41. Alfaro ... Juga Anakku

5.6K 732 44
                                    

"Usai berpikir ulang, apa yang kau katakan memang benar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Usai berpikir ulang, apa yang kau katakan memang benar ... Adikku. Aku tidak mendapatkan keuntungan apapun, dari kau tunduk padaku." Devan beranjak dari kursi kebesarannya, dengan membawa dokumen di tangan. Pria itu mendaratkan tubuhnya, di hadapan Al yang duduk di sofa.

Ia melempar dokumen, ke hadapan Al. Dengan senyum remeh, ia menyilangkan kedua kaki. "Kalau begitu, cukup berikan tanda tanganmu di kertas itu. Dokumen yang menyatakan, jika semua harta dan perusahaanmu beralih atas namaku. Dan juga pernyataan ... jika kau tidak akan menerima sepeserpun dari keluarga Hendra. Bagaimana, tanda tangan ... cukup mudah, kan? Setelah itu aku akan memberitahu. Di mana ibu jal*ngmu itu."

Al mengepalkan tangan, rahang yang terkatup membuat wajah dinginnya tampak menajam.

Devan menyeringai, saat melihat Al berpikir keras untuk menyetujuinya. "Tenang saja, aku akan membantumu ... cepat mengambil keputusan." Devan yang menatap penuh ejekan ke arah Al, ia menghubungi seseorang.

"Persiapkan wanita itu. Saat aku bilang lakukan ... habisi dia," Ucapan Devan yang membuat rahang Al mengeras, dengan mata yang berlinang menyorot tajam ke arahnya. Tawa remeh mengalun di telinga Al, membuat makin menjulang tinggi emosi dalam dadanya. "Tidak, mungkin lebih menyenangkan jika dia tewas sedikit demi sedikit. Aku bilang lakukan, maka suara teriakan pilu ... pastikan aku mendengarnya." Devan menyalakan pengeras suara.

"Lakukan." Devan melambai-lambaikan ponselnya dengan periode singkat, ke arah Al. Suara teriakan pilu mulai terdengar, membuat Al menitikkan air matanya yang memerah, sedang Devan memasang wajah takut yang dibuat-buat.

"Itu pasti menyakitkan. Lak---"

"Hentikan. Aku akan menandatanganinya." Al yang segera mengambil dokumen di meja, dan menandatanganinya dengan cepat.

Ia melempar begitu saja, dokumen itu kembali ke hadapan Devan. "Kau puas? Di mana dia sekarang?"

Devan mengambil dokumen itu dengan senyuman lebar. Ia mengecek tanda tangan Al, dengan tawa kemenangan yang menggelegar. "Wah, ternyata semudah ini mendapatkan keinginanku. Harusnya dari dulu aku melakukannya. Benarkan, Adikku?"

Suara pintu terbuka, Nyonya Besar Hendra dengan bekal di tangannya, ia masuk ke ruangan Devan.

Dengan wajah dingin, ia melihat ke arah Al yang tampak penuh gurat marah, bercampur gelisah. "Ada apa dengan kalian?" Ia menaruh bekal makanan untuk Devan di meja, dan ikut duduk di sofa.

"Bu, lihatlah." Devan dengan wajah berbunga memperlihatkan dokumen di tangannya ke arah sang ibu. "Sekarang semua milik Al adalah punyaku. Bukankah, aku layak dipuji untuk ini?" Devan menyorot hina ke arah Al.  "Duri sialan, yang tumbuh dalam keluarga kita ... dia sekarang bukanlah siapa-siapa. Akan aku pastikan agar ia tak pernah lagi bisa merangkak kembali, mengganggu ketenangan keluarga kita."

Ibu Devan dengan wajah datar, memegang dokumennya, ia membaca deret tulisan di sana. Sedang Devan kini menyeringai ke arah Al, sembari mulai meminum kopi di hadapannya.

Nyonya Hendra menyobek  dokumen itu dengan raut dingin. Al termasuk Devan kini membeku, menatap sang ibu yang dalam diamnya ...  masih setia menyobek- nyobek kertas di tangan. Tatapan datar mengarah ke Devan, saat dokumen yang menjadi serpihan kertas itu, sudah berceceran di lantai.

"APA YANG SEDANG IBU LAKUKAN?!" Devan dengan gurat marahnya segera bersimpuh di lantai, dan mencoba memungut kembali kertas yang sudah menjadi bagian-bagian kecil.

"Berhentilah melakukan hal yang menyedihkan Devan. Sudah cukup." Ibunya yang masih menatap ke arah Devan. Pria yang sibuk mengumpulkan sobekan kertas di lantai.

Al dengan sorot mata yang berlinang, ke arah sang ibu. Ini pertama kalinya, sang ibu membelanya. Ia tak mengerti alasan tiba-tiba ibunya melakukan itu, tapi ada letupan bahagia tersendiri saat melihat ini.

Devan menatap frustrasi ke arah tangannya, yang menggenggam potongan-potongan kecil kertas itu. Dengan amarah yang terbakar, ia melempar kasar sobekan kertas di tangan ke sembarang tempat. Kini udara sekitarnya penuh dengan potongan-potongan kertas, yang terbang turun dengan lambat. "SIAL!!!"

Dengan kelabakan Devan menghubungi sang pengacara. "Antar ke kantorku dokumen yang sama, seperti kemarin. Secepatnya!!!" Ia membanting ponselnya dengan keras ke lantai.

"Tunggu sebentar lagi. Kau harus menandatanganinya terlebih dahulu, sebelum benar-benar mengetahui keberadaan ibumu." Devan menatap ke arah Al. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan sang ibu. Perempuan itu selalu saja membelanya, ada apa dengan hari ini?

Sang ibu melakukan hal yang tidak berguna, dan hanya menyulut amarah dalam kepalanya.

Ponsel Al berbunyi. Pria itu mengangkatnya, tanpa mengatakan sepatah kata. Dari Zidan, pria yang masih setia mencari keberadaan ibu kandung Al.

"Foto yang berasal dari ponsel Devan, saya sudah menemukan sumbernya. Foto itu berasal dari luar negeri, Devan mendapatkannya dari salah satu korban perang negara itu. Devan membeli foto itu dengan harga mahal, tapi saya yakin ... jika wanita itu, bukanlah ibu kandung Anda."

"Bukti?" tanya Al yang menatap tajam ke arah Devan, pria yang sedang mondar-mandir gelisah di sana, menunggu kedatangan sang pengacara.

"Saya akan mengirimkannya ke kantor Anda," ujar Zidan yang kini sedang di luar negeri, menyelidiki kebenaran foto dari ponsel Devan.

Al menutup panggilan sepihak. "Ka---" Suara Al terpotong saat Nyoya Hendra dengan nada lugas mengatakan sesuatu ke arah Devan.

"Entah dosa apa yang harus kutanggung. Aku mendapat anak yang picik sepertimu. Ini benar-benar bukan yang kuinginkan darimu, Devan. Tolong ... berhentilah melakukan hal ini, berhentilah membuatku kecewa padamu."

Devan tertawa keras. "Kenapa, apa sekarang ibu kecewa jika aku adalah anakmu yang sebenarnya? Bukan Al, makhluk sialan yang sok itu? Apa hebatnya dia. Hanya anak haram yang tak diinginkan ada oleh siapapun. Bahkan ibu yang melahirkannya saja membencinya. Kehadirannya, hanya pengganggu kebahagiaan orang lain."

Ibunya berdiri. Ia dengan langkah dingin mendekat ke arah Devan. Tanpa ragu, ia melayangkan tamparan keras ke arah pria itu. Devan, pria yang membolakan mata menatap sang ibu. Ini pertama kalinya ia mendapat pukulan dari sang ibu, terlebih karena Al.

Al membeku di tempat. Ia masih setia mengamati kejadian di depannya. "Tutup mulutmu. Alfaro, dia juga anakku. Jangan berbicara sepatah kata lagi, jika tidak ... ibu tidak akan tinggal diam." Ucapan yang membuat Al mengukir senyum tipis.

Sang ibu menatap ke arah Al, mengabaikan Devan yang menatap tidak terima ke arahnya. "Tidak ada yang tahu tentang keberadaan ibumu, selainku. Bahkan ayahmu. Kau mau menemuinya? Aku akan mengantarmu."








I Get It, Oh ... My CEO!(END)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang