Mark.
Haechan yakin sekali.
Jika sosok yang sedang berdiri membelakanginya di tengah-tengah luasnya atap sekolah mereka itu...
...benar-benar Mark.
Sosok yang menjadi dalang, dari segala lara yang membelenggu Haechan selama sebulan penuh akan ketakutannya pada Mark.
Pada Mark yang marah kepadanya.
Pada Mark yang kecewa kepadanya.
Pada Mark yang membencinya.
Seluruh ketakutan yang membuat Haechan lumpuh akan kesedihan dan rasa penyesalannya, yang kini kembali merangsak memenuhi seluruh kepingan jiwanya, yang terbalut begitu sempurna akan kekalutan yang mendadak muncul di benaknya secara ekstrim.
"Kenapa...?"
Seraya bersandar pada pintu di belakangnya, rematan tangannya di knop pun seakan menjadi saksi, betapa Haechan lebih memilih untuk berhenti memandangi siluet Mark, hanya demi menenggelamkan wajahnya sendiri pada tundukan kepala yang dalam.
Sedalam ketidakpahaman Haechan akan pergejolakan emosinya yang tidak mampu terdeskripsikan, di sela-sela bibirnya yang memberanikan diri untuk kembali berucap.
"Kenapa... di sini...?"
Tidak.
Tidak.
Seharusnya tidak seperti ini.
Haechan tidak mengerti.
Dalam keterpurukannya selama sebulan penuh, Haechan bahkan telah berandai-andai bila Ia memiliki kesempatan untuk berhadapan dengan Mark, satu-satunya kata yang pertama kali ingin Ia ucap adalah maaf.
Tapi kenapa...
Di saat semesta telah memberi kesempatan padanya untuk bertemu kembali dengan Mark...
Justru bibirnya malah berkhianat seperti ini...?
Haechan sama sekali tidak mengerti.
"Kenapa harus... tempat ini...?"
Lagi.
Untuk kesekian kalinya.
Haechan benar-benar tidak mengerti, kenapa justru pertanyaan semacam itu yang terlontar dari mulutnya, di tengah tubuhnya yang mendadak terasa begitu lelah.
Rasanya berat.
Pergejolakan emosi yang ada di benak Haechan saat ini terlalu kompleks hingga membuat tubuhnya lumpuh, yang menjadi bukti dari bagaimana segala unsur yang ada di dirinya begitu berkhianat pada pemikirannya semula.
Iya.
Selain ingin mengucap maaf, Haechan juga tidak akan munafik bila seluruh serpihan puzzle dari raganya begitu ingin merengkuh Mark, sebagai bias dari kekosongan jiwanya akan hilangnya sosok sang terkasih waktu lalu.
Iya.
Sebulan itu bukan waktu yang singkat.
Dan selama itu pula, seharusnya Haechan mampu menata seluruh perasaannya, pemikirannya, emosinya, untuk bekerja sama dalam memperbaiki apa yang telah tidak sengaja Ia hancurkan, dengan membangunnya kembali melalui segala penjelasan yang ingin Ia utarakan pada Mark.
Tapi kenapa...
...Haechan...
...malah semakin runtuh sekarang?
Apa karena Haechan telah mengetahui segalanya...
...jika Mark berkorban terlampau jauh untuknya selama ini...?
KAMU SEDANG MEMBACA
Reverse
Fanfikce"Bisakah kau berhenti membuatku semakin jatuh padamu?" "Tidak akan. Bahkan semesta telah menuntunmu agar terjatuh padaku. Untuk apa aku melawan takdir?" *** Berawal dari kesalahpahaman "panas" yang tidak sengaja tercipta di salah satu ranjang ruang...