"Nana, aku tahu semua ini akan sulit untukmu dan Renjun, begitupula dengan kami. Tapi kita benar-benar tidak punya pilihan lain selain mengambil risiko."
Terduduk di sebuah sofa yang ada di ruang kerja milik Keluarga Seo, Jaemin menopang dagunya dengan ekspresi berpikir keras. Sesekali Ia menyatukan kepalan tangannya dengan dahinya. Seraya memejamkan mata, Jaemin sedang mempertimbangkan apakah langkah yang barusan Ia dengar ini memanglah keputusan terbaik atau bukan.
Jaemin hanya sedikit tidak menyangka, jika sarapan pagi yang Ia lalui waktu lalu dengan penuh keterkejutan, akan lebih mengejutkan lagi setelahnya. Ia masih ingat dengan betul, bagaimana Nyonya Seo alias Ten mengarahkan Haechan untuk bermain di kamarnya bersama dengan Renjun dan Chenle, menyisakan dirinya yang kini tengah berbicara empat mata bersama Sang Pemilik Rumah.
"Kami tidak memintamu untuk langsung berubah drastis di depan Haechan, hanya saja kami meminta kalian agar tidak berlebihan saat membatasi interaksi antara Haechan dan Mark," ucap Ten, "Bagaimana pun, Haechan dan Mark benar-benar tidak punya waktu lagi untuk terus lari dari kenyataan. Mereka adalah pewaris resmi dari Keluarga Seo dan Keluarga Jung," lanjutnya, "Terutama dirimu, Nana, sampai kapan kau akan terus merasa bersalah dan menomorduakan dirimu terus-terusan seperti ini? Kau juga perlu berproses dan bahagia dengan hidupmu."
Jaemin bergeming saat Ten sudah berdiri di hadapannya. Ia sama sekali tak melawan saat merasakan telapak tangan Ten mengelus surai rambutnya perlahan. Namun reaksi Jaemin tidak berlangsung lama saat pada akhirnya Ia pun turut melingkarkan tangannya di pinggang Ten dan memeluknya erat.
"Mom, apa benar tidak apa-apa jika seperti ini?" lirih Jaemin, "Aku tidak mau kehilangan kalian."
Ten tersenyum tipis sebelum membalas pelukan Jaemin.
"Kau tidak akan kehilangan siapapun lagi, Nana ya," kata Ten, "Bahkan Nyonya dan Tuan Na pasti juga terus-terusan memperhatikanmu dari surga, mereka tidak pernah meninggalkanmu, termasuk kami."
Keheningan sempat mengisi ruang kerja tersebut sebelum pada akhirnya Jaemin menganggukan kepalanya singkat di sela-sela pelukan mereka.
"Akan kucoba, Mom," ucap Jaemin, "Walau sepertinya akan sulit," lanjutnya, "Minhyung benar-benar berbeda dari yang dulu, dia jadi brengsek sekarang pada Hyuckie."
Ten terkekeh geli usai mendengar perkataan dari Jaemin yang sudah Ia anggap seperti anak sendiri tersebut.
"Kalau Nono bagaimana sekarang? Apa dia juga jadi brengsek padamu? Perlu Mom marahi anak itu?"
Jaemin yang awalnya merajuk mendadak jadi tertegun setelah mendengar perkataan Ten.
Ah, benar, Lee Jeno...
"Sepertinya..." ucap Jaemin dengan lirih, "...aku sudah menyakitinya terlalu dalam, Mom."
Ten hanya bisa tersenyum simpul seraya mengeratkan pelukannya pada Jaemin.
***
Di suatu siang yang terik, Haechan melepas sepatunya sebelum berniat untuk mengganti seragam yang Ia kenakan di kelas olahraga selanjutnya. Sembari bertelanjang dada, Haechan segera meraih pintu lokernya dan membukanya lebar, hanya untuk terpaku seketika usai menemukan sebuah amplop pink yang selama ini terus menghiasi lokernya selama setahun belakangan penuh tergeletak di dalamnya. Haechan lantas menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri hanya untuk memastikan jika tidak ada satupun dari siswa lain yang ada di sekitarnya tengah memperhatikannya saat ini. Setelah itu, Haechan meraih amplop tersebut lalu melihat isinya.
"Aku akan menunggu hari kematianmu, Sayang <3"
Lagi-lagi pesan ancaman yang sama.
Sungguh Haechan tidak habis pikir, bagaimana bisa selama setahun belakangan ada saja orang yang secara konsisten mengisenginya seperti ini? Haechan bahkan lebih merasa heran ketimbang takut akan surat kaleng yang Ia terima hampir setiap minggu tersebut. Haechan tahu jika Eclipse memang memiliki musuh selain Godlike di Arena, tapi jujur sampai sekarang pun Haechan sama sekali tidak menemukan clue apapun tentang siapa gerangan pelaku utama dari surat kaleng ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reverse
Fanfiction"Bisakah kau berhenti membuatku semakin jatuh padamu?" "Tidak akan. Bahkan semesta telah menuntunmu agar terjatuh padaku. Untuk apa aku melawan takdir?" *** Berawal dari kesalahpahaman "panas" yang tidak sengaja tercipta di salah satu ranjang ruang...