66. Aku Sanggup Melewatinya

3.1K 385 22
                                    

Nyonya Hendra dengan pakaian khas pemancing, setia duduk di kursinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nyonya Hendra dengan pakaian khas pemancing, setia duduk di kursinya. Ia melototi kail yang sedari tadi tenang.

Tak selang lama, melihat air beriak di sekeliling dengan alat pancingnya yang bergerak, wanita itu mengangkatnya penuh antusias.

Boom, sepatu rusak yang penuh lumut terangkat. Gelak tawa pria paruh baya di sampingnya yang sama-sama sedang memancing, membuat Nyonya Hendra mendesis kesal.

Kini kail pancing pria itu ikut tergerak. Dengan cekatan dan profesional, ia menariknya. Ikan ukuran sedang yang menggelepar di ujung pancing itu, telah membesarkan kepala pria yang kini tengah mengejek Nyonya Hendra.

Wanita yang hanya menanggapi dengan dengusan kecil, kini kembali duduk tenang di kursinya.

"Bukankah kubilang, memancing itu tidak mudah ... apalagi untuk Lady yang cantik. Mungkin jika mau jadi ibu dari anak-anakku, aku akan mengajarinya."

"Bersikaplah sopan, terlebih pada orang yang tidak kau kenal. Apa kau tidak diajarkan hal itu?" jawab nyonya Hendra dengan nada tidak suka. "Lagian ... aku sudah punya suami." Tidak bohong, kan? Walau suaminya sudah meninggal satu tahun yang lalu.

"Benarkah? Sayang sekali. Lady yang sangat cantik datang ke daerah terpencil ini untuk memancing, kukira bidadari yang turun kemari untuk bertemu diriku. Pangeran yang kesepian ini, hhhhh ... apakah akan berakhir dengan kesendirian lagi?" ucapnya dengan raut sok sedih.

Tatapan tajam nan jijik nyonya Hendra yang terhunus ke arah pria itu, membuatnya langsung melipatkan bibir. Diam seribu bahasa.

" ... Kau tidak punya istri?" ucap nyonya Hendra usai menghembuskan napas pelan.

"Tentu saja punya, di rumah. Menurutmu anak-anakku datang dari mana jika aku tidak punya istri? Hanya saja untuk istri yang di daerah ini aku belum punya. Bagaimana jika ...,"

Sudah selesai. Kesabaran wanita itu sudah selesai.

"DIAMLAH! BRENGSEK!!! AKU SUDAH CUKUP MENDENGAR BUALANMU!!!" Nyonya Hendra yang mulai memegang kerahnya dan menghujamkan pukulannya.

Saat pria itu mencoba melawan, dengan sigap nyonya Hendra membanting tubuh pria itu ke tanah dengan kekuatan penuh.

"AKKKKHHH!!! PUNGGUNGKU!!! SE ... SEPERTINYA ENCOKKU KAMBUH!!!

🐒🐒🐒

"Kudengar akhir-akhir ini ia sulit menyembunyikan emosi, ya?" ujar Lia yang masih setia memasukkan camilan ke dalam mulut.

Dea mendengus lelah. "Ya, aku baru tahu sosok ibu yang sekarang. Dia mudah marah, dan tidak ada niatan menyembunyikan apapun emosinya. Kak Lia tahu, sudah sepuluh asisten rumah tangga di pecat sehari lalu karenanya."

"Aku rasa itu cukup baik. Mengingat ia selama ini menyembunyikan segala emosi di raut wajah datarnya, cukup mengerikan." ucap Lia yang hanya dijawab anggukan kecil oleh Dea.

"Ngomong-ngomong, fakta di usianya sekarang ... ibumu mulai hobi belajar ilmu bela diri, kupikir itu sangat hebat." Lia dengan wajah antusiasnya. Ia tak sabar melihat bagaimana nyonya Hendra yang anggun itu menggunakan bela dirinya. Bukankah itu akan terlihat mengesankan?

"Yah, itu hebat. Aku juga baru tahu, jika ia sangat suka olahraga. Bahkan sekarang gym rumah lebih luas dari taman, karena hobi barunya." Dea dengan wajah lunglai membayangkan kembali renovasi besar-besaran rumahnya yang kini mirip gedung olahraga.

"Lihat saja sisi positifnya. Kau juga bisa termotivasi untuk olahraga. Bukannya mulai beberapa bulan lalu, kau melaksanakan diet sehat?"

Dea mengangguk kecil. "Aku juga ingin memakai gaun pengantinku dan terlihat cantik."

