Bisa-Bisa Menangis

1.4K 236 11
                                    

Arsen terbangun saat matahari sudah meninggi. Dia sempat mengernyit saat wangi di kamar itu tidak sama dengan wangi yang biasa dia cium di kamarnya.

'Oh, iya. Kemarin aku ketiduran di kamar papi,'

Arsen melirik nakas di sebelahnya. Jam kecil disana menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Bisa dipastikan Arsen baru saja melewatkan sarapan. Mungkin dia akan brunch saja nanti. Arsen bangkit dari posisinya dan duduk di atas ranjang sang ayah. Merasa ada yang memperhatikannya Arsen menoleh ke arah pintu dan menemukan ayahnya tengah duduk di sofa kecil yang sederet dengan letak pintu kamar.

"Pi?" Panggil Arsen setelah beberapa menit berlalu tanpa ada perbincangan. Hanya tatapan saja yang Arsen terima dari sang ayah.

"Ada apa, pi?"

Alvaro menarik napasnya dalam-dalam. Dia berjalan menghampiri Arsen. Arsen sendiri merasa heran sekaligus takut. Dia takut melakukan kesalahan yang membuat ayahnya marah.

"Kenapa kamu membenci tantemu, dek?"

Pertanyaan itu membuat Arsen terkejut.

"Arsen hanya benci saja, pi,"

"Alasannya?"

Arsen meremas selimut di pangkuannya dan menundukkan kepalanya. Dia bingung harus menjawab apa. Dia sudah berhasil mengalihkan pembicaran itu kemarin malam. Kenapa ayahnya bertanya hal seperti ini lagi?

"Dek?"

"..."

"Papi ganti pertanyaannya. Seberapa banyak kamu melihat kejadian 26 tahun yang lalu itu, dek?"

Badan Arsen menegang dengan sendirinya.

"Ma-maksud papi apa? Arsen tidak mengerti,"

"Dek... Seberapa jauh kamu melihat tantemu masuk kesini dulu?"

Arsen terkejut sejadi-jadinya. Dia sampai mengangkat kepalanya dan menemukan ayahnya tengah menatap dirinya dan tatapan itu penuh dengan penyesalan juga kekhawatiran.

"Jawab, dek... Papi mohon," Pinta Alvaro dengan lirih.

Arsen meneguk ludahnya perlahan sebelum menjawab.

"Semuanya..." Ujar Arsen.

Hening. Kamar itu kembali hening dan hanya diisi deru ac.

"Maaf. Maafkan papi," Ujar Alvaro.

Arsen tertegun untuk sesaat. Dia tidak pernah mendengar ayahnya bersuara sangat lirih seperti itu. Suara itu penuh dengan rasa penyesalan. Arsen memberanikan diri membuka mulutnya.

"Arsen tahu papi masih memanggil nama mami saat itu. Jadi, Arsen paham kalau papi mengira tante Lexie adalah mami,"

"Dek..."

"Arsen langsung lari ke kamar Alesha dan memukul kaki Alesha agar dia menangis,"

Arsen melihat Alvaro terkejut. Alvaro langsung memeluk Arsen erat-erat.

"Terima kasih, dek. Terima kasih," Ucap Alvaro tulus.

Kalau bukan karena Arsen, Alvaro pasti sudah melakukan dosa besar. Beruntung Arsen sangat cerdik sampai terpikirkan cara seperti itu untuk menghentikan Alvaro.

[DS #3] Save Me Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang