"Hah! Akhirnya selesai juga!" Diana merebahkan tubuhnya diatas karpet lembut dikamar Jenna yang sedari tadi ia duduki.Setelah sekitar dua jam lebih akhirnya Diana bisa menyelesaikan 50 soal matematika. Ini adalah rekor tercepatnya mengerjakan soal matematika. Karena biasanya sehari saja sepertinya ia tidak akan mampu menyelesaikan tiga soal. Dan tentu karena ada bantuan dari Jenna. Gadis es itu amat pendiam, namun jika sedang mengajarinya, Jenna menjadi sosok yang amat membimbing. Apalagi cara Jenna mengajarinya matematika, cukup mudah Diana pahami. Jika ada kesalahan, Jenna akan dengan cepat mengoreksinya. Tidak salah Diana meminta bantuan pada Jenna. Dan harus Diana akui, Jenna mengerjakan 12 soal yang sangat-sangat sulit bagi Diana, itupun setelah Diana terus mengeluh dan terkapar tidak berdaya.
"Gue boleh pingsan dulu, nggak? Kepala gue berasa mau copot, berat banget!" Keluh Diana. Jenna yang mendengar itu tidak menjawab. Memilih untuk memberesi beberapa buku yang tadi mereka pakai.
Diana terpejam sejenak namun kembali membuka mata dan bangkit, duduk bersila. Matanya menatap keluar tembok kaca. Pemandangan hutan lebat diluar sana benar-benar menakjubkan baginya.
"Jenna," panggil Diana. Membuat Jenna menghentikan kegiatan merapikan buku dan menoleh kearah Diana.
"Rumah lo gede banget, kaya istana. Kamar lo aja gue yakin yang paling cakep dibandingin kamar murid satu sekolahan. Punya papa super ganteng, anak tunggal kaya raya, cantik, baik, pinter dan ada Saga yang tulus suka sama lo. Pertanyaan gue, lo pernah ngeluh sama kehidupan lo, nggak?"
Diana menatap wajah Jenna yang datar, tidak bisa menebak apa yang kira-kira Jenna pikirkan.
"Aku tidak tau," jawab Jenna singkat dan melanjutkan menaruh buku terakhir kemudian duduk dipinggir ranjang dengan mata yang menatap keluar tembok kaca.
"Ternyata julukan 'Jenna si gadis misterius' bener-bener terbukti ya. Gue yakin yang tau alamat rumah lo bisa dihitung pake jari. Gue udah ngira sih kalo lo anak orang kaya tapi nggak nyangka sampai sekaya ini. Tapi... sorry ya, Jen. Rumah mewah lo ini agak keliatan serem buat gue. Disini sepi banget kaya nggak ada kehidupan. Ya mungkin karena rumah lo ini luas banget kali ya. Banyak sih pelayannya, cuma kaya kaku aja gitu. Terus kenapa harus ada bodyguard dirumah lo, Jen? Banyak lagi, kayaknya maling pun nggak bakal sampe kesini deh."
"Antisipasi. Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi besok," jawab Jenna dengan intonasi dan wajah datarnya. Diana hanya mengangguk. Walaupun ia masih memiliki pertanyaan diotaknya.
"Gaji bodyguard dirumah lo berapa, Jen? Terus syaratnya apa aja? Gue mau daftar dong. Gue bisa taekwondo, loh!"
Diana tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi.
Jenna menggeleng pelan, "Aku tidak tau. Papa yang merekrut mereka."
Diana mengangguk pelan, "Ibu lo dimana, Jen?"
"Meninggal."
Diana terdiam sejenak, "Sama dong! Ibu gue juga udah meninggal. Emm... Ayah gue juga sih, hehe. Turut berduka cita ya, Jen."
"Turut berduka cita juga untuk Ibu dan Ayahmu."
Diana tersenyum manis dan mengangguk pelan. Keduanya kembali terdiam. Diana membuka salah satu toples didekatnya yang disiapkan pelayan sebelum mereka belajar tadi. Diana fokus memakan kukis coklat sembari menatap pepohonan rindang dihadapannya.
"Rumah gue lumayan luas, ada tempat buat latihan taekwondonya juga. Tapi tetep luas-an rumah lo. Gue tinggal sama 3 abang gue. Tiga-tiganya bisa taekwondo soalnya orang tua kita dulu atlit taekwondo. Gue bukan anak bungsu tapi semenjak adek gue meninggal gue jadi yang paling muda dirumah. Mereka suka ngatur, protektif, bahkan melebihi orang tua gue. Gue kadang pengin jadi anak tunggal aja. Hidup sendirian. Tapi pas udah diturutin sama mereka, hidup sendirian gue malah ngeluh, haha. Sepi. Apa-apa sendiri, sakit nggak ada yang urus, laper nggak ada yang masakin, jadwal latihan berantakan, dan yang paling kerasa tuh, nggak ada yang temenin pas lo lagi capek, bingung kalo mau luapin emosi ke siapa. Jadi capek sendirian deh. Dan akhirnya gue balik deh kerumah, nggak mau hidup sendiri lagi."
Sementara Diana bercerita, Jenna hanya diam mendengarkan. Tidak berniat memotong atau memberi komentar.
"Gue jadi mikir, mungkin sikap tertutup lo ini karena lo terbiasa apa-apa sendirian. Lo merasa nggak butuh siapapun. Maaf ya, Jenna, kalo ucapan gue ini menyinggung. Tapi manusia pasti butuh manusia lain. Memendam emosi terlalu lama juga nggak baik. Gue nggak pernah liat lo nampakin ekspresi, cuma datar aja. Lo pasti jauh lebih cantik kalo senyum, perasaan lo jauh lebih lega kalo lo sedih terus nangis, lo marah bukan hal yang jahat. Gue yakin, lo pasti pernah mikir buat tuker semua kehidupan mewah lo ini untuk sesuatu yang lebih sederhana tapi bikin lo lebih nyaman dan bahagia. Soalnya gue juga pernah mikir gitu. Tapi kalo gue sih, kalo bisa tuker nyawa gue sama nyawa orang tua atau adek gue. Kadang masih suka nggak ikhlas tapi ya mau gimana lagi."
"Apalagi kalo ada orang yang emang tulus sama kita. Bagi gue, itu sesuatu yang amat berharga yang nggak boleh di sia-siain. Contohnya kaya lo yang baik mau bantuin gue ngerjain tugas matematika. Gue yakin lo tulus ngajarin gue. Jadi, Jenna, gue sangat-sangat berterima kasih atas kebaikan dan ketulusan lo. Gue nggak akan lupain kebaikan lo ini."
Diana tersenyum tipis, matanya menatap Jenna yang tetap diam dengan wajah datar khas nya. Sedetik kemudian Jenna tampak tersenyum tipis, sangat tipis sampai-sampai Diana hampir tidak yakin jika itu adalah garis senyuman.
"Sama-sama," jawab Jenna.
Terdengar suara ketukan, kemudian pintu kamar Jenna terbuka. Seorang pelayan muncul dan memberitahunya jika sudah waktunya untuk makan siang. Diana dengan cepat membereskan alat tulisnya. Kemudian keduanya berjalan menuju meja makan. Dimana disana sudah ada Noah dan Saga.
"Bagaimana belajarnya?" Tanya Noah begitu Jenna dan Diana duduk dikursinya masing-masing.
"Lancar," singkat Jenna.
Noah tersenyum manis dengan tangan yang terulur mengusap pucuk kepala anak gadisnya. Saga berkali-kali melirik Jenna, mengingat kembali percakapan antara dirinya dan Noah membuat hatinya kembali dilanda rasa sesak. Hati Saga gundah. Bisakah ia melupakan Jenna?
Sosok dihadapannya itu membalas tatapannya. Saga tersenyum pada Jenna. Tapi mata Saga menggambarkan sebuah kesedihan. Ia yakin ia tidak akan rela. Saga mana sanggup melupakan Jenna begitu saja.
Diana menyikut lengan Saga, membuat pemuda itu memutuskan pandangannya dan beralih menoleh pada gadis berpakaian taekwondo disampingnya.
"Santai, lo didepan calon mertua jangan keliatan tegang gitu dong! Kalem, kalem." Bisik Diana.
"Diem, Di."
Acara makan siang berjalan lancar tanpa ada percakapan yang panjang atau serius. Noah sepertinya lebih suka makan tanpa diselingi pembicaraan. Selesai makan siang, Saga dan Diana langsung pamit pulang. Tugas Diana sudah selesai dan gadis itu juga harus cepat pulang karena ia yakin ia sudah ditunggu oleh ketiga kakaknya.
Selama diperjalanan Diana terus berceloteh mengenai belajar bersama Jenna atau mengomentari rumah Jenna yang baru ia kunjungi itu. Sementara Saga lebih banyak diam. Hanya sesekali mengangguk atau menjawab singkat jika Diana tengah bertanya.
"Makasih ya, Abang buleku. Besok gue traktir bakso kantin deh!" Ucap Diana dengan senyuman lebarnya.
"Iya. Gue langsung balik, ya," pamit Saga yang langsung diangguki oleh Diana.
"Hati-hati!" Teriak Diana saat motor Saga mulai menjauh.
"Ekhem! Darimana saja kamu?"
Suara bariton terdengar jelas dibelakangnya, membuat tubuh Diana kaku seketika dengan wajah panik. Dengan gerakan perlahan, Diana memutar tubuhnya, menghadap kakak tertuanya. Gadis itu menyengir lebar sembari menggaruk kepala belakangnya. Tatapan tajam itu selalu membuat Diana takut dan gugup.
"Masuk!"
Diana tersentak dan reflek berlari sekencang mungkin masuk kedalam rumah.
*****
LillySays_
KAMU SEDANG MEMBACA
JENNA ✓
Fiksi Remaja[Completed] Jenna, terlihat layaknya gadis pada umumnya. Tapi tidak, bagi yang paham cerita hidupnya. Dingin. Tidak tersentuh. Wajah cantiknya tidak pernah tampak dengan ekspresi. Tatapannya kelam, membuat Saga sering tenggelam kedalamnya. Kenyat...