"Semangat! Aku tahu itu berat untukmu. Ingatlah selalu wajah tampan Fandy, jika kau tergoda dengan makanan. Kau pasti bisa!" seru Lia dengan wajah bersungguh- sungguh, ia bahkan memeluk Dea dan menepuk-nepuk pundaknya.

Dea mengangguk sambil mulai menangis bombay. "Kak Lia!!! Ini sangat berat!!!"

"Dea!!! Lihat aku! Kau pasti bisa. Kalahkan nafsu makanmu! Kalahkan rasa malas untuk tidak berolahraga! Kau pasti bisa. Karena aku melihat pahlawan wanita di dalam dirimu."

"Huaaaa!! Kak Lia aku pasti akan menang! Aku akan memakai gaun tercantik pada pesta pernikahanku!" Dea yang mulai menghamburkan diri ke pelukan Lia kembali. Lia yang berlinang air mata saat membayangkan beberapa kali ia gagal diet. Itu ... perjalanan yang sangat menyiksa.

Oke mereka akhirnya menangis bersama. Kini Lia seperti seorang ibu yang sedang melepas kepergian anaknya ke medan perang.

Fandy menggosokkan telur pada bagian yang memar di wajah, duduk kembali di samping mereka. "Apa yang sedang kalian lakukan? Hei, jangan menangis pilu seperti itu karenaku. Aku tidak apa-apa, memarnya juga akan lekas sembuh. Aku akan tampan kembali," ucapnya dengan raut wajah penuh dosa, tertulis jelas dengan lebar memarnya kali ini.

" ... Al ke mana?" Lia yang mulai melepas pelukan Dea.

Fandy bergidik acuh tak acuh. "Mungkin di kamarnya? Ia dihubungi klien tadi. Sepertinya sedang sibuk urusan pekerjaan."

Lia bangkit dari duduknya. "Aku akan ke kamar dulu."

🐒🐒🐒


Di dalam kamarnya, Lia membuka balkon. Angin yang berhembus pelan, menerpa kulit mulusnya, dan bibir pucat yang entah sejak kapan terlihat murung.

Ia membuka perlahan halaman buku yang ia tenteng ke mana-mana.

I get it, oh ... my CEO!

Air matanya mengalir saat sampai pada halaman terakhir. Satu halaman kosong yang masih tersisa. Dengan senyum tipis penuh kesedihan, Lia mengusap lembut kertas putih di sana.

"Akhirnya kita sampai ending. Padahal ini akhir yang dinantikan, kenapa rasanya sesedih ini? Apa yang terjadi saat cerita ini berakhir?"

"Apa yang sedang kau lakukan?" Suara Al tepat di telinga Lia, membuat gadis itu terlonjak kaget. Dua tangan kekar kini mengukung tubuhnya dari belakang. Dapat ia rasakan hembusan halus napas Al yang menggelitik di belakang lehernya. Lia mengukir senyum, menyembunyikan rona sedih yang sempat tersirat di wajah.

"Al ... jika misal kita punya satu lembar kosong untuk hidup, kau ingin mengisinya dengan apa?"

"Eum ... kenapa hanya satu lembar? Jika hidup bersamamu, tidak cukup hanya satu lembar. Aku ingin cerita tentang kita hingga berjilid-jilid tebalnya. Tidak ... Aku ingin lembar yang tidak terbatas, dan abadi." Al yang bersuara sembari sibuk menciumi rambut Lia.

" ... Lembar yang tidak terbatas, dan abadi ... apakah itu seperti akhir dalam dongeng?"

"Dongeng?"

"Iya. Kalimat bahagia selamanya di akhir kalimat ... bukankah itu sama dengan lembar yang abadi?"

"Itu terdengar cukup baik. Walau tidak ada lembar abadi pun, aku tidak akan membiarkan kisah kita hanya berakhir dalam satu lembar."

"Tapi jika takdir berkata seperti itu ...." Lia dengan nada ragu.

"Jika takdir berkata seperti itu, akan kuubah satu lembar itu untuk awal kita. Jika takdir hanya memberi satu lembar, untuk lembar yang lain ... tinggal kita buat sendiri, kan?"

Lia membalikkan badannya, memeluk tubuh Al dengan erat. Senyuman manis terpatri pada wajah cantiknya. "Benar. Mari kita lakukan seperti itu saja. Mau satu lembar berarti awal atau akhir ... asal bersamamu, apapun itu ...."

Aku sanggup melewatinya.





Note : Man teman ... Besok bab terakhir ya ... Mungkin up nya sekitar jam 6 sore. Thankyuuuu yang masih betah menunggu cerita ini.🥀
Maaf bangettt hiatusnya lama sampe sebulan lebih😭💕
Besok adalah akhir penantian.✨


I Get It, Oh ... My CEO!(END)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang