53.Perpisahan

452 22 19
                                        


..............

Ingatlah bahwa ini bukan akhir kisah kita.

..............

"Papa tidak terkejut saat wali kelas mengatakan jika kamu siswi yang amat berprestasi, Sweetheart. Papa bangga padamu." Noah merangkul putrinya dan mengusap-usap pundak Jenna dengan lembut.

Jenna hanya mengangguk pelan, matanya fokus ke koridor didepan kelas sebelas sosial tiga. Mencari sosok yang mungkin saja datang hari ini. Tapi jika tidak, ia akan mampir ke panti asuhan untuk menemuinya.

"Mencari apa, Sayang?" Tanya Noah mengikuti arah pandangan Jenna.

"Tidak ada," jawabnya singkat.

"Kondisi tubuh Saga mungkin masih lemah sampai ia tidak bisa berangkat ke sekolah," ucap Noah seakan-akan pria itu memang tau segalanya soal tingkah diam Jenna.

Sementara di sisi lain Diana tengah diam saja sembari menekuk wajah dan sesekali mendengus kasar. Seorang pria bertubuh tinggi proporsional terlihat tengah berbicara dengan wajah kesal tepat dihadapan Diana.

"Yang penting nanti Bang Iyan jangan jujur sama Bang Raka! Bilang aja kalo aku itu nggak ada masalah di sekolah," ucap Diana dengan wajah memerah karena kesal dimarahi oleh Ziyan di tempat umum. Beberapa siswa diam-diam melirik ke arah mereka bagai tetangga menyaksikan pertengkaran rumah tangga.

"Mana bisa! Abang nggak bisa bohong kalo didepan Bang Raka!"

"Di bisain dong, Bang!"

"Ini salah kamu, kenapa harus Abang yang tanggung?!"

"Bang Iyan kan abangnya Diana," ucap Diana enteng. Ziyan hanya mendengus sembari mengusap wajahnya. Pemuda 21 tahun itu tampak frustasi.

Diana, lagi-lagi bocah berandalan itu membuat banyak pelanggaran di sekolah. Membolos, berkelahi, jarang mengerjakan tugas sekolah, sering tidur dikelas dan penampilan yang tidak mau rapi. Hukuman yang sering gadis itu terima sepertinya tidak membuat dirinya kapok. Justru semakin menjadi.

Dan hal inilah yang akan ditanyakan oleh Raka, Kakak tertua mereka. Berperan menjadi ayah sekaligus ibu untuk adik-adiknya, Raka seketika menjadi pribadi yang lebih tegas dan otoriter. Pendidikan adik-adiknya adalah yang nomer satu bagi pria lajang berusia 27 tahun itu.

Dan Diana, yang sekarang menjabat sebagai adik bungsu setelah Karina—adiknya yang meninggal bersama orang tua mereka—tampaknya sering bermain-main dengan sikap ketiga kakaknya. Bocah itu yang paling susah diatur bahkan saat orang tua mereka masih ada.

Diana menghela napas panjang, "Aku mau nginep di panti asuhan aja lah."

Ziyan mendelik dengan alis yang menukik tajam, "Nggak boleh! Kamu selalu ngumpet disana kalo ada masalah kaya gini. Abang bakal bilang ke Bunda supaya kamu jangan diterima lagi disana karena kamu lari dari tanggungjawab."

Diana mendengus kasar dengan satu kaki yang di hentakkan. Wajah gadis itu memerah saking emosinya. Tapi ia tidak mungkin meninju kakaknya atau dirinya akan ditinju balik.

"Kamu atlit taekwondo, Diana! Jadi seorang atlit itu harus punya jiwa tanggung jawab! Tegas! Ini salah kamu dan kamu harus mengakui itu! Ini konsekuensi karena kamu sudah melanggar aturan! Jangan jadi pengecut!!" Bentakan dari Ziyan membuat Diana ciut seketika. Wajah yang biasa santai itu kini tampak merah karena jengkel. Garis otot di dahi pemuda itu bahkan sedikit timbul saat membentaknya tadi.

JENNA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang