45.Berhenti berharap?

136 11 3
                                    


......

Suara rintik hujan di malam yang sunyi  adalah paket lengkap menuju alam mimpi. Saga suka suasana malam seperti ini, biasa bergelung dengan selimut, memeluk bantal guling menyamankan posisi tidur, memejamkan mata. Sejenak, Saga pasti sudah nyenyak.

Malam ini, Saga justru terjaga. Tidur terlentang berbantal kedua telapak tangannya sendiri. Menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan luas. Saga memiliki banyak pertanyaan, pemuda itu memiliki perasaan yang sedari siang terus mengganjal.

Jenna dan kehidupan gadis itu.

Jika dipikir-pikir lagi, hal yang terjadi akhir-akhir ini mengenai Jenna hampir tidak pernah dibayangkan oleh Saga. Semisterius apapun kehidupan seseorang, Saga tidak pernah berfikir jika itu ada hubungannya dengan sebuah kelompok mafia. Ini aneh untuknya yang orang biasa. Hanya anak panti asuhan yang sekolah pun bukan termasuk siswa pandai, ya, mungkin itu alasan Saga tidak pernah berpikir sampai situ. Saga kurang pandai. Saga selalu mengakui itu.

"Mafia. Ilegal. Kriminal...."

"Dan Jenna?" Gumam Saga dengan dahi yang berkerut.

Saga menghela napas panjang, pusing memikirkannya. Terlalu banyak yang ingin Saga tanyakan tentang kehidupan gadis itu. Tapi Saga harus tetap sadar diri, Saga takut pertanyaan-pertanyaanya bisa menyinggung perasaan Jenna. Gadis itu, walaupun hanya diam saja jika sedang meladeni Saga, bukan berarti Jenna tidak merasakan apapun di hatinya.

"Jenna bisa pake pistol nggak, ya? Atau... kebut-kebutan dijalan misal? Atau... Arrghh! Jenna nggak boleh sama Xero!" Saga mengacak-acak rambutnya kemudian membalik badan hingga posisi tubuhnya menjadi tidur tengkurap. Kemudian menggeram sembari menempelkan wajahnya pada bantal. Meredam suara teriakannya.

Seseorang menepuk punggungnya cukup keras membuat Saga reflek berbalik dan duduk. Membuat selimut melilit tubuhnya. Saga sudah seperti putri duyung.

"Dio?"

Dio berdiri dihadapannya, masih mengucek mata kemudian mengenakan kacamata. Dio sepertinya baru saja bangun tidur. Rambut pemuda itu bahkan masih kusut dan berantakan.

"Kak Saga kenapa?" Tanyanya kemudian menguap lebar.

"Eh, nggak kenapa-napa."

"Terus tadi ngapain jempalitan diatas kasur?"

"Enggak! Itu... mimpi buruk, mimpi diserang Megalodon," jawab Saga asal sembari menyengir lebar. Dio mengangkat bahu, tidak percaya sebenarnya tapi biarlah.

"Baru tau kalo orang bisa mimpi sambil melek," ucap Dio kemudian berbalik, membuka lemari menyiapkan baju dan menyampirkan handuk dibahunya.

"Bentar lagi subuh. Mandi, Kak! Jangan mikirin Kak Jenna terus. Nggak pasti," ucap Dio kemudian keluar dari kamar, berniat mandi sebelum shalat subuh.

Saga termenung, yang dikatakan adiknya benar juga. Tidak seharusnya Saga terus memikirkan Jenna. Tidak baik dan tidak sehat. Dan sekali lagi, adiknya memang benar. Jenna bukan sesuatu yang pasti. Mereka belum tentu bersama dimasa depan.

"Udah subuh, ya?" Gumam Saga, ia merasa baru sebentar melamun. Waktu cepat sekali berlalu.

Saga bangkit dari ranjang, menyingkirkan selimut yang melilit tubuhnya. Seakan-akan selimut itu enggan untuk Saga tinggal.

Pagi hari, anak-anak panti sudah siap untuk sarapan sebelum berangkat sekolah. Beberapa sudah lengkap dengan seragamnya, beberapa masih setengah matang. Seperti Rio misalnya, bocah itu sudah mengenakan seragam merah putihnya, namun belum dengan sabuk, dasi atau kaos kaki. Rambutnya bahkan belum disisir, masih berantakan. Biasanya, selesai menyiapkan sarapan, Bunda yang akan mengurusnya.

JENNA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang