"Sayang..." panggilan itu membuat Naira menoleh. Dia sedang menyisir rambutnya di depan meja rias.
"Ya? Kenapa?"
Arsen menggeleng kecil. Dia mengambil alih sisir di tangan istrinya dan menyisir rambut panjang sang istri dengan perlahan.
"Mau jalan-jalan?" Tawar Arsen.
"Sekarang?"
Arsen terkekeh kecil.
"Tentu tidak. Nanti atau mungkin saat Eren dan Lisa memiliki waktu di tengah persiapan mereka untuk masuk kuliah,"
"Akan aku tanya mereka kalau begitu,"
Arsen tersenyum dan mengangguk. Dia segera mengajak istrinya untuk berbaring di ranjang. Mereka menonton siaran olahraga yang digemari Arsen. Lambat laun, Naira menguap dan meletakan kepalanya di bahu Arsen. Arsen masih asyik dengan pertandingan di televisi. Tak lama berselang, Naira terlelap.
Arsen menoleh saat dia tahu Naira tertidur. Arsen menunggu beberapa menit lagi sampai istrinya benar-benar pulas. Saat itulah, Arsen memindahkan badan sang istri agar bisa terlelap lebih nyaman. Arsen mengecup kening Naira. Dia menyelimuti Naira dan dengan perlahan turun dari ranjangnya. Arsen mengambil ponsel dan dompetnya. Dia mengambil jaketnya juga lalu, keluar dari kamarnya.
"Kak? Mau kemana?" Tanya Eren yang baru keluar dari dapur.
"Ada panggilan mendadak dari rumah sakit. Kakak mau kesana," ujar Arsen.
Eren mengangguk paham. Dia memilih naik ke atas ranjang. Arsen membawa Angga bersamanya dan meninggalkan sisanya di rumah.
"Kalau mereka bertanya, katakan aku ke rumah sakit, paham?" Tanya Arsen.
Pengawalnya mengangguk. Mereka langsung mempersilahkan Arsen berangkat. Malam semakin tinggi saat Arsen sampai di gudang tua di pinggir Jakarta. Bahkan hampir mencapai daerah Bandung.
"Angga,"
"Ya, tuan,"
"Tidak ada yang tahu kalau mereka ada disini, kan?"
Angga mengangguk. Arsen menyuruh Angga berjaga di luar. Dia masuk ke dalam dan tersenyum saat melihat ketiga orang yang ada di depannya nampak ketakutan.
"Good evening, ladies," sapa Arsen.
Para wanita itu meneguk ludah mereka dengan kasar.
Arsen melirik koper yang disiapkan oleh Angga. Angga benar-benar menuruti kemauannya.
"Baiklah, agar tidak memakan banyak waktu bagaimana kalau kita mulai saja?"
Arsen menarik Tere untuk pertama kali. Dia mendudukan Tere di kursi yang tak jauh dari kedua orang yang tadi siang membuatnya kesal setengah mati. Arsen melemparkan senyumannya sambil mengambil pisau bedah di dalam koper. Arsen memulai sayatan pertama dan mendapatkan jeritan Tere.
Dua jam bermain dengan pisaunya, Arsen tersenyum saat melihat hasil karyanya. Arsen berbalik dan kedua perawat di depannya menangis. Mulut mereka yang tersumpal membuat mereka tidak bisa berteriak.
"Ssstt... jangan menangis! Kalian tidak akan bernasib seperti dia. Tapi, sedikit pelajaran akan lebih baik," ujar Arsen dengan senyuman di bibirnya
Arsen menyuntikan obat anti depresi dalam jumlah yang banyak. Arsen membuat kedua orang di depannya menjadi orang tidak waras. Obat anti depresi ditambah dengan hallucinogen seperti yang pernah ayahnya berikan pada anak-anak Fandi.
Arsen melirik ke jam tangan di tangan Tere. Sudah hampir pagi. Arsen beranjak dari sana. Dia menyuruh agar Tere di biarkan di gudang itu sementara dua perawat lainnya di lepaskan saja di daerah kota.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #3] Save Me Hurt Me
Teen FictionDimitra Series yang ketiga Putra ketiga dari keluarga Dimitra yang bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit "Tolong saya..." Sebuah kalimat yang terngiang di kepala sang dokter selama berhari-hari. Apakah permintaan orang tersebut? Akankah sang...