35. Santai, Boy

5.5K 769 52
                                    

Di dalam villa, Al menghadap ke luar jendela dengan wajah suram

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di dalam villa, Al menghadap ke luar jendela dengan wajah suram. Kedua tangannya bersembunyi di saku, matanya menyorot tajam ke arah hamparan pasir pantai di luar.

Pria berusia tiga puluhan berjas hitam, masuk ruangan. Ia membungkuk hormat sebelum tegap kembali dengan wajah seriusnya. Dia Zidan, kaki tangan Al yang sering ia hubungi lewat ponsel saat sedang menyelidiki sesuatu. Entah masalah pesaing perusahaan, ataupun masalah pribadinya.

"Pak Al, maafkan saya. Saya belum bisa melacak keberadaan ibu kandung Anda."

Al membalikkan badan. "Bagaimana dengan perkataan Devan? Apa bisa kita konfirmasi kebenarannya?"

"Saya kurang yakin. Tapi, beberapa Minggu lalu, Devan memang mengutus orangnya untuk menyelidiki organisasi ilegal di luar negeri."

Al mengusap kasar wajahnya. Ia menatap ponsel yang berdering.

Itu Devan. Beberapa kali ia mencoba memanggil, namun Al masih setia mengacuhkannya. Usai diam sejenak, ponsel Al berbunyi kembali. Tanda pesan masuk.

Kesabaranku menunggumu, telah habis Adik. Ibumu akan lepas dari pengawasanku, dan aku harap kau tidak menyesal setelah ini. Kekeke.

"SIAL!" Al membanting ponselnya, dan dengan cepat beranjak dari sana. Menyambar kunci mobil di nakas, dan jas yang tersampir di sofa.

"Pak Al. Saya akan mengantarkan Anda!" Zedan yang berlari mengejar Al. Namun pria itu sudah melesat pergi dengan mobilnya.

Zidan segera menelpon Lia. Gadis yang kini mengusap kasar air matanya, mulai menerima panggilan dari nomor tak dikenal, dari ponselnya yang berdering.

"Halo, ini siapa?" Lia yang mencoba menetralkan suaranya.

"Saya Zidan, kaki tangan pak Al. Nona, pak Al dalam kondisi emosi yang tidak stabil. Dia saat ini berkendara untuk menemui Devan. Saya sangat mengkhawatirkannya. Apa Nona bisa membantu saya untuk menenangkannya? Saya akan segera menyusul ke sana," ucap Zidan sambil berlari ke arah mobilnya.

"Al menuju ke mana? Saya akan segera ke sana," ucap Lia sembari berlari ke jalan besar.

"Saya akan mengirim alamatnya."

🐒🐒🐒

Di kantor Devan, pria yang menaruh kedua kakinya di meja, kini menyeringai saat melihat kedatangan Al.

"Hai, Adikku." Devan berdiri dengan congkak, ia berjalan ke arah Al yang berwajah datar. "Kenapa sulit sekali menghubungimu? Kau membuatku sampai mengancam tentang keberadaan ibumu. Apa kau tidak tahu betapa bersalahnya diriku, harus melakukan hal serendah itu hanya untuk dapat melihatmu?" ujarnya dengan wajah menyeringai senang. "Baiklah. Kita mulai dari mana kegiatan mencium kakiku? Aku orang yang tidak suka mengulur waktu."

Sudut bibir kiri Al terangkat. "Kenapa aku harus melakukannya? Saat mengadu ke Ayah lebih mudah. Ayah sendiri yang akan membuatmu buka mulut, tentang keberadaan wanita itu." Al yang berbalik arah terhenti, saat mendengar tawa terbahak dari Devan.

"Memang siapa yang sedang kau kelabui, Alfaro? Kau juga tahu benar, jika pria tua itu tidak akan peduli, dengan keadaan ibu jal*ngmu itu. Keberadaanmu di sini, bukankah bukti yang cukup kuat, kalau kau juga tidak mempercayainya?"

Al menghadap Devan kembali, mengulas senyum yang membuat pria di hadapannya menatap tajam. "Entahlah. Dia pria tua yang memang cukup perhitungan. Tapi tidak masalah, sama sepertinya aku juga seorang pembisnis. Aku tinggal menawarkan padanya sebuah keuntungan, seperti menerima harta warisannya? Menjalankan perusahaan ini, sepertinya tidak terlalu buruk."

"BRENGSEK!" Devan melayangkan seluruh barang di sampingnya ke arah Al. Sebuah vas bunga, kali kedua pecah di kepala Al.

Pria yang kini mengusap kasar darah yang mengalir di dahinya.

"Kau tidak tahu wajah ibumu, bukan? Baguslah. Aku akan memperlihatkan padamu." Devan membuka ponselnya, ia memperlihatkan gambar wanita paruh baya yang dengan baju compang-campingnya tampak mengenaskan.

Sangat lusuh, dengan beberapa lembam di sekujur tubuhnya. Rambutnya yang berantakan, dan tubuhnya yang ringkih seperti seseorang yang tak terurus beberapa tahun.

Bola mata Al memanas. Dengan tangan yang bergetar, ia mencengkram erat kerah Devan. "Sialan! Apa yang kau lakukan dengannya?!?"

"Hei, santai Boy." Devan yang menyeringai lebar. "Aku menemukannya, sudah dalam keadaan seperti itu. Alfaro anak baik, apa kau mau membiarkan ibumu mati dengan mengenaskan dalam keadaan seperti itu?"

Al meluruhkan tangannya. Ia memandang nyalang ke arah Devan, dengan mata yang merah, berkaca-kaca.

Dengan tubuh lunglai, Al merobohkan kedua lututnya. Ia bersimpuh di hadapan Devan, pria yang tertawa lepas.

"Bukankah itu terlalu mudah? Kenapa kau membuatnya terlihat sulit."

Al mendongak ke arah Devan, dengan air mata yang membasahi sudut matanya. "Dia di mana sekarang?"

"Bukankah perjanjiannya mencium kaki? Nah, sepatuku sangat mahal ... kau tenang saja." Devan menyeringai remeh.

Al menaruh kedua tangannya di lantai, dengan perlahan ia membungkuk. Sebelum sampai ....

Braaaaaakkkk

Mereka berdua memusatkan ke arah sumber suara. Lia yang masih ngos-ngosan, mendobrak kuat pintu di kantor Devan.

Gadis itu dengan langkah pasti, ke arah keduanya. Ia berdiri tepat di samping Al. "Ayo bangun Al, sampah sepertinya tidak berhak mendapatkan pengakuan sebagai kakak darimu." Lia membantu Al untuk bangun.

"K-kau bagaimana bisa ada di sini?" Al dengan wajah yang masih penuh khawatir, sedang gadis itu hanya melempar senyum.

Lia menatap kembali ke arah Devan, pria congkak yang masih menatap remeh ke arah mereka berdua. Gadis itu maju, hingga berada tepat di depan Devan.

"Aku lihat, kau sangat tergila-gila dengan pengakuan. Kau membuat Alfaro mencium kakimu, untuk menunjukkan jika Al berada di bawah kuasamu? Apa kau anak TK? Sedang mencoba bermain menjadi raja penuh kehormatan? Kalau begitu, ajak aku main. Maka aku akan menjadi malaikat maut yang mengintai raja kapan saja."

"Apa yang kau kat---" Ucapan Devan terpotong dengan Lia yang meludahinya tepat di wajah pria itu.

"Dasar sampah! B*jingan nggak tahu diri. Aku sedang memperingatkanmu, apa kau terlalu bodoh untuk mengerti?" Lia dengan raut datarnya.

I Get It, Oh ... My CEO!(END)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang