61. Apa yang Nyata?

3.1K 460 21
                                    

"Aku salah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku salah. Mereka ... bukan hanya ilusi bagiku." sahut Lia dengan sorot mata yang berlinang, sarat akan luka.

Supir taksi misterius itu mulai mengamati Lia yang kini bersitatap dengannya. Gadis itu menyeringai dengan air matanya yang mulai jatuh. "Sepertinya aku tidak bisa pulang sekarang. Aku berjanji pada Alfaro membuat happy ending bersama. Selama tetap di ruangan putih ini, aku pasti akan menemukan jalan kembali ke arahnya. Jadi turunkan aku di sini, pak Tua."

Pria paruh baya itu tersenyum samar. "Jika kau bersikeras tinggal di sini, kau bisa ikut menghilang. Bahkan ada kemungkinan kau takkan pernah bisa kembali ke dunia nyata."

"Tidak masalah. Bahkan jika akhir kami adalah menghilang ... setidaknya aku menghilang bersamanya."

Mobil perlahan menurunkan kecepatannya. "Kau berani mempertaruhkan nyawa untuk kembali ... apa aku boleh tahu alasannya?"

"Orang-orang di dalam dunia itu ... mereka sangat berharga."

Fandy yang pernah menceritakan betapa ia tersiksa dalam dunia novel, bahkan ia sempat menghiburnya jika mereka adalah sama. Bagaimana gadis itu bisa melupakannya, dan berbicara seolah hanya dirinya yang hidup secara nyata.

" ... Aku memang bodoh," Lia mengusap kasar air matanya. "Selama mengenal sosok Fandy, aku belajar suatu hal darinya. Sekuat apapun masa lalu menjerat kita ... kita tetap harus berjuang tumbuh dan melangkah. Karena dengan begitu, kita bisa bertahan hidup."

Terbayang dalam benaknya bagaimana Fandy menghindari apa yang ingin ia raih, karena trauma masa lalu. Ia baru saja mencoba untuk berjuang untuk meraih mimpinya bisa bersama Dea, bisa-bisanya Lia menghancurkan semua itu?

"Dea ... dia adalah cerminan diriku di dunia nyata. Tidak memiliki kepercayaan diri sedikitpun, dan selalu merasa kalah sebelum berbuat sesuatu."

Lia tahu benar, bagaimana Dea sangat memandang remeh dirinya sendiri. Gadis itu sangat mencintai Fandy, namun ia tak pernah merasa pantas untuk pria itu. Ia ... seperti selalu merasa kalah akan keadaan.

Gadis itu akhirnya tersenyum miris. "Tidak. Setelah kupikir, ada hal yang membedakan kami berdua. Tidak sepertiku, Dea ... ia berani menerima fakta. Ia tahu kekurangan dirinya, dan tetap melangkah ke depan walau ia hanya dapat melihat kekalahan. Ia selalu berusaha ... untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, sekalipun itu terasa mustahil. Itu membuatku takjub, aku ingin sepertinya."

Lia tahu, betapa berat untuk Dea berjuang di sisi Fandy selama bertahun-tahun. Gadis dengan tekad kuat itu, hampir saja pada titik keberhasilannya. Ini terlalu kejam untuknya, jika harus berakhir seperti ini.

Kemudian ....

"... Alfaro. Pria yang mengenalkanku apa artinya cinta. Kasih sayang, dan ketulusannya padaku ... aku bisa merasakannya pada setiap setiap sorot mata dan perilakunya. Bagaimana pria yang kesepian dan haus akan kasih sayang itu memberikan cinta yang berlimpah untukku? Aku benar-benar menjadi wanita terjahat jika melakukan hal ini padanya."

Lia menangkup wajahnya. Menyembunyikan tangisan yang makin menjadi. Mobil mulai berhenti, dengan sang sopir yang terkekeh kecil.

"Tidak sia-sia kau kemari. Kau mendapatkan banyak hal ternyata, ya. Di kehidupanmu dulu, kau selalu membuang dirimu sendiri karena merasa semua hal di dunia tidak pantas untukmu. Kau merasa lemah menggapainya, dan terlalu rendah untuk memilikinya. Hingga kau pasrah, berhenti berharap dan berusaha. Sejak itu ... bukankah kau mulai membenci duniamu, karena merasa dunia mulai mengabaikanmu. Padahal yang terjadi, kaulah yang mengabaikan dirimu sendiri."

Lia perlahan melihat ke arahnya dengan wajah yang sembab. "Apa ...."

