42🥛

22.3K 5.5K 1.8K
                                    


tantangan Ale ya gini apalagi ketemu sama orang yang punya trust issue, trauma dll. tapi gue ga pernah membenarkan sikap dilla karena kalo salah ya salah.

mungkin wajar dilla ga berani punya status karena dia nggak yakin bisa ngasih kepastian ke ale atau engga, tp di sisi lain dilla suka ngasih harepan ale karena ga bisa nahan diri sebab belum moveon.




itulah kenapa, mereka berantem, baikan lagi, mesra lagi, berantem lagi tapi ttp balik karena kalo udah sayang tuh susah perginya.



itulah kenapa, mereka berantem, baikan lagi, mesra lagi, berantem lagi tapi ttp balik karena kalo udah sayang tuh susah perginya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


42. Obsesi



Sore itu mereka mengobrol tentang banyak hal dan sedikit bernostalgia sampai malam tiba. Ale dan Dilla memutuskan keluar untuk makan karena Marta sedang pergi dengan Marco dan orang tuanya.

"Bisa-bisanya gue nggak tau ada tempat seenak ini," Ale tampak menikmati beef di depannya. "Besok ke sini lagi dah, Marta suka pasti."

"Makan rapi dikit," Dilla berdecak dan mengusap ujung bibir Ale membuat cowok itu menahan senyum.

"Lo nggak pesen minum??"

"Udah tadi air putih," jawab Dilla. "Paling abis ini dateng."

"Ohh," Ale mengangguk, kembali melanjutkan makanannya.

"Gue ke toilet bentar," Dilla beranjak dari kursi dan meletakkan hpnya di meja.

Ale mengangguk singkat, masih asyik menikmati makanannya. Sampai terjeda saat ponsel Dilla berdering, ia menoleh ke sekitar memeriksa kapan cewek itu akan keluar dari kamar mandi.

Panggilan sudah masuk hampir ke tiga kalinya, Ale mau tak mau meraih ponsel Dilla. "Halo? Maaf—"

"Ini siapanya Dilla, ya?"

Ale mengulum bibir. "Itu saya... temennya,"

"Syukur ya, dari kemarin Dilla tolak telfon dari saya terus nak heran banget. Padahal ya ini soal Papahnya sendiri loh,"

Ale menautkan alisnya. "Papah?"

"Papah Dilla sakit keras dari tahun lalu, udah nggak ada biaya buat operasi dan saya kesusahan menghubungi Dilla,"

"Oh gitu..." gumam Ale. "Saya ssmpeiin Dilla nanti."

"Tolong banget ya—"

"Lo kenapa angkat telfon gue??"

Hp tiba-tiba terampas membuat Ale mendongak, mengerjap melihat Dilla menatapnya datar. "Gue pikir penting—"

"Lain kali jangan lancang,"

Ale langsung menyerngit, meski ia salah, seharusnya tak keluar kalimat seketus itu. "Gue nggak tau, sorry."

Dilla merubah ekspresinya, sadar terlalu kasar. "Sorry,"

What Are We? ( AS 7 )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang