Haechan tidak menyangka, bila titik tertinggi dari ketidakpercayaan adalah, ketika seseorang itu sama sekali tidak mampu membedakan antara realita dan mimpi.
Setidaknya hal itulah yang Haechan rasakan, saat keinginan terdalamnya yang terangkum dalam sebuah harapan, kini telah terwujud dengan cara yang tak terduga sama sekali.
Haechan mengingat segala detailnya begitu jelas. Bagaimana secara mengejutkan, Mark benar-benar tidak bercanda dengan apa yang Ia lakukan, melalui segala keberanian yang terkumpul begitu bulat untuk melamar Haechan.
Benar-benar lamaran.
Secara privat berdua saja.
Dan benar-benar bukan candaan semata.
Apalagi skenario palsu.
Dan bukan pula balas dendam.
Atau...
Memang balas dendam ya?
Karena Haechan begitu merasakan, betapa kebahagiaan bercampur haru adalah satu-satunya ekspresi yang terpatri di wajah tampan Mark, ketika tanpa jeda sama sekali Haechan langsung menganggukan kepalanya, berulang kali, sebagai tanda bila Ia menerima lamaran Mark. Tak hanya itu, bahkan Haechan tanpa ragu langsung memutar tubuhnya menghadap Mark, demi menghamburkan tubuhnya lebih dalam pada pelukan sang tunangan, maupun melayangkan sebuah ciuman manis di bibirnya.
Iya.
Haechan akui.
Tidak hanya Mark saja yang mungkin sedang balas dendam.
Haechan juga.
Sebab Haechan ingin membalas dendam pada dirinya-sendiri, atau lebih tepatnya pada dirinya lima tahun lalu, yang telah gegabah dalam mengambil keputusan hingga berakibat fatal. Keputusan fatal, yang pada akhirnya membuatnya terpisah begitu lama dari sang belahan jiwa, bahkan turut dihukum oleh semesta melalui berbagai drama yang begitu miris bagi keduanya.
Iya.
Benar sekali.
Sama halnya dengan Mark, Haechan ingin membalas dendam.
Haechan ingin membalas dendam pada seluruh waktu yang terbuang tanpa Mark di sisinya, dengan melabuhkan seluruh jiwa dan raganya pada sang tunangan, melalui upacara sakral yang sudah sepantasnya mengikat mereka.
Hanya saja...
Haechan tidak menyangka.
Bila Mark...
Terlampau totalitas dalam segala rencananya.
Hingga bukanlah sebuah hal yang mengejutkan...
Bila kini...
Haechan sedang terduduk manis di sebuah kursi...
Berhadapkan pada kaca meja rias, yang memantulkan sosok menawannya dalam balutan jas putih berukir elegan.
Ah.
Tidak,
Tidak.
Tentu saja benar-benar hal yang mengejutkan.
Karena sampai detik ini pun, tepatnya ketika matahari mulai menyingsing secara perlahan membelah langit biru berawan indah, Haechan masih saja kesulitan mempercayai pengelihatan dari manik hazelnya sendiri, bila sosok yang terpantul dalam riasan sempurna sebagai calon mempelai dari sebuah upacara sakral itu... benar-benar dirinya.
Saking tidak mampu mempercayai situasi yang baginya terlalu nyata ini, Haechan sampai mempekerjakan fungsi otaknya semaksimal mungkin, untuk kembali mengilas balik hal-hal apa saja yang terjadi tadi malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reverse
Fanfiction"Bisakah kau berhenti membuatku semakin jatuh padamu?" "Tidak akan. Bahkan semesta telah menuntunmu agar terjatuh padaku. Untuk apa aku melawan takdir?" *** Berawal dari kesalahpahaman "panas" yang tidak sengaja tercipta di salah satu ranjang ruang...