
Lidah Saga kaku, pemuda itu bingung akan mengatakan apa. Jadi, alih-alih berbicara, Saga justru menyodorkan map coklat ditangannya pada Jenna.
Mata Jenna beralih menatap map coklat dihadapannya, kemudian menatap mata Saga lagi. Dengan gerakan cepat tangan Jenna menarik map tersebut dari tangan Saga. Pemuda itu sedikit lega ketika Jenna mau menerimanya. Tapi ternyata perkiraannya salah. Didepan Saga, Jenna merobek map tersebut menjadi dua dan melemparnya, membuat kertas coklat beserta sertifikat didalamnya itu melayang dan terjatuh kelantai satu.
Saga menghirup napas dalam dengan cepat dengan mata membola dan mulut yang sedikit terbuka. Pandangan matanya turun kebawah, menatap kertas penting itu yang berhamburan dilantai satu. Jenna tidak menghiraukannya. Gadis itu berbalik dan berjalan menuruni sisa anak tangga. Pergi meninggalkan Saga yang terduduk lemas dianak tangga dengan wajah sendu.
Saga akhirnya berdiri, melangkah turun. Pemuda itu berjongkok, memunguti satu per satu sobekan tadi. Beberapa tampak kotor karena tidak sengaja diinjak sepatu siswa yang lewat. Saga memasukan semua sobekan itu kedalam tas. Saga hampir menangis, ini adalah sertifikat penting, dan Jenna merobeknya seakan-akan itu hanya sebuah kertas buku tulis. Ini memang tidak tampak berharga dimata gadis es itu, tadi dimata Saga, ini begitu berharga.
KAMU SEDANG MEMBACA
JENNA ✓
Fiksi Remaja[Completed] Jenna, terlihat layaknya gadis pada umumnya. Tapi tidak, bagi yang paham cerita hidupnya. Dingin. Tidak tersentuh. Wajah cantiknya tidak pernah tampak dengan ekspresi. Tatapannya kelam, membuat Saga sering tenggelam kedalamnya. Kenyat...