"Mau kuberitahu? Faktanya .. kau bukan membenci dunia, melainkan membenci diri sendiri. Ingatlah ini. Kenyataan jika kau berada di sini, itu bukti jika dunia tidak pernah mengabaikanmu. Kau perlu belajar mencintai diri sendiri, untuk bisa melihat betapa indah dunia yang kau tinggali."

"Pak Tua. Kenapa kau selalu berbicara dengan berbelit seperti itu? Kecerdasan otakku terbatas untuk mengerti maksud perkataanmu." Lia dengan wajah yang masih runyam.

Sopir itu terkekeh kecil, sebelum memberi isyarat dengan kepalanya untuk Lia segera turun dari mobil. "Waktumu tidak banyak. Turunlah. Ingat, kau sendiri yang bertanggung jawab atas pilihanmu. Apapun yang terjadi, aku harap kau tidak menyesalinya."

Lia dengan cepat turun dari mobil. "Anda tidak perlu khawatir. Apapun yang terjadi, aku tidak pernah menyesalinya."

Sang sopir mengangguk kecil. "Ah, kesungguhan hati bisa membuat keajaiban. Jika kau percaya itu," ucapnya sebelum benar-benar mengendarai mobilnya hingga menghilang, tertelan kabut putih.

Kesungguhan hati?

Lia mulai memejamkan kedua matanya. Benar kata pak tua itu. Selama ini, ia merasa membenci dunia. Ia adalah orang yang berhenti berharap, dan mengikuti arus kehidupan. Untuk pertama kalinya ia berharap dengan kesungguhan hati ... apakah dunia mengabulkannya?

Mencoba mencintai diri sendiri, untuk melihat sisi dunia yang indah ... terdengar menarik. Dengan mata yang masih terpejam dan tetesan air mata yang mengalir ... Lia tersenyum simpul.

"Aku mohon. Aku ingin melihat Alfaro. Ijinkan aku di sisinya, walau sementara."

Angin yang berhembus pelan, kini terasa lebih kencang. Perlahan Lia membuka matanya. Ia melihat gedung-gedung pencakar langit mulai terbentuk.

Dalam sekejap ... semua berubah seperti awal sebelum dunia ini hancur. Dan yang terpenting ... Alfaro kini berada kembali di depannya.

Dengan baju pasien, Al menatap lekat ke arah Lia di ambang dinding balkon. "Apa yang ingin kau beritahu?" ucapnya dengan suara serak, terlalu banyak menangis. Kedua bola mata yang memerah itu masih tersimpan kesedihan yang mendalam.

Lia menitikkan air mata dengan sorot mata lega. Ia kembali ke detik sebelum dia mengungkapkan kebenarannya. Perlahan gadis itu mendekat, sembari mengulurkan tangannya.

"Yang ingin kuberitahu adalah ... apapun yang terjadi, kau tidak lagi sendirian Al. Aku akan berada di sisimu, dan kita akan melaluinya bersama. Semua yang terjadi ... bukanlah kesalahanmu. Ini adalah sesuatu di luar kendali kita. Maukah kau bertahan untuk rasa sakit ini? Mari kita berjuang sedikit lagi. Setuju?" Lia dengan senyumannya yang mengembang dan air matanya yang mengalir.

Perlahan Al turun. Ia memegang tangan Lia, dan dengan tarikan kecil menenggelamkan tubuh kecil itu dalam pelukannya. Pria itu menangis tersedu, dengan kedua tangan yang memeluk erat Lia.

"Maafkan aku ...." Al yang menenggelamkan kepalanya di ceruk leher gadis itu. Menghirup rakus aroma tubuh Lia yang menenangkan.

Perlahan Lia menepuk-nepuk punggung Al dengan lembut. Gadis itu sadar. Saat seperti ini yang dapat ia lakukan hanyalah memeluk jiwa yang rapuh itu. Memberikannya kekuatan, bukan malah membuat semua runyam.

Dapat ia rasakan detak jantung Al berdegup kencang di pelukannya. Terasa hangat dan nyaman. Lia tersenyum simpul. "Benar, aku terlalu bodoh. Tidak ada yang ilusi tentangmu. Semua adalah nyata."

Al melepas pelukannya, tanpa memberi jarak antara mereka. Tatapan sendu itu menatap ke arah wajah Lia tepat di bawahnya dengan raut bingung. "Apa katamu? ... apa yang nyata?"

"Aku mencintaimu, Alfaro. Itu perasaan yang nyata." Senyum Lia dengan tatapan yang hangat.


I Get It, Oh ... My CEO!(END)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang