Arsen berjalan seperti setrikaan rusak. Dia terus berjalan bolak-balik di depan kedua kakak kembarnya.
"Arsen..." panggil Ardan.
"Duduklah. Papi akan baik-baik saja," sambungnya.
Arsen hanya menoleh sejenak dan kembali melakukan hal yang sejak 15 menit lalu dia lakukan. Ardan menghela kecil. Dia berdiri dan menangkap tangan Arsen. Dia menarik paksa tangan adik kembarnya itu, agar si adik bisa duduk.
"Kak!"
Arman dan Ardan menoleh menatapnya. Bahkan tatapan mata Arman lumayan tajam.
"Jangan membentak!" Ujar Arman.
Ardan berdiri dan menjauh. Saat Arsen hendak berdiri lagi, Arman menahan tangan Arsen. Arsen menyerah. Dia duduk namun, tetap gusar.
"Minum dulu," ujar Ardan sambil mengulurkan sebotol air mineral untuk adiknya.
"Kami juga khawatir pada papi. Tapi, kamu sendiri yang bilang kalau dokter itu sangat hebat. Jadi, kami mencoba mempercayai itu," ujar Ardan.
Arsen meminum air yang dibawakan kakaknya. Arsen menyandarkan kepalanya ke tembok. Dia memejamkan matanya.
"Dek..." panggil Ardan.
Arman dan Arsen menoleh. Sudah lama sekali kakak mereka tidak memanggil mereka dengan panggilan seperti itu.
"Kalian tidak tidur semalaman. Lebih baik kalian istirahat. Terlebih kamu, Arman. Kamu, kan habis menjaga Albern kemarin malam,"
"Kakak juga tidak tidur semalam," cibir Arman.
Ardan terkekeh. Dia memang tidak tidur. Tapi, dia juga tahu kalau Arsen sudah tidak tidur sejak lama. Mungkin tiga atau empat hari.
"Dek, tidur dulu," ujar Ardan.
Arsen menggeleng.
"Kami menjaga papi, dek. Kalau ada kabar kami akan membangunkanmu," ujar Arman.
Arsen menatap tidak setuju namun kedua kakak kembarnya menatapnya dengan cukup dalam. Arsen menghela.
"Janji?" Tanya Arsen.
Ardan dan Arman mengangguk.
"Janji," jawab mereka bersamaan.
Arsen kemudian memejamkan matanya. Dia mulai terlelap. Saat Arsen sudah lumayan pulas, Ardan memindahkan dengan perlahan kepala Arsen ke bahunya. Dia membiarkan Arsen bergerak sedikit untuk mencari posisi nyaman. Arman sendiri sudah melepaskan jas miliknya dan menyampirkannya di badan Arsen.
"Anak ini benar-benar!" Bisik Arman.
Ardan hanya tersenyum kecil.
"Wajar, kan? Dia pernah dipaksa oleh mami untuk menyimpan hal besar sendirian. Jelas dia sangat ketakutan sekarang," ujar Ardan sambil mengusap punggung tangan Arsen dengan ibu jarinya.
Arman mengangguk kecil. Dia paham alasan adiknya merasa takut. Kalau itu dia, belum tentu dia bisa seperti Arsen. Arman mungkin sudah akan mengadu saat sang ayah pulang dari kantor. Arman mengusak pelan rambut Arsen. Membuat Arsen mengerang kecil sebelum kembali terlelap.
Ardan dan Arman menunggu disana sambil membiarkan adik mereka beristirahat. Satu jam berlalu dan Arsen kembali terbangun. Arsen melihat lampu di atas pintu putih itu masih menyala. Arsen kembali dilanda rasa takut. Bahkan dia tidak sadar kalau tangannya yang digenggam oleh Ardan tadi, kini balas menggenggam tangan Ardan dengan sedikit lebih kuat.
"Sudah bangun?" Tanya Ardan.
Arsen mengangguk kecil.
"Papi sudah dibawa ke ruang rawat,"
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #3] Save Me Hurt Me
Teen FictionDimitra Series yang ketiga Putra ketiga dari keluarga Dimitra yang bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit "Tolong saya..." Sebuah kalimat yang terngiang di kepala sang dokter selama berhari-hari. Apakah permintaan orang tersebut? Akankah sang...