29. Genre Roman Picisan?

6.4K 885 75
                                    

"Menangislah sebanyak mungkin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Menangislah sebanyak mungkin. Jika tangisan itu, satu-satunya obat yang kau dapatkan ... untuk meredakan lukamu."
~Arqelia~

Devan berjalan tergesa memasuki lantai atas kantor Al. Kedua sekretaris di depan ruangan Al berdiri terkejut, saat pria itu tanpa ba-bi-bu mendobrak kasar pintu.

Ia masuk ke ruangan Al, menyeringai di sana ... sebelum dengan congkak duduk di sofa menghadap Al. Pria yang tadinya fokus dengan laptop di meja, kini menyorot tajam ke arah tamu tak diundang.

Saat Alisa ingin masuk dan menegur Devan, Al segera membuatnya berhenti di ambang pintu, dengan isyarat tangannya yang terangkat. Gadis yang kini mengangguk sopan, akhirnya menutup pintu yang masih terbuka dengan perlahan.

"Ini kantor, bisakah datang secara baik-baik? Kendalikan dirimu, jangan membawa urusan pribadi di sini." Al dengan wajah datarnya, mulai duduk di sofa depan Devan.

Devan berdecih remeh. "Jangan sok. Dasar anak jal*ang! Apa kau tidak penasaran keberadaan ibumu sekarang? Aku dapat berita mengenainya. Kau mau tahu? Tapi di dunia ini tidak ada yang gratis, semua ... ada harganya." seringaian menyebalkan terukir di wajah Devan.

Kedua tangan Al terkepal erat. Ia mencoba mengendalikan emosi yang tersulut saat mendengar ucapan dari pria itu. "Apa hanya itu yang ingin kau katakan? Aku tidak cukup peduli dia masih hidup atau tidak. Jadi jangan pernah lagi membahas hal memuakkan ini denganku. Kak Devan, kau masih tahu jalan keluar untuk pergi dari sini, kan?"

Devan menyeringai sinis, ia mulai beranjak berdiri. "Dia jadi imigran ilegal di negeri antah berantah. Informasi terakhir kali, ia masuk ke jaringan gelap perdagangan manusia. Sepertinya aku bisa membantu menolongnya, walau Ayah sudah tak peduli. Tapi jika anak semata wayangnya ikut tak peduli ...," Devan tertawa remeh, "apa yang bisa kulakukan?"

Gigi Al bergemelatuk, dengan rahang yang mengeras. Jika wanita itu begitu membencinya dan meninggalkannya tanpa belas kasih sedikitpun, guna mendapatkan kehidupan yang lebih baik ... bukankah seharusnya dia dalam kondisi yang bahagia? Tapi jika memang benar apa yang dikatakan Devan ... rasanya Alfaro benar-benar tak sanggup menerima ini.

Pikirannya terasa buntu, dengan perasaan kalut yang memuncak. Kedua bola matanya yang berkaca, masih mencoba memendam rasa menyakitkan yang tiba-tiba menyeruak.

"Aku pergi. Ah ... tapi jika kau tiba-tiba berubah pikiran, aku dengan senang hati membuka diskusi kecil kita lagi. Siapa tahu cukup kau berlutut, dan mencium kakiku ... kau dapat tahu bagaimana rupa ibumu yang jal*ng sialan itu!" jelas Devan dengan senyuman remeh sebelum benar-benar meninggalkan ruangan.

Al mengusap kasar wajahnya. Ia membanting vas bunga di depannya, hingga bunyi nyaring terdengar sampai keluar. Membuat kedua sekretarisnya saling pandang, dengan wajah penuh tanya.

Alisa yang memberanikan diri, mengetuk beberapa kali pintu, sebelum masuk ke ruangan Al. Gadis itu terperanjat, saat melihat pecahan vas di lantai yang berceceran. "Pak Al, Anda baik-baik saja?" ujarnya yang mendekat ke arah Al yang tampak memegang kepalanya dengan tampilan bak orang frustrasi.

I Get It, Oh ... My CEO!(END)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang